Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang betul, sudah setahun ia tak membayar cicilan. Tapi itu bukan karena sengaja mau mengemplang. "Penjualan mandek. Saya mau bayar pakai apa?" tanyanya. Ia mengaku sudah melakukan beberapa akrobatik agar bisa mencicil pinjaman. Jumlah pegawai dipangkas. Beberapa kapling dan rumah stok dijual obral. Pokoknya jual rugi. Tapi itu tetap tak bisa nutup. Tagihan bunga makin menggunung.
Penjadwalan pelunasan kala itu sedang dibicarakan ketika akhirnya pinjamannya dioper ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Semula ia mengaku senang. Ia berharap BPPN bisa menangani tunggakannya dengan lebih profesional, lebih cepat, dan lebih murah.
Tapi apa yang didapatnya? "Masa, kita disuruh menanggung sendirian biaya konsultan hukum dan auditor yang mahalnya minta ampun?" katanya. Ia mengaku tak keberatan harus membayar, tapi, "Mbok besarnya disesuaikan dengan kemampuan." Ia khawatir, dengan cara kerja gebyah-uyah alias pukul rata ala BPPN ini, "debitur gurem" seperti dia, "Jangankan bisa melunasi utang, membayar konsultan saja tak sanggup."
Nasib dan kemampuan penunggak kakap yang kini ditangani BPPN memang tak seragam. Ada yang cuma menjadi korban pengusaha lain, ada pula yang punya utang besar dan macet tapi di proyek lain ia sukses. Berikut ini profil beberapa debitur kakap.
Tirtamas Majutama
Pengusaha Hashim Djojohadikusumo boleh jadi akan mendapat sebutan "The Most Wanted" dari BPPN. Tiga perusahaannya masuk daftar penunggak utang kakap yang tak mau bekerja sama. Ketiganya adalah PT Tirtamas Majutama (berutang hampir Rp 1,1 triliun), PT Tirtamas Comexindo (Rp 344 miliar), dan PT Semen Cibinong Tbk. (Rp 205 miliar lebih). Vonis yang menanti Hashim agaknya cuma dua pilihan yang sama sulitnya: disita atau dipailitkan.
Selain menunggak utang di beberapa bank BUMN, urusan Hashim dengan BPPN masih ada lagi. Anak dedengkot perekonomian Sumitro Djojohadikusumo itu juga belum bersedia menjaminkan asetnya untuk menutup kewajiban Bank Pelita, Bank Istismarat, Bank Industri, dan Bank Papan Sejahtera, yang dibekukan pemerintah.
PT Tirtamas sebenarnya sudah meneken surat sanggup pada 21 Juni. Tapi, akhir Juni, BPPN menolak surat sanggup itu karena Tirtamas dianggap mengubah beberapa pasal tanpa pembicaraan lebih dulu. Salah satu alasan yang menyulut kemarahan BPPN adalah keengganan Tirtamas menambah modal untuk Semen Cibinong atau melakukan divestasi. Selain itu, kebandelan Hashim yang tak mau menyelesaikan kewajiban banknya yang ditutup juga menjadi pertimbangan tersendiri.
Soal jumlah utang dan proyek Tirtamas juga menjadi perdebatan. Hashim mengaku utang Tirtamas cuma Rp 590 juta. Padahal, di BPPN tercatat tunggakannya hampir dua kali lipatnya.
PT Seamless Pipe Indonesia Jaya
Ini contoh jelas bagaimana mudahnya Grup Bakrie menggaet kredit. PT Seamless Pipe Indonesia Jaya, perusahaan pipa tanpa kampuh yang sepertiga sahamnya dimiliki Bakrie & Brothers, bisa mendapatkan utang Rp 1 triliun lebih.
Padahal, proses produksi di Seamless Pipe betul-betul sederhana: mengimpor pipa jadi dari Argentina, melapisinya dengan lapisan antikarat, membuat ulir (drat) untuk sambungan, dan menjualnya kepada kontraktor minyak. Singkat kata, proses kerjanya tak rumit dan investasinya tak besar. Besarnya kredit Seamless Pipe boleh jadi cuma untuk modal kerja.
Sialnya, ketika krisis menyerbu, pembangunan konstruksi perminyakan ikut lesu. Presiden Bakrie & Brothers, Irwan Sjarkawi, mengakui bahwa pesanan seamless pipe turun jauh. Akibatnya, "Stok menumpuk."
Kegiatan di pabrik Seamless Pipe memang mencerminkan lesunya produksi. Pipa terlihat menumpuk memenuhi halaman pabrik. Mesin-mesin penyambung dan pemotong pipa di los besar bagian belakang tampak menganggur. "Pekerjaan di sini berkurang jauh dalam beberapa bulan terakhir," kata salah seorang karyawannya.
Sepanjang hari, pintu gerbang pabrik itu selalu tertutup. Buruh pabrik keluar-masuk lewat pintu kecil di samping gerbang. Di dalamnya, cuma tampak dua forklift besar yang hilir-mudik memindahkan pipa berbagai ukuran. Jumlah karyawan yang bekerja pun cuma belasan. Anehnya, yang diutang itu lo, kok, sampai Rp 1 triliun lebih.
Multi Angsana Ganda
Sudah jatuh diimpit tangga. Barangkali itulah yang dialami Dewi Ongko, pemilik Multi Angsana Gandatak punya hubungan keluarga dengan konglomerat Kaharuddin Ongko. Utang Multi Angsana di Bank Dagang Negara (BDN) sebesar Rp 420 miliar lebih dinyatakan macet. Itu semua gara-gara Dewi Ongko tergiur melihat prospek sebidang lahan seluas 60 ribu meter persegi di kawasan Kuningan, persis di sebelah Gedung Granadi.
Semula, yang berutang kepada BDN bukanlah Dewi, melainkan Subagio Wirjoatmodjo. Bersama Budiarto Buntaran (Tigamas Group) dan Made Oka Masagung (Gunung Agung), mantan eksekutif Astra ini ingin punya bisnis sendiri. Subagio dan kawan-kawan menarik utang US$ 31 juta dari BDN untuk membeli lahan "emas" tadi.
Rupanya, trio emas ini "bermodal dengkul". Mereka tak punya lagi uang untuk membangun gedung. Masuklah Dewi ke proyek setengah jadi itu. Ia yakin lantaran didukung oleh mitra usahanya, PT Patramas Adilokaanak perusahaan Patra Jasa. Dan yang lebih menjanjikan, pengelola dana pensiun pegawai negeri, PT Taspen, bersedia membeli 49 persen saham senilai Rp 100 miliar.
Tapi, apa mau dikata, semua angan-angan itu berantakan. Taspen ternyata cuma sanggup menyetor Rp 30 miliar. Nasib Dewi makin memelas ketika Menteri Keuangan (kala itu) Mar'ie Muhammad minta agar investasi Taspen di Angsana ditarik kembalimeskipun pada akhirnya belum dikembalikan ke pemerintah. Uang Rp 30 miliar itu, kabarnya, cuma habis untuk membayar bunga.
Dewi makin terpukul ketika Metropolitan Land dan Land Lease, yang semula mau berkongsi, kemudian juga mundur. Niat Dewi menyelesaikan proyeknya kembali terkatung-katung, apalagi setelah nilai rupiah anjlok. Utang yang tadinya Rp 69 miliar itu menggelembung menjadi Rp 422 miliar. Dewi sendiri tak tahu bagaimana harus melunasi utang itu. Tapi, katanya, nilai lahan mentah itu kini masih cukup tinggi. Harganya ditaksir bisa mencapai Rp 10 juta per meter persegi, sehingga nilai lahan itu bisa sampai Rp 600 miliar.
Wanita Jawa ini cuma bisa pasrah. Niatnya membangun bisnis properti sudah dikubur dalam-dalam. "Ibaratnya saya punya bayi dan dijanjikan mendapat suami kaya, tapi ternyata tak jadi," katanya. Sialnya, "Bayinya sudah saya gendong, tidak mungkin saya taruh di pinggir jalan."
Henry Liem
Agaknya, hoki Henry Liem tak secerah pamannya, Liem Sioe Liong. Meskipun ada yang sukses, sebagian besar bisnis Henry rontok dihantam krisis. Sedikitnya empat perusahaan di bawah Grup Mayapadha miliknya kini ditangani BPPN karena utangnya senilai hampir Rp 435 miliar macet di Bank BNI.
Menurut pengakuan seorang eksekutif Mayapadha, dari keempat perusahaan itu, yakni PT Dewata Agung Wibawa, PT Adhikayu Indoraya, PT Adhibusana Megah Perkasa, dan PT Indokulit Adhiperkasa, cuma Dewata yang masih beroperasi. Itu pun, "Bisnisnya sudah tak layak lagi," kata Andy Tjandra, juru bicara Henry Liem.
Menurut Andy, jatuhnya bisnis Henry lebih banyak dipicu oleh krisis. Dewata, perusahaan yang mengelola toko bebas bea (duty free) di Denpasar, Jakarta, dan Surabaya, berutang dalam dolar. Padahal, bisnis wisata sedang loyo. "Turis yang datang anjlok sampai 70 persen," katanya. Akibatnya, pendapatan Dewata yang sebelum krisis sempat "menyumbang" Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebanyak US$ 423 juta itu merosot drastis.
Kendati gagal menyopiri Dewata dan tiga serangkai "Adhi" itu, bisnis Henry tak semuanya jeblok. Anak Liem Suhanda ini masih punya harta yang sangat bernilai, yakni kondominium Four Seasons-Regent Residential, yang letaknya di belakang Hotel Regent, Kuningan.
Kondominium paling mewah di Jakarta itu punya nilai investasi yang lumayan besar, sekitar US$ 200 juta. Pemasarannya juga lumayan. Dengan menggunakan sistem pre-sales, Four Seasons berhasil menggaet 46 pengusaha Singapura untuk tinggal di sana. Harga satu unitnya US$ 500 ribu sampai US$ 700 ribu.
M. Taufiqurohman, Ali Nur Yasin, Maha Adi,Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo