Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi
Telekomunikasi

Berita Tempo Plus

Adu Kuat di Bisnis Langit

Telkom dan operator broadband berebut penggunaan pita frekuensi 3,5 GHz. Arah angin berpihak ke Telkom.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Adu Kuat di Bisnis Langit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TALAK satu” itu jatuh perte-ngahan Juli lalu. Jika dalam enam bulan tak kunjung terbuhul kesepakatan antara ope-rator satelit dan pita lebar (broadband), pihak kedua harus cabut dari pita frekuensi 3,5 GHz—yang me-reka tempati bersama.

Dalam spektrum gelombang mikro (microwave), pita ini termasuk kelompok C-band, atau extended C-band, yang bisa digunakan oleh teknologi satelit maupun transmisi data melalui serat optik, seperti broadband wireless access (BWA).

Sejatinya, ”perkawinan” kedua ope-rator itu di Indonesia sudah berjalan enam tahun, terhitung sejak terbitnya surat keputusan Dirjen Pos dan Telekomunikasi pada 2000 lalu, yang meng-atur penggunaan frekuensi bersama. Hubungan keduanya memang tak selalu harmonis. Sesekali silang-sengkarut muncul. -Bia-sanya menyangkut terganggunya gelombang sate-lit oleh BWA.

Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI), Tonda Priyanto, menyatakan kasus-kasus interferensi itu sudah terjadi di Jakarta, Surabaya, dan Medan. ”Meski secara teori interferensi bisa dihindarkan, kenyataannya gelombang satelit sering mengalami side loop dari BWA,” kata-nya.

Namun, bukan itu gong yang memuncaki hubungan tegang kedua operator ini. Persoalan justru muncul dari sudut lain: slot orbit satelit 118E Bujur Timur Ku Band—selanjutnya disebut slot 118. Kisruh bermula Mei lalu, ketika Indosat mengembalikan pengelolaan satelit Palapa C2 kepada pemerintah akibat tak kuat melanjutkan investasi.

Masa kepemilikan slot berakhir pada 15 Juli 2006, dan harus didaftarkan ulang kepada Badan Telekomunikasi- Internasional (ITU) jika ingin diperpanjang penggunaannya oleh Indonesia. Jika tidak, ITU berhak memberikan ”tempat parkir” satelit itu kepada negara lain yang tertarik.

Berdasarkan prosedur standar ITU, proses uji tuntas untuk melakukan pendaftaran mestinya dilakukan dua tahun sebelumnya. Artinya, pemerintah Indonesia seharusnya sudah mempro-sesnya pada Juli 2004 jika tetap tertarik pada slot 118. Bila kehilangan slot ini, dan pemerintah ingin menentukan slot baru sebagai tempat satelit, perlu waktu 7-9 tahun sejak aplikasi awal. Repot. Nah, terjepit oleh waktu dan prestise negara, pemerintah akhirnya meminta sebuah konsorsium yang dimotori Telkom untuk menggantikan Indosat.

Telkom setuju. Sebuah satelit bekas yang sudah beroperasi satu dekade (floater) dari Rusia disewa, dan digeret untuk menempati slot itu sampai 2009—saat satelit baru Telkom-3 diorbitkan. Berapa harganya? ”Antara US$ 2,5 juta - 3 juta (sekitar Rp 22,5 miliar - 27 mi-liar),” kata Direktur Utama Telkom, Arwin Rasyid, awal Agustus lalu.

Sampai di sini tak ada persoalan langsung dengan BWA—kecuali pertanyaan yang tetap harus dijawab serius: layak-kah dana sebesar itu dihamburkan untuk satelit bekas yang tak berfungsi- sama sekali? Masalah muncul ketika ternyata Telkom meminta syarat tambahan kepada pemerintah.

Intinya: frekuensi 3,5 GHz, yang selama ini dipakai bersama, harus dibersihkan dari semua operator broadband. Alasannya: Indonesia sebagai negara kepulauan lebih membutuhkan sistem satelit ketimbang BWA, dan karena itu dibutuhkan regulasi yang lebih tegas. ”Kita sudah mengenal satelit sejak 1976,” ungkap Tonda Priyanto, yang juga General Mana-ger Sub-Divisi Satelit Telkom.

Asosiasi Broadband Wireless Indonesia (Abwindo), yang merupakan gabungan enam ope-rator broadband (Aplikasinusa Lintasarta, Citra Sari Makmur, Reka Jasa Akses, Jasnikom Gemanusa, Corbec Communication, dan Indosat), jelas menampik penjelasan Telkom.

Menurut perhitungan Yoyo W. Basu-ki, Ketua Abwindo sekaligus Presiden Direktur Lintasarta, keenam operator sudah mengucurkan investasi Rp 400 miliar, membangun 200-an BTS (base transceiver station), dengan menggaet sekitar 5.000 pelanggan. ”Selama ini kami pun sudah mengikuti semua aturan pemerintah.” Karena itu, jika nanti tetap diusir, ”Kami akan meng-ambil jalur hukum,” ujarnya.

Problem interferensi yang kerap di-keluhkan operator satelit juga dibantah Yoyo. Ia mencontohkan kasus terbaru, beberapa pekan lalu, di Pontianak yang melibatkan Pasifik Satelit Nusantara (PSN) dan Lintasarta. ”Kami dituduh menginterferensi PSN, padahal secara teknis hal itu ternyata bisa di-atasi,” -katanya.

Tonda berbeda pendapat. Menurut dia, Indonesia bersama Cina, Vietnam, dan Brasil bahkan sudah bersepakat bahwa frekuensi 3,4-4,2 GHz merupakan C-band yang paling cocok untuk daerah tropis. ”Kita lihat saja Amerika Serikat dan Rusia, yang sudah sedemikian maju teknologinya, toh masih menggunakan satelit,” katanya.

Kita tinggalkan sejenak debat teknis ini, dan mencoba men-dedah kalkulasi bisnis yang dilihat kedua pihak. Di mata Abwindo, jika satelit pengganti Telkom-3 jadi diluncurkan pada 2009 dan menggunakan frekuensi 3,5 GHz, proyek itu bakal me-nguras dana US$ 42,5 juta (Rp 382,2 miliar). Padahal, jika di-alihkan untuk membangun BWA, menurut kalkulasi Abwindo, dana sebesar itu cukup untuk membangun 355 BTS baru.

Jika diperbandingkan sisi pendapatan se-lama 5 tahun (2009-2014) setelah satelit meng-orbit, kocek pemerintah pun hanya akan bertambah US$ 6 juta dari investasi satelit—jauh lebih rendah diban-ding US$ 209 juta dari broadband. ”Jelas sekali pemerintah di-fait accompli oleh Telkom,” ujar Yoyo. ”Bukan karena pe-merintah punya niat buruk.”

Perhitungan berbeda disodorkan Asosiasi Satelit. Dengan mengasumsikan bisnis satelit akan beranak-pinak pada bisnis VSAT (very small aperture terminal), user (umpamanya: perbankan), dan value added service (misalnya gerai ATM perbankan), diperkirakan bisnis ini akan meraup sekitar Rp 6 triliun. ”Jumlah itu setara dengan lima persen dari transaksi telekomunikasi Indonesia,” tutur Tonda Priyanto. Sedangkan dari potensi extended C-band masih ada 42 transponder yang bisa dikembangkan.

Kepada Tempo, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil membenarkan adanya permintaan Telkom soal pembersihan pita 3,5 GHz sebagai imbalan pengelolaan slot 118. ”Sistem satelit masih lebih dibutuhkan oleh negara kepulauan seperti Indonesia,” ujarnya.

Lagi pula, kata Sofyan, sudah ada surat keputusan Dirjen Postel sebagai landasan legal yang mengatur bahwa status primer ada pada satelit, dan status sekunder pada broadband. Toh, kata Djalil, operator broadband masih bisa menggunakan pita fre-kuensi lain se-per-ti 3,3 GHz atau 5,8 GHz ke-timbang ngotot meng-gu-na-kan pita 3,5 Ghz.

Akmal Nasery Basral

POTENSI PENERIMAAN NEGARA 2009-2014* *dalam US$, menurut perhitungan Abwindo

Jenis PenerimaanSatelitBroadband
Biaya Sewa Frekuensi (BHP)80.0004.650.000
PPN 10%5.400.000186.375.000
BHP 1 %540.00018.637.500
Total6.020.000209.663.000

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus