AKANKAH lakon bisnis Joko Soegiarto Tjandra berakhir di bui? Bisa jadi begitu. Raja bisnis perkantoran era 1990-an itu sekarang sedang berurusan dengan Kejaksaan Agung. Kasus Bank Bali yang menyeret namanya sebentar lagi akan disidangkan. Dan sebagai bos PT Era Giat Prima, Joko bersama Setya Novanto disangka menggelapkan uang milik Bank Bali senilai Rp 546 miliar. Joko juga terkena sangkaan korupsi.
Ini kasus kedua untuk Joko. Sebelumnya, ia adalah tersangka kasus korupsi yang dilakukan PT Mulia Griya Indah. Joko meminjam US$ 50 juta ke BRI untuk membangun Mal Taman Anggrek II. Proyek itu gagal, tapi duit bank sudah mengucur dari BRI, bahkan cicilan pun tak dibayarnya. Tapi Kejaksaan Agung malah berencana membekukan perkara ini setelah "gagal" menemukan unsur korupsinya.
Kasus Hotel Mulia lebih sarat korupsi. Dalam kasus hotel mewah di kawasan Senayan ini, dua anak perusahaan Mulia Group terlibat, yakni PT Mulia Intan Lestari, yang mendapat pinjaman dari BBD senilai US$ 75 juta, dan PT Mulia Karya Gemilang, yang memperoleh kredit US$ 50,45 juta dari bank yang sama. Ditambah tunggakan bunga, total kewajiban dua perusahaan Joko yang macet ini mencapai US$ 150 juta atau sekitar Rp 1 triliun.
Kredit macet "segajah" itu bermula dari proyek SEA Games XIX 1997 di Jakarta. Joko ditawari konsorsium SEA Games—Bambang Trihatmodjo, Bambang Soegomo, dan Enggartiasto Lukita—membangun hotel bintang lima berkapasitas seribu kamar di Senayan. Melihat nama "papan atas" itu, Joko kontan setuju. Joko menyanggupi permintaan konsorsium untuk menyelesaikan pembangunan hotel hanya dalam sembilan bulan—normalnya perlu waktu 1 tahun 6 bulan.
Joko melakukan gerak cepat. Persahaman dua perusahaannya dibenahi. Trio konsorsium SEA Games itu masuk sebagai pemegang saham di PT Sari Buana Megah. Sedangkan PT Mulia Kreasi Indah tetap dimiliki Joko dan kakaknya, Eka Tjandranegara. Permohonan kredit pun diajukan ke BBD senilai US$ 75 juta dengan jangka waktu sepuluh tahun plus masa tenggang dua tahun. Pada saat yang sama, Joko mengajukan permohonan kredit senilai US$ 70 juta untuk Karya Gemilang. Uang itu akan dipakai untuk membangun gedung perkantoran Wisma Mulia II di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Kedua aplikasi itu disetujui direksi BBD.
Di tengah jalan, Joko berubah pikiran. Tak hanya hotel yang akan dibangunnya, tapi juga pusat perbelanjaan dan apartemen. Pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, itu kemudian minta agar kredit ke Karya Gemilang dialihkan ke Mulia Intan Lestari. Joko juga meminta tambahan kredit US$ 42,5 juta. Direktur utama BBD ketika itu, Iwan Prawiranata, menyetujui fasilitas kredit tersebut meskipun studi kelayakan untuk proyek itu belum selesai. Hotel Mulia akhirnya selesai persis menjelang SEA Games XIX dilaksanakan. Joko mendapat banyak pujian atas prestasinya itu.
Tapi masa panen Hotel Mulia cuma bertahan tujuh bulan. Krisis yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 telak memukul bisnis perhotelan. Tingkat hunian hotel bintang lima langsung anjlok menjadi di bawah 30 persen. Tarif juga amblas tinggal separuh dari semula US$ 125 per kamar. Akibatnya, Mulia tak sanggup membayar cicilan utang dan minta restrukturisasi utangnya. Anehnya, direksi BBD kemudian menyetujui penghapusan tunggakan bunga dan perpanjangan masa pembayaran bunga.
Bagaimana nasib apartemen dan mal? Mencium gelagat buruk krisis, Joko langsung membatalkan proyek itu. Tapi dia tetap mengemplang kredit yang sudah cair senilai US$ 50,45 juta. Tak jelas ke mana uang itu dipakai. Jika untuk membangun hotel saja, agaknya mark-up besar telah dilakukan. Selain tanahnya gratis, menurut pengamat properti Panangian Simanungkalit, biaya pembangunan Hotel Mulia paling hanya US$ 125 juta. Sialnya, tak ada pasal khusus dalam Undang-Undang Perbankan yang mengatur soal itu. "Kalau mau menjerat, bisa memakai pasal penggelapan atau korupsi," kata pengamat hukum perbankan Pradjoto. Pihak Mulia tidak menjawab pertanyaan TEMPO.
Taktik cuek—kata anak Jakarta—rupanya diterapkan manajemen hotel itu, misalnya dengan tak menepati perjanjian restrukturisasi yang diteken Oktober 1998 dan tetap tak membayar cicilan bunga. Celakanya, nilai jaminan Mulia tak sepadan dengan kredit yang telah cair. Menurut taksiran Panangian, nilai Hotel Mulia kini tak lebih dari US$ 65 juta. Sudah kusut begini, BBD masih harus berebut jaminan itu dengan BRI. Bank rakyat itu memberikan kredit US$ 40 juta untuk apartemen dan US$ 35 juta untuk hotel. Karena itu, tak ada pilihan bagi BBD kecuali menyerahkan kredit macet itu ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dan Joko ternyata terus bandel dengan tak pernah datang meladeni panggilan BPPN.
Ya, pilihan memang cuma satu, kata pejabat BPPN, "Kami mengambil langkah hukum." Apa duitnya akan kembali? Belum ada bau-baunya sekalipun.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini