Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Benahi Pertamina, Gebuk Tikus-Tikusnya

RUU Migas yang diajukan Menteri Kuntoro "disaingi" RUU versi Pertamina. Ada apa di balik perseteruan Kuntoro vs Martiono?

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto sudah tiga pekan ini terlihat kuyu, loyo, dan tegang. Ia harus mondar-mandir ke Gedung DPR di Senayan untuk membahas RUU Minyak dan Gas (Migas) yang diajukan pemerintah Februari lalu. Dua minggu lagi, tepatnya 29 Juli nanti, rancangan undang-undang yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8/1971 tentang Pertamina itu diharapkan sudah bisa disahkan DPR. Tapi, tak dinyana, dua pekan silam, ada ganjalan yang besar: Pertamina mengajukan RUU Migas "tandingan", yang isinya sebagian besar bertentangan dengan RUU yang diajukan pemerintah. Sesungguhnya, rancangan versi Kuntoro bersemangat bagus: liberalisasi sektor minyak dan gas. Juga ini: menjadikan Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang kuat dan mandiri. Tekad Kuntoro, segala tetek-bengek yang membuat Pertamina tak mampu bersaing harus dipotong habis, agar perusahaan itu mampu bersaing dengan Petronas, misalnya. Perusahaan minyak Malaysia itu sudah jauh meninggalkan Pertamina, padahal potensi minyak Malaysia jelas tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Indonesia. Tapi Martiono Hadianto, Direktur Utama Pertamina, tak menerima aturan Kuntoro begitu saja. Sejumlah pasal yang diajukan Kuntoro ditolak, misalnya soal pemegang kuasa pertambangan. RUU versi Kuntoro menyebutkan bahwa pemegang kuasa pertambangan nantinya bukan lagi Pertamina, melainkan pemerintah. Kuntoro ingin mencontoh pola yang berlaku di pasar modal. Lembaga yang akan meneken setiap kontrak kerja sama dan mengawasinya adalah lembaga pemerintah yang akan mirip-mirip dengan Badan Pengawas Pasar Modal. Tugas itu sebelumnya dilakukan Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) di bawah Pertamina. Pihak Pertamina ngotot agar kuasa pertambangan jangan di tangan pemerintah, tapi diserahkan saja ke BUMN—apakah itu Pertamina atau BUMN lain yang didirikan pemerintah. Anggota Komisi V DPR, seperti Priyo Budi Santoso dan Tubagus Haryono, juga sepakat dengan Pertamina. "Kalau Pertamina dianggap menjadi sarang tikus, jika (kuasa pertambangan) nanti dioper ke pemerintah, pasti akan menjadi sarang tikus baru," kata Priyo. Menteri Kuntoro menolak keberatan Martiono dan anggota DPR itu. Menurut lulusan ITB itu, proses pemindahan tersebut bukan seperti bedol desa. "Yang jelek dibuang, prosedurnya disederhanakan, dan juga dilakukan debirokratisasi. Yang penting, semuanya dilakukan secara transparan dan kredibel," katanya. Bagaimana dengan anggapan bahwa rumah yang penuh tikus, walau dibersihkan, pastilah kelak tikus akan kembali lagi? "Benerin rumahnya dan gebuk juga tikus-tikusnya," kata Kuntoro. Pemegang kontrak bagi hasil produksi (KPS) memihak Kuntoro. Pendapat mantan orang pertama Arco, Tengku Nathan Machmud, menjelaskan hal itu. Machmud menganggap Pertamina keberatan beban. Jika terus diminta mengurus kontrak production sharing, sesuai dengan UU Nomor 8/1971, Pertamina dinilainya sulit berkembang. Sebab, selama ini Pertamina cuma mendapatkan 2 persen dari seluruh hasil bersih penjualan minyak Indonesia. Dengan pendapatan sekecil itu, Pertamina jelas sulit membesarkan skala usahanya. Lihat saja kontribusi Pertamina terhadap produksi minyak mentah nasional yang cuma 4 persen dari total produksi harian 1,5 juta barel. "Karena itu, Pertamina jangan lagi dibebani tugas mengelola KPS," kata Machmud. Dirjen Migas Rachmat Sudibyo mengatakan, kalau Pertamina dibebaskan dari kewajibannya selama ini, perusahaan itu bisa mencari untung dengan terus meningkatkan efisiensinya. Artinya, pemupukan modal hanya bisa terjadi jika orientasi Pertamina semata-mata mencari keuntungan. "Kalau dibebani macam-macam, apakah bisa Pertamina membangun kilang senilai US$ 2 miliar?" kata Sudibyo. Kalau Pertamina tak mampu membangun kilang sendiri, pada akhirnya pemerintah yang tertimpa beban karena harus mengimpor bahan bakar minyak. Yang juga ramai diperdebatkan adalah usul Kuntoro untuk mengganti kontrak bagi hasil produksi (KPS) dengan kontrak kerja sama (KKS). Alasan Kuntoro, dengan KKS, terbuka kemungkinan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada bagi hasil produksi. Sebaliknya, menurut Pertamina dan DPR, dengan bagi hasil produksi, pemerintah mendapatkan kepastian pendapatan bersih sesuai dengan kontrak yang disepakati sebelumnya. Misalnya, untuk blok Coastal Plain Pekanbaru di Riau, bagi hasilnya adalah 85 persen untuk pemerintah Indonesia, sisanya untuk kontraktornya. Jika kelak kontrak kerja sama diberlakukan, dipastikan para pemegang kontrak bagi hasil akan lebih diuntungkan. Sebab, dengan pola kerja sama, untung dan rugi akan ditanggung bersama oleh pemerintah dan mitranya. Dengan sistem bagi hasil produksi, semua biaya ditanggung kontraktor. Padahal, eksplorasi saja membutuhkan dana yang sangat besar. Caltex, misalnya, sudah mengeluarkan biaya eksplorasi di luar Riau sekitar US$ 800 juta, US$ 400 juta di antaranya amblas begitu saja karena minyaknya tak ditemukan. Perusahaan minyak Shell dari Inggris kehilangan US$ 700 juta dari eksplorasi yang gagal. Dengan kuatnya argumentasi Pertamina, Menteri Kuntoro akhirnya mengalah. Sistem KPS tetap diterapkan. Puaskah Pertamina? Belum. Karena itu, RUU Migas versi Pertamina kemudian diluncurkan Martiono. Menurut Direktur Utama Pertamina yang mantan Dirjen BUMN itu, Pertamina tidak tiba-tiba membuat RUU Migas. Rancangan itu muncul setelah ada permintaan dari Sekretariat Negara. "Mungkin karena melihat pembahasan RUU Migas alot, Sekretariat Negara mengambil inisiatif meminta Pertamina memberikan usul," katanya. Tapi, menurut Menteri Sekretaris Negara Muladi, yang diminta adalah usul atau masukan, bukan sebuah RUU. Langkah Pertamina mengajukan RUU Migas itu dinilai Muladi, "Di luar prosedur." Sebab, sebuah RUU seharusnya diajukan departemen dan bukan BUMN seperti Pertamina. Lagipula, menurut Muladi, pintu pengajuan RUU cuma satu, yaitu Sekretariat Negara, dan RUU Migas yang dibuat Departemen Pertambangan dan Energi sudah disetujui presiden untuk diajukan ke DPR. Muladi mengaku, draf RUU Migas bikinan Pertamina itu sudah ada di mejanya. "Tapi tetap tak mungkin diajukan ke DPR," kata Muladi. Salah prosedur? Tidak juga. Martiono tidak memberi tembusan RUU Migas versi Pertamina itu ke Departemen Pertambangan dan Energi. Martiono bahkan tak berusaha melaporkan soal itu ke Menteri Kuntoro. Padahal, Menteri Pertambangan dan Energi adalah komisaris Pertamina. "Mungkin dia lupa," kata Kuntoro ringan. Martiono sendiri juga cuek. "Kan sekarang dia tahu juga (dari pers)," kata Martiono enteng. Sengketa ternyata dimulai sejak pembahasan RUU Migas dilakukan pada September 1998. Pertamina merasa tidak pernah diajak omong oleh Departemen Pertambangan dan Energi, dan hanya dipakai sebagai obyek bahasan. Padahal, Pertamina merasa dialah yang seharusnya paling banyak diminta masukannya. Saking jengkelnya, Martiono sampai tak pernah datang ke seminar atau acara sosialisasi RUU yang diselenggarakan Departemen Pertambangan dan Energi. Bahkan Martiono mengaku tak mengikuti perkembangan pembahasan RUU itu di DPR. Di balik pertarungan pasal-pasal RUU Migas ini, tersembunyi pertarungan kepentingan yang tak kalah dahsyatnya. Kalau RUU versi Kuntoro jadi diteken, Pertamina memang bakal kehilangan banyak "lahan". Selama ini, dengan sistem bagi hasil, Pertamina memang cuma mendapat 2 persen, sisa bagi hasil langsung disetor ke kas pemerintah. Tapi, dengan sistem lama, Pertamina menikmati banyak keuntungan, misalnya dari tender, pengerjaan proyek dan juga unit-unit pendukungnya. Pertamina antara lain memiliki usaha pengangkutan, transportasi, perhotelan, sampai asuransi. Dari asuransi, misalnya, Pertamina bisa meraup keuntungan bersih sampai Rp 259 miliar pada 1998/1999. Jumlah itu kira-kira sama dengan 10 persen pendapatan bersih Pertamina pada tahun itu. Deretan angka besar ini memperjelas mengapa kedua pihak begitu kuat bertahan. Bisa diduga, dukungan untuk kedua kubu ini juga tidak gratis begitu saja. Kuntoro menyebut soal vested interest di kalangan anggota DPR yang mati-matian membela Pertamina. Sebaliknya, Kuntoro dicurigai karena fanatiknya dukungan pemegang KPS kepadanya. Anggota DPR, misalnya Priyo Budi Santoso, mengaku mendengar selentingan soal sogokan itu. Namun, dia tidak percaya Kuntoro dibayar kontraktor asing untuk mengegolkan RUU Migas itu. "Namun, kalau diurut-urut, mungkin saja itu terjadi," katanya. Sama persis ihwalnya dengan rumor yang menyebut anggota DPR dibayar Pertamina untuk menggagalkan usul Kuntoro. "Setidaknya saya akan menolak itu," kata Priyo. Apa pun argumentasinya, yang harus dibela adalah upaya menjadikan Pertamina sebagai perusahaan yang transparan dan sehat. Selama ini Pertamina selalu diaudit lembaga pemerintah sendiri, dan baru tahun ini IMF memerintahkan Pertamina diaudit lembaga asing seperti Price Waterhouse. Hasilnya, ada kebocoran Rp 43 triliun dari berbagai tempat di Pertamina. Kebocoran itu, kabarnya, juga karena Pertamina sering "ditodong" organisasi politik seperti Partai Golkar, yang dalam pemilu lalu kebagian US$ 10 juta. Isu ini dibantah juru bicara Pertamina, Ramli Djaafar. Semua ini membuktikan bahwa Pertamina perlu segera keluar dari ketiak pemerintah dan bersaing secara sehat. Kalau ide liberalisasi sektor migas berjalan, akan ada banyak perusahaan yang bersaing menambang dan bahkan menjual migas secara langsung kepada rakyat di sini. Jika tercapai, rakyat jelas akan diuntungkan dengan harga minyak yang bersaing. M. Taufiqurohman, Ali Nur Yasin, Arif Kuswardono, dan I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus