LEBIH dari sebulan sesudah devaluasi keadaan pasar ternyata
semakin bertambah berat. Menurunnya volume penjualan pelbagai
barang hari-hari ini, telah menyebabkan pengembalian piutang
dari grosir kepada distributor, tidak lancar. "Keadaan sudah
gawat. Banyak cek yang kami terima diminta mundur oleh para
grosir," kata Jim Wiryawan, direktur pemasaran PI' Borsumij
Wehry Indonesia (BWI), Jakarta.
Menurut catatan Jim, dari seluruh total piutang yang diberikan
kepada grosir setiap bulan, hanya 40% yang pembayarannya tepat
waktu. Sisanya mengalami penundaan. "Jika biasanya kami bisa
menagih piutang itu dalam tempo sebulan sesudah penyerahan
barang, sekarang ada yang sampai satu setengah bulan baru bisa
memperoleh uangnya," katanya kepada TEMPO. BWI, yang bertanggung
jawab mendistribusikan 28 macam produk, dari kembang gula sampai
komputer, adalah distributor terkemuka dewasa ini.
Situasi seperti itu juga dialami PT Maxell Panggung Electronics,
Surabaya. Perakit televisi dan kaset recorder merk JVC Nivico
ini, baru bisa menerima pembayaran piutang dari dealer dan agen
paling cepat dalam tempo 60 hari sesudah penyerahan barang.
Tanpa mau menyebut jumlah piutang yang mandek, Hadi C. Widjaja,
direktur pemasaran Maxell, tidak bersedia mengungkapkan berapa
lama perusahaan bisa menerima penangguhan pembayaran piutang.
"Kami tentu tidak bisa menekan mereka, bila memang barang belum
laku dijual," katanya kepada Ibrahim Husni dari TEMPO.
Toh sejauh itu Hadi menyebut Maxell tak mengalami kesulitan
untuk memperoleh modal kerja. Sebab sebagian besar kebutuhan
modal kerja, yang digunakan untuk membeli bahan baku komponen
elektronik, dan menggaji karyawan, sebagian besar dipenuhi dari
modal sendiri. Kemudian sebagian kecil bersumber dari bank dalam
negeri, dan kredit dari pensuplai komponen di luar negeri.
Kendati demikian, di masa pasar sedang lesu seperti kini, Maxell
menganggap perlu menyesuaikan kebutuhan akan modal kerja. "Jadi
kalau pasar hanya mampu menyedot 100 televisi misalnya, ya kami
order komponen untuk jumlah sebesar itu," kata Hadi. "Prinsipnya
kami tidak akan menumpuk stok, baik bahan baku komponen maupun
barang jadi."
Langkah lain untuk menekan kebutuhan modal kerja adalah:
mengurangi waktu kerja menjadi hanya 5 hari. Maxell juga meminta
agar pensuplai bahan baku komponen, mempertimbangkan situasi
khusus pasar Indonesia saat ini. Alhamdulillah, kata Hadi,
pensuplai bisa memahami, dari bersedia memberikan keringanan
harga.
Dalam keadaan pasar lesu, perusahaan memang cenderung
memanfaatkan sumber dana murah untuk memenuhi kebutuhan akan
modal kerja. Tapi sejak pemerintah mengisyaratkan pagu
pertambahan kredit tahun ini hanya akan naik 15%, dana yang
disediakan pelbagai bank kini menjadi mahal. Pada umumnya
tingkat bunga pinjaman modal kerja di pelbagai bank swasta
nasional bergerak antara 24-27% per tahun, Tingkat bunga sebesar
itu, menurut Hadi Permana, wakil ketua Dewan Pimpinan PT
Mantrust, termasuk "sangat tinggi".
Mantrust, yang antara lain menghasilkan makanan dalam kaleng,
setiap bulan rata-rata membutuhkan modal kerja Rp 50 milyar.
Dari Bank Bumi Daya, perusahaan ini baru saja mendapat kredit
modal kerja dengan bunga 15%, sedang dari Bank Central Asia 25%.
Karena dana rupiah di dalam negeri mahal, Mantrust sedang
berusaha memperoleh kredit dari luar negeri (offshore loans),
yang tingkat bunganya dianggap murah. Tingkat bunga pinjaman
antarbank di Singapura (Sibor), misalnya, dianggap kini hanya
9,5% per tahun.
Dalam keadaan mendadak, PT Gobel Dharma Nusantara, misalnya,
juga acapkali meminjam uang dari luar negeri. "Bukan karena
bunganya lebih rendah," kata Jamien A. Tahir, direktur pelaksana
perusahaan penjualan barang-barang elektronik merk National itu.
"Tapi karena kami bisa memperoleh uang secara cepat dengan hanya
angkat telepon."
Sekalipun tingkat bunganya murah, menurut Kenneth R. Wynn,
Dirut PT Multi National Finance Corp. (Multicor), Jakarta, usaha
mencari kredit dari luar negeri itu bukan merupakan cara terbaik
untuk setiap pengusaha. "Perusahaan yang mau pinjam dollar
seharusnya mempunyai pendapatan dalam dollar pula, yang berasal
dari ekspor barang-itu," kata Wynn kepada Minuk Sastrowardoyo
dari TEMPO. Pimpinan tertinggi lembaga keuangan nonbank itu
menasihati: "Bagi pengusaha yang mempunyai sumber dana rupiah,
akan lebih baik jika meminjam dan memegang rupiah."
Pinjaman dollar dari luar negeri memang bisa menjadi beban jika
kelak nilainya menguat terhadap rupiah. Untuk menekan kerugian
akibat perbedaan kurs yang berubah setiap saat itu, Bank
Indonesia menyediakan fasilitas s70ap. Dengan memanfaatkan
fasilitas ini pengusaha bisa memperoleh harga dollar untuk 3
bulan, atau 6 bulan kemudian, berdasar harga yang berlaku pada
saat menutup kontrak swap. Untuk keperluan itu, pengusaha harus
menyediakan asuransi, yang persentasenya disesuaikan dengan
jangka kontrak fasilitas itu.
PT Teijin Indonesia Fibre Corp. (Tifico), penghasil benang
sintetis untuk keperluan industri tekstil, adalah perusahaan
contoh, yang cukup beruntung memanfaatkan swap. "Lebih dari
80% modal kerja yang kami piniam dalam dollar itu ditutup dengan
swap, sehingga kami tidak banyak terpukul oleh devaluasi," ujar
Tadashi Kurosawa, direktur Tifico.
Tapi swap jelas tak banyak bermanfaat pada han-hari rupiah
masih kuat melawan dollar. Memanfaatkan swap di saat seperti
sekarang, tentu hanya akan memboroskan dana perusahaan, karena
sekarang tak terjadi depresiasi rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini