Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah kelemahan? Atau justru kekuatan? Bagi pasar, bagi kurs rupiah dan harga-harga saham di bursa, jawabannya bisa dua-duanya. Yang menjadi soal bukan perkara campur sari atau gado-gadonya itu. Yang lebih penting: apakah jatuhnya pilihan kepada mereka benar-benar didasarkan pada kemampuan dan integritas mereka? Suara yang khawatir membisikkan, Gus Dur terpaksa mengambil mereka sebagai satu bentuk balas jasa.
Kekhawatiran seperti ini bukannya tak berdasar. Baru dua hari dilantik, Gus Dur memanggil dua bekas menteri ”warisan” Orde Baru, Soebiakto Tjakrawerdaya dan Fuad Bawazier, untuk menjajaki pembentukan Dewan Ekonomi Nasional. Dewan inilah yang akan membuat kerangka dasar kebijakan perekonomian, melakukan evaluasi atas aturan yang ada, dan, ini dia, menjadi semacam penasihat presiden.
Hebatnya pula, Soebiakto, bekas Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil-Menengah, pula yang disebut-sebut akan memimpin lembaga bergengsi ini. Gampangnya, ia akan menjadi semacam Widjojo Nitisastro-nya Gus Dur. Bukan main. Soebiakto dipilih, konon, karena sumbangannya yang besar terhadap lembaga penelitian NU di Jawa Timur. Padahal, masyarakat mungkin belum terlalu lupa, pada zaman Menteri Soebiakto itu jugalah Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh alias BPPC, yang dipimpin oleh Tommy Soeharto, beroperasi dan merajalela.
Karena itu, tak perlu kaget jika pasar langsung menentang jurus rangkul Gus Dur ini. Nilai tukar rupiah, yang sempat menguat ke Rp 6.600 per dolar, langsung melembek hingga Rp 6.800 per dolar. Harga saham sami mawon. Begitu Soebiakto nongol di Wisma Negara, indeks harga saham gabungan (IHSG), yang mencerminkan pergerakan harga-harga saham di bursa Jakarta, langsung terjun dari 624 ke 612, Jumat sore pekan lalu.
Memang betul, jatuhnya harga rupiah dan indeks harga saham bukan semata-mata karena Soebiakto. Adalah mustahil jika indikator keuangan hanya digerakkan oleh satu faktor tunggal semata. Tapi, para analis pasar keuangan umumnya sepakat, pergerakan nilai tukar pekan-pekan ini akan banyak bergantung pada kecakapan Gus Dur memilih para pembantunya.
Secara umum, para pemain pasar uang menilai kabinet Gus Dur harus bersih dari orang-orang lama yang ”berbau” Soeharto. ”Jika mereka masih ada, niat Gus Dur membentuk pemerintahan yang bersih pantas diragukan,” kata ekonom muda Markus H. Dipo. Politisi kawakan Sarwono Kusumaatmadja mengingatkan, Gus Dur tak perlu membalas budi mereka yang mengantarkannya menjadi presiden. Gus Dur, katanya, ”cukup membalas jasa kepada rakyat.” Caranya, ya, tak perlu memberikan konsesi-konsesi pos menteri sebagai ”bayaran” suara.
Sebenarnya pasar sudah cukup memberi angin kepada Gus Dur. Begitu Habibie mundur sebagai calon presiden dan Gus Dur terpilih, harga rupiah langsung menguat dari Rp 7.600 menjadi Rp 7.000 per dolar. Indeks juga melejit dari 584 menjadi 640. Sorenya, kedua indikator keuangan itu memang kembali jeblok karena massa Megawati, yang tak bisa menerima kekalahan ”ibu” mereka, mengamuk meletupkan kerusuhan di beberapa kota.
Tapi, pagi harinya, ketika Mega akhirnya mendampingi Gus Dur sebagai wakil presiden, pasar kembali bergairah. Nilai tukar rupiah tancap gas dari kisaran Rp 7.600 menuju Rp 6.900, sedangkan IHSG merambat naik ke posisi 618. Singkat kata, pasar memberi beking kepada duet baru ini.
Menurut kalangan pemain pasar uang, sedikitnya ada satu soal sepele yang bisa menjadi modal besar bagi duet pemerintahan baru ini: mereka berdua bebas tak terkait dengan pemerintahan lama. Mereka orang baru yang tak punya beban mesti berunding dan berkompromi dengan kekuasaan lama.
Dengan modal seperti ini, banyak perkara rumit akan menjadi mudah. Contoh yang gampang: skandal Bank Bali yang memusingkan pemerintahan Habibie, misalnya, di tangan Gus Dur-Mega besar kemungkinan akan jadi sepele. Karena tak punya interest apa pun, duet ini dengan gampang bisa memutuskan, ”Umumkan hasil audit lengkap PricewaterhouseCoopers kepada publik dan adili siapa pun yang terlibat.” Suatu keputusan yang tak mudah diambil Habibie ketika berkuasa dulu.
Kendati sepele, keputusan tegas seperti itu akan sangat terasa setrumnya terhadap perekonomian. Wakil Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Stanley Fischer sudah menegaskan, utang baru bagi Indonesia segera dicairkan jika skandal Bank Bali diusut sesuai dengan tuntutan IMF. Seperti dijanjikan dulu, IMF akan mencairkan kembali pinjamannya jika pemerintahan baru mengumumkan hasil audit lengkap PwC dan menindak mereka yang terlibat sesuai dengan hukum.
Pencairan utang IMF bukan cuma berarti masuknya dana US$ 1,5 miliar (US$ 450 juta dari IMF, US$ 120 juta dari Bank Pembangunan Asia, dan US$ 1 miliar dari Bank Dunia) untuk membiayai pelbagai pos pengeluaran negara. Lebih dari itu, pencairan ini akan menjadi simbol kembalinya kepercayaan investor asing.
Menurut para analis pasar modal, perbankan merupakan sektor yang pertama kali kesetrum jika IMF mencairkan kembali pinjamannya. Pencairan ini akan menjadi garansi bahwa program rekapitalisasi bank yang kini terkatung-katung akan terus berjalan. Karena itu, harga saham perbankan di bursa saham langsung berlompatan begitu duet Gus Dur-Mega terpilih memimpin negeri. Contoh yang lain: penyelesaian kasus Pak Harto. Bagi Gus Dur, kasus presiden kedua Indonesia itu bisa juga jadi sepele. Sebelum ini, Gus Dur selalu menyatakan akan menyelesaikan kasus Pak Harto secara keagamaan. ”Hartanya disita, orangnya dimaafkan.” Beres.
Pertanyaannya: apakah rakyat akan menerima penyelesaian seperti ini? Jika tawaran solusi seperti ini dikatakan Habibie, mahasiswa dan rakyat sudah pasti akan turun ke jalan. Soalnya, rakyat sudah telanjur tahu: Habibie merupakan pembantu Pak Harto paling lama di kabinet. Penyelesaian yang lembek cuma memberikan penegasan bahwa Habibie ikut terlibat dan bersekongkol bersama Pak Harto.
Tapi Gus Dur? Harus diakui, Gus Dur memang pernah runtang-runtung bersama Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) dan Jenderal Hartono. Masyarakat mungkin juga belum lupa bagaimana Gus Dur memperkenalkan Tutut sebagai ”calon pemimpin bangsa” kepada siswa-siswa pesantren yang mereka kunjungi waktu itu. Tapi kedekatan itu sama sekali tak menunjukkan bahwa Gus Dur kini harus membalas budi pula kepada Pak Harto.
Jadi, ”Saya kira pasar dan masyarakat akan menerima jika diminta memaafkan Pak Harto, apalagi jika langkah itu didukung Mega dan Ketua MPR Amien Rais,” kata seorang analis pasar modal. Toh, kalaupun soal ini dibongkar tuntas, hampir semua pejabat di zaman Pak Harto akan ikut terlibat.
Bagaimana jika Pak Harto yang justru menolak menyerahkan hartanya? Mungkin saja. Tapi seorang ekonom meragukan kemungkinan ini. Soalnya jelas: harta Pak Harto yang diketahui publik cuma bagian kecil dari jumlah totalnya. ”Bagian terbesar berbentuk tunai yang orang tidak tahu,” katanya. Maksudnya, tentu, Pak Harto tak akan keberatan menyerahkan yang sebagian kecil itu.
Nah, kalau soal Bank Bali gampang dituntaskan, dan Pak Harto setali tiga uang, lalu apakah kabinet Presiden Dur ini tak akan menghadapi masalah? ”Ada, tapi tak sekompleks masalah yang dihadapi Habibie,” kata Markus Dipo. Menurut Markus, prioritas pertama yang harus dilakukan Gus Dur adalah berkonsentrasi penuh untuk memajukan Indonesia. Ibaratnya ikut balap mobil, Gus Dur harus tetap berada dalam jalur balapan. ”Jangan malah terus-terusan memereteli bagian-bagian mobil seperti selama ini terjadi,” katanya.
Setelah itu, ia harus menghadapi problem-problem ekonomi ”klasik” seperti tingginya beban utang luar negeri (total jenderal ada US$ 160 miliar utang luar negeri, US$ 74 miliar di antaranya utang swasta), pengangguran, defisit anggaran, memutar sektor riil, dan menggelar rekapitalisasi bank.
Tapi, sekali lagi, asal tak direcoki dengan manajer-manajer yang punya vested interest, yang punya kepentingan untuk melindungi dan menutupi praktek busuk di masa lalu, soal-soal teknis seperti itu tak akan memusingkan kepala. Bagi Markus Dipo, misal-nya, masalah yang dihadapi Indonesia lebih sederhana dari persoalan perusahaan Apple Computer ketika mau bangkrut beberapa tahun lalu.
Bayangkan saja. Apple hanya punya satu produk yang bisa dijual: komputer. Sementara Indonesia punya begitu banyak komoditi. Apple cuma punya satu sumber pembiayaan: bank, sedangkan Indonesia hampir tak terbatas. Selain pinjaman dari lembaga multilateral, Indonesia masih bisa mengharapkan pinjaman komersial dan bahkan investasi langsung dari para investor.
Menurut para analis keuangan, pengusaha Indonesia bahkan punya ”tabungan” belasan, bahkan puluhan miliar dolar, yang kini diparkir di luar negeri (terutama Singapura). Begitu stabilitas politik dan keamanan bisa dijamin, begitu iklim investasi dibuka selebar-lebarnya, uang akan datang sendiri.
Yang dilakukan hanya: menjaga supaya semua itu berlangsung fair, transparan, dan bebas dari kepentingan politik dan bisnis satu pihak tertentu. Mudah-mudahan Gus Dur dikaruniai indra keenam untuk itu.…
Dwi Setyo, Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo