Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam tahun baru dihabiskan Jimmy, demikian mantan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu meminta disebut, dengan kepala penuh berbagai andai.
Kegalauan Jimmy dipicu oleh berita tentang niat polisi untuk menindaklanjuti laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang penyimpangan penggunaan dana rekening 502.
Sebagai orang yang pernah ikut mengurusi utang dari suatu bank yang ditutup pemerintah sekitar empat tahun lalu, Jimmy tahu persis dirinya dapat ter-sangkut jerat hukum. Ia cemas karena pernah meloloskan pencairan tagihan ke sebuah bank beku operasi.
Dalam manual penjaminan bank, tagihan tersebut seharusnya tidak termasuk yang ditanggung oleh BPPN. Toh, Jimmy ikut mengizinkan pencairan pembayaran ke pemohon klaim. "Saya di-minta oleh seorang pejabat tinggi pemerintah saat itu," ucapnya tanpa menyebut nama sang pejabat.
Kini, klaim-klaim yang tak layak namun dibayar itu termasuk salah satu lahan penyelewengan rekening 502 yang sedang ditelisik oleh polisi. Proses hukumnya resmi dimulai polisi sejak 12 Desember silam.
Sampai pekan ini, sudah ada 23 saksi yang dipanggil Mabes Polri berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana penyelewengan rekening 502.
Delapan dari mereka merupakan pejabat BI, sedangkan sisanya pejabat dan juga mantan pejabat BPPN. Sejauh ini polisi masih bungkam mengenai siapa yang akan dijadikan tersangka. "Tunggu saja, kalau tersangkanya sudah ada di sini," ujar Direktur Badan Reserse dan Kriminal, Inspektur Jenderal Erwin Mappaseng, akhir tahun lalu.
Adapun Wakil Direktur III Tindak Pidana Korupsi dan White Collar Crimes, Kombes Polisi Marsudhi Hanafie, hanya memberikan petunjuk samar. "Yang dipanggil sebagai saksi bisa saja menjadi tersangka," tuturnya kepada Sita Planasari dari Tempo News Room. Namun Marsudhi memilih tutup mulut saat ditanya siapa saja yang menyandang status saksi.
Indikasi adanya penyelewengan dalam penggunaan rekening 502 pertama kali termuat dalam bundel pemeriksaan BPK tertanggal 7 Juli 2003. Lembaga yang diketuai Satrio B. Joedono itu memvonis: 46,69 persen penggunaan dana rekening itu selama 1999-2002 menyimpang dari ketentuan (lihat: 502 di Mata Billy).
Setelah hasil audit itu dipaparkan di depan para anggota DPR, tanggapan berbau pembelaan bermunculan. Seorang pejabat BPPN menilai BPK tidak fair karena tidak menggubris penjelasan versi mereka.
Dari Bank Indonesia muncul reaksi yang tak kalah keras. "Setahu saya tidak ada penyimpangan. Pernyataan tentang penyimpangan itu tendensius," ujar Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, se- kitar empat bulan silam.
Bank sentral kebakaran jenggot karena menurut mereka hampir semua penyimpangan yang ditudingkan oleh BPK bersifat kebijakan. Satrio, yang kerap dipanggil Billy, mengaku bahwa sebagian penyelewengan memang bersifat administratif kebijakan. "Tetapi ada juga yang mengandung indikasi tindak pidana."
Penyimpangan yang bersifat administratif contohnya bantuan likuiditas Bank Indonesia yang dicairkan setelah Januari 1999. BPK menggolongkan penggelontoran ekstra-BLBI senilai Rp 14,5 triliun sebagai penyimpangan. Sebab, ketika itu antara Departemen Keuangan dan bank sentral belum tercapai kata putus tentang siapa yang harus menanggung.
Semula Bank Indonesia bersikukuh penyaluran dana ekstra itu memiliki dasar kebijakan yang sama dengan pencairan BLBI sebelumnya. Artinya, akan ditanggung pemerintah, dan ditutup dengan uang di rekening 502.
Adapun Departemen Keuangan bersikeras meminta verifikasi terlebih dahulu sebelum ada pembebanan. Seperti telah diketahui, masalah ini akhirnya selesai pada akhir tahun lalu, dengan ke- sediaan bank sentral menanggung ekstra-BLBI.
Penyimpangan lain yang ditudingkan ke BI adalah pembayaran utang perbankan nasional ke luar negeri. Sekadar mengingatkan, menyusul gelombang penutupan bank-bank sekitar tahun 1999, pemerintah merancang sebuah skema pembayaran utang bank-bank yang ditutup ke kreditor luar negeri. Skema itu kerap disebut Exchange Offer Program.
BPK mencatat ada sejumlah tagihan kreditor luar negeri yang tidak memenuhi syarat namun tetap dibebankan ke rekening 502. Total jumlah klaim yang tidak patut itu sebesar Rp 3,2 triliun.
Pembayaran dana nasabah bank yang dijamin tak luput dari teropong Billy. Dalam kategori ini, ada sekitar Rp 2 triliun dana yang seharusnya tak perlu diambil dari rekening 502.
Sedangkan dalam penjaminan nasabah Bank Perkreditan Rakyat, BPK menengarai bank sentral telah melakukan penyelewengan dengan membayar klaim Rp 24,6 miliar.
Penyelewengan lebih besar terjadi dalam pembayaran dana nasabah bank nasional. BPK menengarai sebagian dari total uang yang dicairkan BPPN untuk membayar para penabung di bank yang ditutup, jatuh ke tangan-tangan yang tidak berhak.
Di samping berbagai penyelewengan itu, masih ada sejumlah penyelewengan lain yang turut dijereng oleh BPK. Kenyataan ini memicu pertanyaan, mengapa sampai terjadi begitu banyak pelanggaran. Padahal pemerintah sudah merumuskan penjaminan perbankan secara ketat dalam dua surat keputusan ber- sama. Sumber TEMPO yang sempat mengecap masa-masa awal pembentukan BPPN menyebut kriteria bunga tabungan yang dijamin harus di bawah bunga penjaminan sebagai contoh betapa bolongnya peraturan penjaminan itu.
Misalnya sebuah bank X memberikan bunga yang jauh lebih tinggi dari bunga penjaminan kepada para nasabahnya selama sekitar setahun. Lantas, tiga bulan menjelang ditutup, bunga tabungan diturunkan sedikit lebih rendah di bawah bunga penjaminan. Pertanyaannya, apakah tabungan itu layak dijamin.
Jangan terburu menyebut itu contoh yang mengada-ada. Sumber TEMPO itu ingat sekali betapa rekan-rekannya di BPPN sempat pusing dengan kriteria ini, saat menentukan layak-tidaknya sebuah tabungan dijamin. Sialnya, bunga bukan satu-satunya contoh longgarnya peraturan mengenai penjaminan. "Gara-gara peraturan yang tidak jelas itu, penyelesaian masalah biasanya case by case," tuturnya.
Di sinilah, terbuka peluang bagi oknum bank sentral atau BPPN untuk bermain mata. Karena itu, sumber ini tidak se-pendapat jika musabab penyelewengan rekening itu selalu dilempar ke peraturan yang bolong. Ia tidak menutup mata adanya kemungkinan tindak pidana dalam penyelewengan itu.
Hanya, polisi perlu bekerja keras untuk mencari pembuktian tindak pidana itu. Ada baiknya para detektif negara itu menyambut tawaran bantuan dari BPK, seperti yang dilontarkan Billy.
THW, Dara Meutia Uning
502 di Mata Billy
Rekening dengan kode 502. 000002 di Bank Indonesia resminya bertajuk "Bendaharawan Umum Negara untuk Obligasi Dalam Rangka Penjaminan".
Rekening yang dibuka pada 31 Mei 1999 oleh Menteri Keuangan (waktu itu Bambang Subianto) tersebut menampung dana hasil penerbitan surat utang pemerintah seri SU-004 senilai lebih dari Rp 57 triliun.
Menteri Keuangan kemudian memberikan surat kuasa ke Bank Indonesia dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk meng-gunakan dana di rekening tersebut dalam rangka pembayaran jaminan pemerintah terhadap kewajiban bank.
Pada tahun 2001, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyurati Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengaudit penggunaan dana rekening tersebut. Hasilnya? Sungguh mengejutkan. Menurut Ketua BPK Satrio B. Joedono—kerap dipanggil sebagai Billy—dari seluruh pemakaian dana rekening tersebut, 46,69 persen tidak sesuai dengan ketentuan. "Ada yang karena masalah kebijakan, tetapi ada juga yang bersifat pidana," Billy menjelaskan. Berikut rangkuman hasil audit BPK atas Rekening 502:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo