Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG miskin adalah nasabah yang baik. Muhammad Yunus, profesor di Universitas Chittagong, Bangladesh, telah membuktikannya sejak pertama kali menggagas grameen bank (bank desa) di kampung sekitar kampus, pada 1976. Orang-orang miskin yang dikucuri kredit itu selalu mencicil tepat waktu.
Grameen kemudian menyebar dan diadopsi di 50 negara, termasuk Amerika Serikat, karena sistemnya yang tertib dan padu. Indonesia mengikuti setelah pilar ekonomi rontok dihajar krisis 1997.
Sementara bank Yunus ditopang sepenuhnya oleh pemerintah, di Indonesia bank desa dibangun oleh orang-orang swasta. Sebut, misalnya, Yayasan Mitra Usaha, yang didirikan oleh intelektual muslim Dawam Rahardjo. Pengusaha—Palgunadi Setyawan, Teddy Rachmat, dan Benny Subianto—mendirikan Yayasan Dana Bakti Parasahabat. Mereka membidik nasabah perempuan.
Bank desa menerapkan disiplin ketat kepada nasabah yang dibagi berkelompok 3-5 orang. Tanpa agun-an. Kredit hanya untuk usaha produktif. Calon debitor akan diuji kelayakannya. Para pengurus bank akan menilik seberapa mampu usaha calon peminjam itu bisa melunasi kreditnya.
Saringan lainnya adalah anggota kelompok. Peminjam dibebaskan memilih anggota yang dinilainya bakal taat bayar. Sebab, jika satu menunggak, empat lainnya harus menanggung cicilan. Sistem tanggung renteng ini kunci menghindari cicilan seret. Para pengurus juga akan telaten mengingatkan debitor dalam pertemuan wajib mingguan.
Sebetulnya, pola seperti ini tak usah jauh meniru Bang-ladesh. Di Indonesia, sudah sejak 1977 tanggung ren-teng dikembangkan oleh Koperasi Wanita Jawa Timur. Di-rintis oleh Syafril Ilyas dari forum arisan, Koperasi Wanita kini merambah pelbagai usaha dari semula cuma simpan-pinjam. Omzetnya Rp 10 miliar per bulan. Anggotanya 100 ribu di sembilan provinsi. ”Tak ada kredit macet,” kata Yoos Lutfi, ketuanya, pekan lalu.
Teddy Rachmat pernah mengaku yayasannya meniru cara yang ditempuh Syafril. Selama tujuh tahun, Parasahabat sudah mengucurkan kredit Rp 100 miliar kepada 102 ribu nasabah di 53 desa di Jawa. Debitornya pedagang kue, petani jamur, bakul jamu, sampai penjahit pakaian. ”Ini bisnis menguntungkan,” kata Ketua Harian Yayasan Parasahabat, Wisry Sanroy.
Jumlah pinjaman akan dinaikkan jika seorang debitor lancar mencicil. Bank desa bahkan memberikan penghargaan. Parasahabat mengembalikan 0,5 persen dari 2,5 per-sen bunga pinjaman. Koperasi Wanita menyisihkan cicilan menjadi tabungan yang bisa diambil sewaktu-waktu. Besar pinjaman antara Rp 350 ribu dan Rp 1 juta, yang dicicil setiap minggu dalam tempo setahun. Lewat dari plafon itu, nasabah sudah dianggap bukan orang miskin lagi.
Tanggung renteng juga membuat organisasi jadi efektif. Mitra Usaha Cabang Klaten, Jawa Tengah, hanya dikelola oleh enam orang untuk menangani 1.125 nasabah dan pinjaman Rp 1,6 miliar. Koperasi Wanita digerakkan 12 peng-urus. Tugasnya sederhana, cuma administrasi dan meng-atur pertemuan. ”Orang miskin,” kata Yunus, ”memberi pelajaran berharga tentang kepercayaan.”
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo