Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Gusti

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ujung sebuah tahun yang sebenarnya mencemaskan, sang pemimpin berkata, "Aku mencintai rakyatku." Selama sepekan ia berdiam di ruangnya yang jauh, dan berbicara terus demikian, di depan cermin yang persegi, di muka kolam yang terang, di depan jendela yang menghadap kebun batu. Pada awal tahun berikutnya, ia mengubah suaranya dan berkata, "Rakyatku mencintai aku." Adapun hari jadi lamban waktu itu, seakan-akan jam mengayuh jarumnya dalam lumpur tebal. Ketika Februari berakhir, sang pemimpin pun berkesimpulan, "Aku adalah rakyatku, rakyatku adalah aku." Di klimaks percintaan yang paling luhur dan bergelora, demikian ia berkata, Pemimpin dan Rakyat berpadu, Gusti dan Kawula manunggal. Apakah yang dibayangkannya pada saat seperti itu? Bahwa di balairung itu, juga di luarnya, di jalan panjang dari bandar sampai ke markas-markas laskar, dari hutan di pegunungan sampai ke ruang-ruang perundingan, sejarah seakan-akan berhenti? Alam seakan-akan jadi baka? Ketika Gusti dan Kawula jadi satu, jarak memang akan hilang dalam kekekalan. Sang Kawula akan tetap jadi Sang Kawula. Tak ada rasa takut. Tak ada ancaman. Jarak hilang antara Gusti dan Kawula, antara Pemimpin dan Rakyat, karena tak ada yang diinginkan dan belum tercapai. Persatuan dalam percintaan—itukah gambaran yang benar tentang hubungan antara Sang Pemimpin dan yang dipimpin? Tapi persatuan dalam percintaan seperti itu tak akan menggerakkan sejarah. Sang Gusti tak akan pernah merasa diri sebagai Tuan. Pada saat yang sama, Sang Kawula—yang selamanya hanya diceritakan oleh Sang Gusti—tak akan pernah dikira sebagai Sahaya. Tapi benarkah kekuasaan tak hadir di sana, sehingga sejarah bisa berhenti? Sang Pemimpin kita yang lembut hati itu tak mengira bahwa kekuasaan punya peran, juga dalam memproduksikan dongeng lama dari Jawa tentang manunggalnya Kawula dan Gusti. Hubungan mistik antara pemimpin dan rakyat adalah cerita yang datang dari keinginan untuk tak mengakui bahwa ada sebuah kesadaran yang palsu dalam setiap titah dan kepatuhan. Bagaimanapun, di luar kamar sang Pemimpin, sejarah bergerak terus. Dan sejarah—sebagaimana pernah diujarkan Hegel—bergerak lantaran Sang Sahaya bertindak dan bekerja untuk tak lagi jadi Hamba. Sejarah baru berakhir, lengkap, ketika Befriedigung, rasa puas yang disadari, tercapai. Pada zaman ini, Hegel mungkin dianggap kuno; siapa kini yang mengakui bahwa ada Tuan dan ada Hamba dalam kehidupan? Yang ada, kata orang ramai, hanyalah "Pemimpin" dan "Rakyat". Karena "Rakyat" sudah menjadi makhluk mitologi yang remang-remang, karena "Rakyat" sudah dianggap jadi sumber apa yang sah dan benar, maka Sang Pemimpin pun cenderung tak mengakui bahwa dirinya adalah Tuan dan tak mengakui bahwa "Rakyat" adalah Sahaya. Para otokrat yang paling mengagumi dirinya sendiri dan para diktator yang paling brutal pun merasa mampu dan telah menyatukan diri dengan "Rakyat". Mereka mencintai, mereka berniat baik, mereka mengabdi. Jika ada jasa Machiavelli kepada pemikiran politik, itu adalah sikapnya yang memandang dingin sebuah omongkosong. Jangan kita memandang hubungan kekuasaan sebagai sesuatu yang apa-yang-seharusnya, tetapi apa-adanya. Kekuasaan sebagai apa-yang-seharusnya itu tak usah dipercakapkan lagi: semuanya pasti serba luhur dan indah. Tapi kekuasaan sebagai apa-adanya selalu mengandung sesuatu yang keji. Machiavelli berangkat dari kekejian itu. Diagnosisnya mungkin tepat, tapi resepnya tidak. Jika kekuasaan selalu mengandung sesuatu yang keji, seharusnya ada sesuatu yang harus dilakukan untuk menangkalnya—dan bukannya malah menerima kekejian itu sebagai sesuatu yang harus dijalankan. Kita menangkalnya karena kita tahu bahwa sikap "aku mecintai rakyat" dan "rakyat mencintai aku" masih bisa terjadi, dan layak terjadi. Ada sesuatu yang berharga di situ. Hanya saja, pada zaman yang tak sederhana ini, cinta dan niat baik tak pernah bekerja sendirian. Seorang pemimpin yang memimpin 200 juta manusia tak cukup dengan itu semua. Ia bekerja melalui sebuah sistem, dan sebuah sistem punya sejuta lubang kecil kekejaman: ada polisi yang memeras, ada hakim yang menuntut suap, ada dokter yang melalaikan pasien yang miskin, ada tentara yang memerkosa penduduk, ada wartawan yang berjual-beli fitnah. Pada zaman ini, seorang pemimpin yang sadar akan tak punya pesona mistik tentang hubungan dirinya dengan rakyatnya, dan sebab itu sejarah berjalan. Hegel mengatakan bahwa Sang Tuan hanyalah sebuah katalisator sejarah. Hanya Sang Hamba yang akan melaksanakan, dan melengkapkan, sejarah—karena hanya Sang Hamba yang punya hasrat untuk diakui jadi warga, dan bukan Budak. Tetapi hasrat itu hanya mungkin terbit jika cinta tidak diasumikan lagi. Tak ada lagi suasana manunggaling kawula gusti, terutama di luar cermin yang persegi dan kolam yang terang. Di jalan panjang antara bandar dan markas-markas laskar, ada rasa takut, ada pergulatan, dan ada kerja. Selalu untuk pembebasan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus