Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AWALNYA sebuah pertemuan tak sengaja antara Fahmi Akbar Idries dan Yusuf Suwarno di sebuah hotel di Yogyakarta pada pertengahan 2004. Direktur Utama Bank Pasar Kulonprogo ini dikenalkan temannya kepada Yusuf, pemilik PT Radesa Guna Prima, perusahaan penyalur buruh migran ke Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebetulan, Fahmi sedang pusing: tak bisa menagih kredit dari buruh ke Malaysia. Dari Rp 100 juta, lebih dari separuhnya macet. Menagih ke Malaysia jelas tak mungkin. Menagih ke orang tua si buruh, eh, malah disambut tangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sinilah Yusuf memberi saran agar desain kreditnya diperbaiki. "Jangan langsung ke buruh, tapi lewat penyalur," katanya. Fahmi mengangguk. Ke-duanya sepakat menggarap buruh asal Yogyakarta, yang jumlahnya seribu orang setiap tahun.
Calon buruh harus terdidik sehingga bekerja di sektor formal dan legal. PT Radesa yang mencari, Fahmi yang membiayai. Di Kulonprogo, orang yang akan bekerja ke luar negeri harus menjual sapi atau menggadaikan tanah untuk ongkos. Tak sedikit yang tergoda bujukan rentenir.
Sebulan kemudian, PT Radesa mengi-rimkan 129 orang calon buruh yang siap jalan. Fahmi mematok setiap buruh mendapat pinjaman maksimal Rp 5 juta, sesuai dengan kebutuhan ongkos, meng-urus visa, dan biaya pelatihan. Utang itu harus dibayar selama 18 kali dengan bunga 12 persen setahun.
Fahmi tak menagih cicilan langsung ke buruh, seperti sebelumnya. Perwakilan PT Radesa di Malaysia yang menampung cicilan itu, lalu mentransfer ke Kulonprogo. Cicilan tahap pertama lancar.
Tapi, Fahmi masih khawatir. Ia meminta PT Radesa menyetor jaminan berupa aset sebesar 25 persen dari kredit yang dikucurkan. Ia juga mendaftarkan para buruh ke perusahaan asuransi.
Bank milik pemerintah Kabupaten Kulonprogo ini membayar premi setiap bulan sebesar Rp 123 ribu per orang. Jika buruh meninggal, asuransi akan membayar seluruh pinjaman. Jika buruh pulang karena sebab lain, hanya separuh pinjaman yang diganti.
Belakangan, karena inflasi, plafon dan bunga dinaikkan menjadi Rp 5,5 juta dan 18 persen. Peminat tetap membludak. Setiap pekan, PT Radesa rata-rata mengirim 30 orang ke Malaysia. "ni bisnis menjanjikan," kata Fahmi, pekan lalu.
Fahmi tinggal menunggu pasokan buruh dari PT Radesa. Kredit ngucur, terima cicilan, untung sudah di tangan. Sebab, jika buruh telat membayar ke PT Radesa, perusahaan ini yang menalangi ke Bank Kulonprogo. Alhasil, sudah dua tahun ini tak ada cicilan macet.
Hingga bulan ini, Bank Pasar Kulonprogo telah memberangkatkan 1.800 pekerja ke Malaysia, 15 persen dari total nasabah. Kredit yang disalurkan mencapai Rp 8,7 miliar. Pundi-pundi bank pun kian tebal. Sementara pada 2001 asetnya cuma Rp 1,3 miliar, pada akhir- 2005 membengkak menjadi Rp 68,5 mi-liar. Dengan laba bersih Rp 2 miliar per tahun, Bank Kulonprogo bisa menggaji karyawan baru Rp 2 juta per bulan.
Agar setoran dari buruh lancar, agen PT Radesa menongkrongi para buruh itu pada tanggal gajian. Gaji buruh di per-usahaan tekstil atau elektronik sekitar 800 ringgit (Rp 2 juta). PT Radesa memotongnya 150 ringgit, atau Rp 400 ribu, untuk cicilan dan 100 ringgit untuk pajak. "Sejauh ini belum ada buruh yang menunggak," kata Wiwik Agustina, Kepala PT Radesa Cabang Yogyakarta.
Sukses Bank Pasar Kulonprogo menggarap buruh membuat bank sejenis tergoda meniru. Sudah ada sepuluh bank perkreditan rakyat dari Jawa dan Bali "magang" di Kulonprogo. "Kami sedang mendorong bank lain meniru Kulonprogo," kata Direktur Pengawasan BPR Bank Indonesia, Irman Djaja Dalimi.
Ia menganjurkan bank kecil yang jumlahnya mencapai 1.955 ini tak hanya fokus mencari nasabah dari perusahaan kecil-menengah. Buruh adalah debitor basah untuk bank kecil. Di kelas BPR, baru Bank Pasar Kulonprogo yang tertib menggarap nasabah buruh migran.
Potensinya menggiurkan. Setiap tahun Indonesia mengekspor 450 ribu buruh ke Asia dan Timur Tengah. Kiriman uang ke dalam negeri lewat bank atau wesel mencapai Rp 17 triliun pada akhir 2005, sepertiga lebih besar ketimbang investasi asing. Kira-kira 70 persennya lagi dikirim tidak lewat bank sehingga luput dari catatan.
Bagi calon "pahlawan devisa", kredit lunak ini juga amat menolong. Suciyanti asal Purworejo, Jawa Tengah, merasakannya. Perempuan 20 tahun tamatan SMA ini tak ragu meneken surat akad kredit, Senin dua pekan lalu. Tanpa harus jual sapi atau menggadaikan sawah, ia bisa berangkat ke Malaysia untuk bekerja di pabrik sarung tangan. "Saya cuma bawa diri saja," katanya. ●
Syaiful Amin dari Kulonprogo berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo