Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beban Mesin Pemutar Ekonomi

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA pun yang memimpin BPPN, tugasnya tak ringan. Lembaga ampuh di bawah Departemen Keuangan ini tidak cuma diserahi beban menyehatkan bank, tapi juga menggerakkan sektor riil. Dengan dua tugas penting itu, BPPN boleh dibilang menjadi satu-satunya mesin untuk memutar roda perekonomian yang lagi macet. Sebagai rumah sakit bank, BPPN harus mengelola belasan bank yang diambil oper kepemilikannya oleh pemerintah. Bank tersebut umumnya pernah koma atau sedikitnya megap-megap. Bank Central Asia milik konglomerat Liem Sioe Liong, Bank Danamon milik Usman Admadjaja, dan Bank Nusa Nasional kepunyaan Ical Bakrie, misalnya, merupakan contoh yang dirawat BPPN. Bank-bank ini harus dibuat sehat, kemudian dijual, agar hasilnya bisa menutup biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk menalangi penyelamatan bank-bank raksasa itu. Selain merawat bank penyakitan, BPPN mengelola kekayaan milik bankir yang dijaminkan sebagai garansi pelunasan utang kepada pemerintah. Aset-aset ini harus dijual pada saat yang tepat, pada harga yang paling hebat, agar bisa menutup utang para bankir. Penyehatan bank-bank mustahil dilakukan jika aset-aset ini tak segera terjual. Tapi penjualan yang terburu-buru juga akan menurunkan nilai aset ini sehingga hasilnya tak sanggup menutup utang para bankir. Untuk menyehatkan bank juga, BPPN harus mengupayakan pencairan kredit macet. Kredit macet ratusan triliun itu harus disusun ulang dengan dua sasaran pokok: menghasilkan duit bagi bank tanpa menambah beban pengangguran. Pesannya jelas, restrukturisasi kredit macet harus digelar tanpa menutup pabrik atau perusahaan. Di sinilah peran BPPN begitu penting untuk menggerakkan sektor riil. Berikut ini sejumlah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan BPPN. Pencairan kredit macet Nilai total kredit macet yang ditangani BPPN sampai Rp 220 triliun, setara dengan anggaran belanja negara tahun ini. Celakanya, banyak kredit yang tak dibeking jaminan yang memadai. Ketua BPPN Glenn Yusuf menaksir hasil pencairan kredit macet ini tak sampai 30 persen dari total kredit. Penjualan aset konglomerat Pemerintah menalangi seluruh kewajiban bank yang ditutup. Dana talangan ini dibebankan kepada pemilik bank sebagai utang. Karena itu, konglomerat yang banknya ditutup, kini, punya utang triliunan kepada pemerintah. Selain konglomerat yang banknya ditutup, pengusaha yang banknya diambil alih berpeluang punya tanggungan. Ini terjadi jika mereka menarik pinjaman dari banknya sendiri secara berlebihan (dan kebanyakan memang demikian). Penagihan kredit seperti ini akan dialihkan dari bank kepada pemerintah. Dari 14 bank yang ditutup ataupun diambil alih dua tahun lalu (BCA, Danamon, BDNI, dan lain-lain), pemerintah memiliki tagihan Rp 96 miliar pada belasan konglomerat. Tagihan ini harus dilunasi dalam tempo empat tahun, dengan bunga 30 persen per tahun. Pada 10 November pekan depan, pemerintah akan menerima cicilan pertama sedikitnya Rp 55 triliun, yang terdiri atas Rp 26 triliun cicilan pokok dan Rp 29 triliun cicilan bunga. Untuk menjamin pembayaran utang, para konglomerat menjaminkan aset-asetnya. Sampai sejauh ini, satu pekan sebelum cicilan pertama tadi jatuh tempo, BPPN baru bisa mencairkan Rp 8 triliun dari aset-aset itu alias 15 persen dari target. Dari 42 bank yang ditutup dan diambil alih tahun ini, pemerintah punya tagihan sekitar Rp 40 triliun. Dan sampai hari ini, setengah tahun setelah bank-bank itu dibredel, rincian siapa (bankir mana) harus menanggung berapa belum selesai dihitung. BPPN kabarnya kerepotan karena banyak bankir yang tak mengakui pinjamannya. Ini persoalan ekstraberat yang akan segera menjadi bom kalau tak cepat-cepat dibereskan. Penyehatan bank-bank yang diambil alih Belasan bank swasta yang kini dimiliki pemerintah dan dirawat di BPPN harus disehatkan. Sebagai langkah awal, BPPN harus menyuntik modal. Ditanggung sendirian hampir mustahil, tidak ada duitnya. Alternatifnya mengajak investor lain. Sejauh ini, BPPN baru menyuntik modal BCA Rp 28 triliun dan Danamon Rp 26 triliun. Injeksi ini berasal dari dana kasbon Bank Indonesia yang harus dibayar pula oleh pemerintah. Selain itu, BPPN bermaksud mengawinkan bank-bank ini agar lebih ringkas pengelolaannya. Danamon akan digabung dengan Bank PDFCI, baru kemudian diinjeksi modal. Karena kedua bank cukup oke, injeksi modal akan mendongkrak rasio kecukupan modal mereka sampai 17 persen, jauh lebih besar dari yang dibutuhkan. Namun, setelah kedua bank sehat ini digabung dengan tujuh bank yang lain (Bank Duta, Nusa Nasional, Pos Nusantara, Rama, Tamara, Tiara Asia, dan Jayabank Internasional), kondisinya diperkirakan bakal amburadul. Rasio kecukupan modalnya diperkirakan minus hampir 60 persen, sebuah alasan yang rasional untuk menutup sebuah bank.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus