INILAH wajah lain orde otonomi daerah. Di Batu, Jawa Timur, Wali Kota Imam Kabul cawe-cawe menjadi penjamin kredit bagi anak perusahaan Texmaco, PT Wastra Indah. Berkat jaminan pribadi Imam, Bank Jatim ter-gerak mengucurkan pinjaman sekitar Rp 2,2 miliar. Kisahnya berawal dari sebuah istigasah yang digelar sekitar 2.300 karyawan PT Wastra, akhir Oktober lalu.
Dalam acara yang dimaksudkan membetot perhatian pemerintah atas nasib karyawan kelompok Texmaco itu, Imam kadung berjanji, "Saya akan mundur kalau Wastra ditutup." Ikrar itu kemudian ditagih para pengurus serikat pekerja PT Wastra, ketika pundi-pundi Wastra jeblok ke tahap kritis, awal Desember. Apalagi setelah delapan bulan terakhir napas Wastra—seperti perusahaan kelompok Texmaco lainnya—tersengal-sengal.
Maklumlah, sejak bergabung dengan Texmaco pada 1975, Wastra hanya menerima order produksi kain dan pemintalan benang dari kelompok tersebut. Dari order itu Wastra melunasi gaji para karyawan—sekitar Rp 2,2 miliar per bulan. Selain untuk gaji, Wastra juga membutuhkan modal kerja antara Rp 4 miliar dan Rp 6 miliar per bulan untuk bahan baku. Sialnya, di sepanjang tahun silam, kapasitas produksi perusahaan-perusahaan Texmaco turun drastis.
"Kapasitas produksi divisi tekstil hanya tersisa sekitar 20 persen," ujar seorang pejabat di perusahaan induk Texmaco. Uang yang diterima Wastra dari perusahaan induk di Jakarta pun menyusut Rp 500 juta hingga Rp 750 juta, sesuai dengan anjloknya order dalam setahun terakhir. Untuk menepis situasi kritis, manajemen Wastra melakukan sejumlah akrobat. Biaya gaji dipangkas dengan penggiliran waktu kerja bagi 1.500 karyawan. Mereka yang mengalami pemangkasan waktu kerja itu hanya mendapat gaji 75 persen.
Di samping gaji, ada juga biaya lain yang tercecer pem-bayarannya, seperti tagihan listrik. Gara-gara tak melunasi rekening listrik selama enam bulan, yang besarnya mencapai Rp 1,2 miliar, pabrik Wastra sempat gelap-gulita di malam hari, November silam. Di puncak krisis, eh, terngianglah janji Pak Wali dulu. Dimotori serikat pekerja, Wastra pun mengetuk pintu Imam. Tak salah: Imam langsung bersedia mengucurkan uang. Caranya, bersama jajaran direksi Wastra, Imam menjadi penjamin atas pinjaman sebesar Rp 1,2 miliar dari Bank Jatim. Dari kredit itu tunggakan listrik Wastra terlunasi. Mesin pun kembali dihidupkan.
Langkah darurat berikut adalah mencari order pemintalan benang ke berbagai perusahaan tekstil di luar kelompok Texmaco. Hasilnya, "Selama bulan Desember Wastra menggaet order pemintalan benang sebanyak 950 bal," kata Nurhadi Siswanto, Direktur Produksi Pemintalan Wastra. Uang hasil pemintalan itu sebagian besar dipakai melunasi seluruh utang ke Bank Jatim, yang berjangka waktu satu bulan. Sebagian lainnya dipakai menutup biaya operasi karyawan, termasuk gaji.
Setelah pinjaman Imam terlunasi, situasi siaga satu di Wastra tak juga berlalu. Nurhadi memperkirakan, modal kerja ideal bagi Wastra sekitar Rp 6 miliar. Rinciannya, Rp 4 miliar untuk membeli bahan baku, sisanya untuk gaji. Dengan dana sebesar itu, Nurhadi optimistis Wastra dapat beroperasi di tingkat produksi yang menguntungkan, yaitu 2.000 bal benang dan 2 juta yard kain.
Pintu sang Wali Kota pun kembali diketuk Suwardi, ketua serikat pekerja Wastra, yang juga dikenal sebagai kader PDIP. Namun, dari jumlah utang yang diminta para karyawan—sekitar Rp 4 miliar—hanya sekitar Rp 1,1 miliar yang mengucur dari Bank Jatim atas jaminan pribadi Imam. Sebagian dana pinjaman itu dipakai melunasi rekening listrik selama Desember, sisanya untuk melunasi gaji karyawan bulan itu.
Muncullah kontroversi: apa perlunya seorang pejabat pemerintah menjadi penjamin utang perusahaan swasta? Imam mengaku, keberaniannya menjamin pinjaman Wastra semata karena pertimbangan kemanusiaan. Imam bahkan me- nyatakan siap jika Pemerintah Kota Batu diminta ikut me-nanamkan saham di anak perusahaan Texmaco yang tercatat memiliki utang lebih dari Rp 800 miliar ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu.
"Sekarang ini kami tengah mengaudit," Imam menjelaskan. Namun Imam menolak jika harus menomboki perusahaan swasta yang lain. "Ini (kasus Wastra) ibarat kebakaran," ia berkilah. Abdul Madjid, anggota Fraksi PDIP DPRD Kota Batu, merasa tidak ada yang salah dengan tindakan Imam. "Itu hak istimewa Wali Kota," kataya. Hanya, ia menyesalkan Imam yang tidak melakukan audit lebih dulu atas Wastra, sebelum menjamin. "Nanti kalau macet, nama Wali Kota juga yang cemar," tutur Abdul.
THW, Bibin Bintariadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini