KALAULAH ada kontes konglomerat terbesar di Indonesia, barangkali Glenn Jusuf akan terpilih sebagai salah satu nominasi terkuat. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu, tak bisa dibantah lagi, menguasai ribuan aset dan perusahaan, baik publik maupun nonpublik, yang nilainya hampir Rp 600 triliun. Kekayaan yang berada di tangan Glenn Jusuf ditaksir mencapai 60 persen dari total produk domestik bruto Indonesia.
Sebagai Ketua BPPN, Glenn "menguasai" nasib perusahaan yang kreditnya macet di bank BUMN, atau bank swasta yang diinjeksi modal pemerintah. Selain itu, ia juga menguasai aset bankir yang banknya ditutup atau diambil alih pemerintah. Pekan lalu, diumumkan daftar hampir 200 perusahaan milik para bankir yang diserahkan kepada pemerintah (sebagai jaminan), sampai kewajiban bank-bank yang ditutup maupun diambil alih itu terbayar lunas.
Daftar perusahaan-perusahaan itu sungguh dahsyat, bagaikan tanpa tanding. Lihat saja. Ada Astra Internasional, perakit dan penjual produk otomotif paling gede di Indonesia. Lalu ada Dipasena Citra Darmaja, pengelola tambak udang terpadu terbesar di dunia. Kiani Kertas, pabrik kertas dengan teknologi paling mutakhir, dan tentu saja First Pacific, konglomerasi Hong Kong yang bergerak dalam bidang telekomunikasi, keuangan, properti, dan perdagangan.
Memang betul, kekayaan sebesar itu bukan milik Glenn pribadi, tapi dikuasai oleh negara. Hanya saja, Glenn, dengan tim BPPN yang jumlahnya cuma 500 orang itu, diberi kewenangan untuk mengatur merah birunya aset-aset ini. Yang pasti, negara sebagai "pemegang saham" cuma punya satu keinginan: bagaimana caranya agar aset-aset yang hebat ini bisa jadi duit, secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya.
Hasil duit yang "segede-gedenya dan secepat-cepatnya" ini penting untuk dicatat mengingat pemerintah telah dan masih akan mengeluarkan ratusan triliun rupiah untuk biaya penyehatan perbankan. Selain memberikan injeksi ratusan triliun rupiah melalui kasbon Bank Indonesia (untuk menalangi bank-bank yang diserbu pencairan tabungan), pemerintah juga telah membelanjakan ratusan triliun yang lain untuk menalangi kewajiban bank-bank yang ditutup. Di luar itu, pemerintah harus segera menginjeksikan ratusan triliun modal segar ke bank-bank yang mengikuti program penyuntikan modal alias rekapitalisasi.
Jika biaya yang tiga kali ratusan triliun ini tak bisa ditutup dengan penjualan aset yang ada di BPPN, rakyat bakal makin terbungkuk-bungkuk menahan beban anggaran dan belanja negara yang makin berat. Pilihannya memang ada beberapa: menggenjot penerimaan dengan cara menaikkan tarif pajak dan menambah utang luar negeri, atau menggelar aksi penghematan besar-besaran.
Penghematan bisa dilakukan dengan mengurangi subsidi (yang artinya harga bahan bakar dan tarif listrik akan melonjak), mengurangi gaji pegawai negeri (mungkin bakal meletupkan kerusuhan sosial), atau mengemplang utang (yang berisiko menjauhkan Indonesia dari investasi asing). Semua pilihan ini tidak mudah dan berisiko. Karena itu, keharusan bahwa BPPN mesti bisa mencairkan aset-aset itu secepatnya dengan hasil segede-gedenya tak bisa ditawar lagi.
Persoalannya, apakah BPPN mampu? Sejak awal sudah banyak pakar, ekonom, dan analis yang ragu. Dan setelah satu tahun lebih BPPN beraksi, keraguan itu makin lama malah makin besar. Lihat saja pengumuman aset-aset konglomerat yang diserahkan ke pemerintah pekan lalu.
Daftar "kuno" seperti itu sudah ditunggu sejak tahun lalu. Kejelasan tentang aset-aset apa saja yang dijaminkan para bankir ke pemerintah sudah dipertanyakan sejak bank-bank ini ditutup dan diambil alih, April dan Agustus 1998, tapi, eh, ternyata baru nongol sekarang. Alasannya, "Menunggu pemenuhan ketentuan hukum dan syarat-syarat teknis lain, seperti pembentukan perusahaan induk."
Sudah begitu terlambat, daftar juga tak mengatakan apa-apa. Disebut dalam daftar itu, Salim menyerahkan kepemilikannya di perusahaan Hong Kong, First Pacific Company. Tapi, pertanyaannya, seberapa besar saham Salim di FPC yang disetor? Semuanya? Atau, cuma seupil? Pertanyaan yang sama juga harus diajukan untuk 200 perusahaan yang lain. Sumber TEMPO yang dekat dengan Departemen Keuangan menyebut, Salim cuma menyerahkan 5 dari 54 persen sahamnya di konglomerasi telekomunikasi dan keuangan itu.
Belum lagi kalau harus dipertanyakan, apakah aset-aset ini sudah bersih alias terbebas dari tuntutan kreditur yang lain? Penelusuran TEMPO menunjukkan, sebagian kepemilikan saham para bankir di perusahaan-perusahaan itu sudah digadaikan ke pihak lain.
Kepemilikan Usman Admadjaja (bekas pemilik Danamon) di tiga perusahaan properti, yakni PT Kuningan Persada, Supra Estetika, dan Wimukti Arthamas, misalnya, kabarnya sudah digadaikan atau dijaminkan ke beberapa bank yang lain. Penasihat hukum BPPN yang meneliti keabsahan surat aset-aset ketiga perusahaan itu, kabarnya, cuma bisa geleng-geleng kepala. Ketiga perusahaan ini mengelola sebuah kawasan bisnis yang mewah di daerah Kuningan, Jakarta.
Praktek semacam ini kabarnya juga banyak terjadi di perusahaan-perusahaan milik Syamsul Nursalim (pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia yang sudah "dibredel" itu). Artinya, kalau dihitung dengan cermat, nilai riil aset-aset ini boleh jadi tak cukup besar untuk melunasi kewajiban yang harusnya dibayar para bankir tadi. "Jangan-jangan," kata seorang pejabat di Departemen Keuangan, "BPPN cuma dapat pepesan kosong."
Dari daftar aset "setoran" itu, bisa juga dilihat bahwa hingga hari ini, hampir setahun setelah soal penyelesaian kewajiban itu disepakati, baru tujuh dari 11 pemilik bank yang sudah menyerahkan asetnya. Empat grup lagi, yakni Deka, Centris, Istismarat, dan Pelita (dua yang terakhir milik Hashim Djojohadikusumo), hingga hari ini belum juga menyerahkan aset-asetnya. Menurut seorang pejabat BPPN, ketiga bankir ini menolak merundingkan pelunasan kewajiban banknya. "Mereka pasang badan, seolah-olah nantang, coba deh kalau berani," katanya.
Lalu, mereka mau diapakan? "Kita akan bawa ke kejaksaan dan memprosesnya secara hukum," kata sang pejabat BPPN. Tegas, memang. Tapi sayang, niat untuk memproses mereka secara hukum sebenarnya sudah dicetuskan sejak lima bulan lalu ketika tenggat negosiasi terlewati. Dan hingga kini, niat itu masih berupa rencana belaka.
Padahal, menurut jadwal penyelesaian kewajiban yang sudah disepakati antara pemilik bank dan BPPN, cicilan pertama para bankir ini akan jatuh pada 10 November mendatang. Dan cilakanya, jumlah cicilan ini bukan tak besar. Selain harus melunasi 27 persen total utang, para bankir ini juga mesti membayar 30 persen beban bunga.
Dengan pola ini, Liem Sioe Liong, misalnya, harus menyetor cicilan sebesar Rp 27,5 triliun dari Rp 48 triliun utangnya ke BCA. Cicilan Salim terdiri dari Rp 13 triliun cicilan pokok, dan Rp 14,5 triliun bunga. Sementara itu, Usman Admadjaja harus membayar Rp 16 triliun, dan Syamsul Nursalim Rp 7,5 triliun.
Apakah mereka bisa memenuhi target waktu yang begitu ketat? Entahlah. Yang pasti, menurut seorang pejabat BPPN, hingga hari ini belum ada satu pun aset konglomerat yang sudah bisa dijadikan duit. "Belum ada yang laku," katanya. Ada kemungkinan, untuk mengakomodasi kelambanan ini, masa jatuh tempo 10 November itu tak akan dikenakan secara ketat. "Yang penting duitnya kembali. Tidak laku tahun ini, ya, tahun depan," kata pejabat BPPN ini, santai.
Penundaan jadwal pembayaran ini agaknya bukan cuma membebani anggaran, tapi juga membuat beban kerja BPPN makin berat. Bulan-bulan ini mestinya BPPN sudah harus mengurus tagihan yang lain: kewajiban 38 bank yang ditutup dan tujuh bank yang diambil alih pemerintah, pada pertengahan Mei lalu.
Sesuai dengan ketentuan, para pemegang saham utama (pemilik saham terbesar) ke-38 bank beku dan tujuh BTO ini mestinya sudah mulai membicaraan pelunasan kewajiban mereka. Para pemilik bank beku harus membayar jumlah kewajiban bank (yang tak bisa ditutup dengan aset), sementara para pemilik bank take-over harus melunasi tagihan kredit kepada bank-bank (bekas) milik mereka.
Menurut catatan BPPN, pengusaha Aburizal Bakrie, misalnya, harus melunasi kredit senilai Rp 2,5 triliun kepada Bank Nusa Nasional. Sedangkan yayasan-yayasan Soeharto harus membayar utang pinjaman senilai Rp 1,2 triliun kepada Bank Duta. Sayangnya, hitung-hitungan berapa persisnya kewajiban para bankir itu hingga hari ini belum bisa diselesaikan BPPN.
Kelambanan BPPN ini bisa dipahami oleh ekonom Universitas Indonesia, Adrian Panggabean. Ia membandingkan skala aset yang ditangani BPPN dan pemerintah. Bayangkan, katanya, untuk mengelola anggaran belanja yang cuma Rp 200-an triliun, pemerintah harus membentuk birokrasi yang didukung oleh ratusan ribu pegawai negeri. Sementara itu, BPPN, yang mengelola aset tiga kali lebih besar, cuma didukung oleh 500-an pegawai. Adrian memberi tamsil, pegawai BPPN seperti serombongan semut sedang menarik seekor gajah. "Membuat goyang gajahnya saja susah, apalagi menariknya," katanya.
Dengan kata lain, BPPN memang mustahil bisa menyelesaikan tugasnya. Adrian bahkan khawatir, lembaga superkuasa di bawah Departemen Keuangan ini akan segera menjadi bom sarang korupsi yang akan segera meledak.
M. Taufiqurohman dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini