PERTEMUAN di Wisma Negara itu sepertinya tidak istimewa. Tampil santai dengan kemeja putih lengan panjang, Presiden Abdurrahman Wahid menerima lima orang tamu. Selama satu jam, presiden yang baru dilantik itu minta masukan mengenai pelbagai persoalan ekonomi kepada Deputi Gubernur Bank Indonesia Dono Iskandar, Ketua Departemen Ekonomi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yusuf Faishal, bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier, bekas Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Soebiakto Tjakrawerdaja, dan ekonom Sri Mulyani Indrawati.
Menurut Yusuf, pembicaraan siang itu tak menyangkut sesuatu yang gawat. ”Cuma omong-omong urusan dapur,” katanya. Tapi, di luar kompleks Istana Merdeka, para pelaku pasar uang dan bursa saham tampak kebat-kebit. Mereka khawatir Fuad dan Soebiakto, dua ”warisan” Orde Baru, ikut masuk dalam jajaran kabinet Gus Dur. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Jakarta kontan merosot dari 616 menjadi 609, sedangkan harga dolar, yang sempat ditekan hingga Rp 6.600, kembali menguat menjadi Rp 6.800. Apakah kekhawatiran itu cukup beralasan? Menurut Yusuf, pertemuan itu tak ada urusannya dengan pembentukan kabinet, tapi untuk menjajaki pendirian Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang langsung dipimpin presiden. Lembaga ini punya tiga tugas pokok: menyusun kebijakan dasar, melakukan peninjauan atas suatu kebijakan, dan menjadi semacam penasihat ekonomi. Saat ini, untuk anggotanya, baru ditemukan dua orang, yakni Soebiakto sebagai direktur eksekutif dan Yusuf sebagai sekretaris. Kelak, akan ada tujuh orang lagi yang masuk menjadi anggota DEN.
Dilihat dari tugasnya, lembaga itu kelihatannya lebih bertenaga ketimbang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan yang dibentuk Pak Harto tempo hari. Dengan DEN, ada banyak lembaga yang akan dihapus dari pemerintahan, misalnya Sekretariat Pengendalian Operasional Pembangunan (Setdalopbang) dan Inspektorat Jenderal Pembangunan (Itjenbang). Kedua organ khusus bentukan Soeharto ini akan lebur dengan DEN. Tapi DEN bukan pengambil keputusan final. ”Yang menjadi juru ketuk palu tetap saja sidang kabinet atau presiden,” kata Yusuf buru-buru. Tampak sekali ia ingin menepis kekhawatiran banyak kalangan tentang kemungkinan DEN menjadi semacam kabinet bayangan.
Mungkin benar, kehadiran lembaga itu tak perlu dikhawatirkan. Namun, banyak pihak yang mempertanyakan posisi Soebiakto dan Fuad yang kabarnya juga akan masuk ke sana. Reaksi negatif pasar terhadap kedua nama itu sudah menunjukkan resistensi yang lumayan tinggi di kalangan pelaku bisnis. ”Reputasi Soebiakto tak cukup meyakinkan untuk memimpin lembaga seperti DEN,” kata seorang analis pasar modal. Seorang petinggi Bank Indonesia mengutarakan kekhawatiran yang sama. Menurut dia, sebaiknya orang-orang ”lama” tak dipakai, apalagi kalau prestasinya pas-pasan.
Keberatan, kabarnya, juga datang dari para ekonom muda. Dalam pertemuan Sabtu pekan lalu, ekonom muda seperti Sri Mulyani, M. Ichsan, dan Arif Arryman sepakat menolak duduk di kabinet atau DEN jika dua nama ”berbau” Soeharto itu masih ada. Repotnya, posisi Soebiakto kabarnya tak bisa diutak-atik, sedangkan untuk Fuad akan dicarikan lembaga lain yang dibentuk kemudian, misalnya Badan Penunjang Ekspor.
Sumber TEMPO mengungkapkan, Soebiakto sulit digusur karena Gus Dur sendiri yang mendudukkan pria kelahiran Cilacap itu di posisi penting tersebut. Kabarnya, ini dilakukan Gus Dur sebagai balas budi atas jasa Soebiakto ”membantu” pelbagai kegiatan Nahdlatul Ulama. Sementara itu, Fuad dianggap berjasa melempengkan jalan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama itu ke kursi kepresidenan, termasuk menjadi mediator dengan kelompok Poros Tengah. Tapi Yusuf menjamin bahwa dua nama itu bukan harga mati. ”Kalau penolakan datang dari mana-mana, ya, kita ganti,” katanya. Yusuf mengaku sudah menyampaikan keberatan itu kepada Presiden.
Soebiakto sendiri mengaku belum ditunjuk memimpin DEN. Dalam pertemuan di Wisma Negara itu, katanya, memang disinggung strategi untuk mengatasi krisis ekonomi, termasuk membicarakan kemungkinan adanya DEN dan menerapkan manajemen kebijakan publik baru—istilah kerennya new public management—yang konon digagas pertama kali oleh Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore. Namun, semua itu baru sebatas obrolan. ”Sayangnya, di luar, kesannya kok saya begitu berambisi memimpin DEN,” katanya kepada Rofiqi Hasan dari TEMPO.
Kalangan yang menyayangkan tampilnya Soebiakto mengaku khawatir bahwa dukungan pasar terhadap duet Gus Dur-Megawati bisa berbalik gara-gara salah pilih anggota kabinet. Memang, sejumlah nama baru sudah disebut-sebut, termasuk Sri Mulyani, yang kabarnya akan memimpin Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Tapi nama-nama lama konon masih akan bercokol, seperti Menteri Keuangan Bambang Subianto.
Menurut ekonom Bahana Secu- rities, Martin Panggabean, ter- pilihnya Gus Dur-Mega seti- daknya sudah memulihkan kepercayaan 90 persen. ”Tinggal 10 persen yang bergantung pada kabinet,” katanya. Perjalanan berikutnya akan ditentukan oleh kebijakan ekonomi pemerintahan Abdurrahman Wahid. Salah satu yang terpenting adalah penuntasan kasus Bank Bali. ”Presiden sudah minta agar kasus ini diselesaikan,” kata Yusuf.
Menurut Martin, kepercayaan bisa dianggap pulih jika lembaga donor seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia kembali memberikan pinjaman. Saat ini, menurut seorang pejabat Bank Indonesia, pinjaman yang distop sudah mencapai US$ 1,5 miliar. Namun, kata Yusuf, perkara ini akan segera beres karena delegasi IMF yang dipimpin Stanley Fischer akan datang ke Jakarta dalam pekan ini.
Tak bisa dimungkiri, utang luar negeri, termasuk IMF, masih menjadi tumpuan untuk menambal defisit anggaran yang terus melebar. Anggaran untuk membayar bunga obligasi untuk rekapitalisasi perbankan saja membengkak dari rencana semula Rp 34 triliun menjadi sekitar Rp 50 triliun. Pembengkakan itu jelas sulit ditutup dari sumber lain, misalnya penjualan aset yang dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Memang betul, selain menggantungkan diri pada utang, masih ada peluang menjala rezeki minyak yang harganya melonjak. Menurut Direktur Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak Departemen Keuangan, Sahala L. Gaol, penerimaan minyak tahun anggaran ini diperkirakan berlipat dua menjadi Rp 45,6 triliun. Betul, kenaikan harga itu juga akan mendongkrak subsidi. Tapi, kata Sahala, subsidi minyak tak akan lebih dari Rp 25,2 triliun, sehingga masih ada surplus penerimaan minyak Rp 20 triliun.
Tapi Yusuf punya resep lain untuk menutup defisit anggaran, di antaranya mengoptimalkan perolehan pajak dan menekan pengeluaran, terutama dengan memangkas proyek-proyek baru. Menurut Yusuf, pendapatan pajak masih bisa ditingkatkan sampai 15-16 persen produk domestik bruto (PDB) dari 11 persen saat ini.
Program besar berikutnya adalah menggerakkan sektor riil. Besarnya kredit macet membuat bank tak bisa mencairkan pinjaman baru. Jika bank cuma mengempit likuiditasnya tanpa menyalurkannya ke sektor riil, lama-kelamaan banknya juga akan mati. Tapi bukan berarti tak ada cara untuk memecah kebuntuan itu. Sejumlah ekonom mengusulkan dua jurus untuk mengatasi soal ini. Pertama, debitur macet harus dibawa ke pengadilan niaga. ”Kalau tak punya niat baik, pailitkan mereka tanpa pandang bulu,” kata Sri Mulyani. Cara Yusuf lebih keras. Kalau pelunasannya tak cukup, minta mereka menarik duitnya di luar negeri.
Cara kedua, bank memberikan pinjaman kepada sektor-sektor yang membutuhkan modal kerja. Martin tak menyebut sektor mana saja, tapi dia memberikan ancar-ancar perusahaan seperti apa yang sebaiknya tidak diberi pinjaman baru, misalnya perusahaan manufaktur yang kelebihan kapasitas, perusahaan yang berorientasi ekspor, dan juga sektor properti. ”Eksportir tak perlu kredit karena mereka punya cadangan dolar yang cukup,” katanya.
Berbeda dengan Martin, Yusuf menyodorkan dua sektor ”unggulan”, yakni pertambangan dan agrobisnis, karena kandungan impornya rendah. Pendek kata, kredit hanya bisa diberikan jika sektor itu memberikan nilai tambah yang tinggi atau punya efek ganda yang luas, misalnya pembangunan rumah sederhana atau sangat sederhana.
Manjurkah resep Gus Dur? Belum tentu. Sebenarnya, tantangan perekonomian kabinet Gus Dur tidak seberat kabinet di puncak krisis. Kurs sudah mulai stabil, tingkat inflasi rendah, begitu juga suku bunga. Untuk menjaganya, Gus Dur cuma perlu memilih orang yang tepat dalam tim ekonominya.
Jika saja tidak ada bau Soeharto, insya Allah, Gus....
M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini