PEKAN-PEKAN ini, tiada hari tanpa rapat bagi Boediono. Kepala Bappenas itu sibuk bukan kepalang. Sepanjang hari ia berunding serius dengan petinggi Departemen Keuangan, Bank Indonesia, pejabat Bank Dunia, dan IMF. Padahal agendanya cuma satu: menggodok berapa besar lamaran utang yang bakal dibawa ke sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) di Paris, 27-28 Juli nanti.
Kabarnya, lamaran yang disiapkan bernilai lebih dari US$ 7,8 miliar—jumlah kucuran utang CGI tahun lalu. Alasannya, beban anggaran pemerintah kian membengkak. Bunga obligasi untuk rekapitalisasi perbankan, misalnya, dipastikan lebih besar dari Rp 17 triliun—pos yang dianggarkan untuk tahun ini. Lalu, masih harus ada ongkos ekstra untuk menggenjot sektor riil dan mungkin meneruskan program JPS yang terbukti salah alamat. Maka, diperlukan tambahan utang lagi.
Sampai kini, menurut Budhy Tjahjati, Deputi Ketua Bidang Kerja Sama Luar Negeri Bappenas, beberapa komitmen utang sudah tergaet. Jepang, melalui Miyazawa Plan, sepakat memberi utang US$ 2,4 miliar. CGI ditargetkan mengucurkan US$ 5 miliar. Namun, komitmen CGI yang sudah didapat baru US$ 4,7 miliar, antara lain dari Australia, Jerman, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Pembangunan Islam.
Uniknya, sementara Boediono sibuk mencari tambahan utang, sebelas LSM yang tergabung dalam International NGO Forum on Indonesia (INFID) malah menyerukan agar CGI ditunda atau tak memberikan pinjaman lagi. Alasannya, pemerintahan saat ini bersifat transisi, terbukti korup, serta tidak kompeten. Lagi pula bukan pemerintah sekarang yang akan menentukan RAPBN 2000-2001. Karena itu, CGI diusulkan agar diadakan setelah pemerintahan baru terbentuk.
Usul ini ternyata ditolak oleh Bank Dunia—tuan rumah CGI—dan Bappenas. Menurut Budhy Tjahjati, lamaran utang tidak mungkin lagi ditunda. Sidang CGI di Paris sudah dirancang rapi sejak lama dan melibatkan semua negara donor. "Lagi pula, kasihan kalau pemerintah baru tidak punya uang sama sekali," katanya.
Sri Mulyani, ekonom Universitas Indonesia, menawarkan jalan tengah. Perundingan CGI, menurut ekonom yang juga aktivis ini, harus diikuti utusan partai politik pemenang pemilu. Alhasil, siapa pun yang berkuasa nantinya diharapkan bisa menerima. Meskipun begitu, ia juga tak menyangkal tetap adanya potensi keberatan karena pemerintahan baru mungkin bukan cuma dibentuk oleh partai politik pemenang pemilu. Yang lebih penting, utang baru—Sri Mulyani memperkirakan US$ 6 miliar—tetap perlu. Ibarat rumah tangga yang kepala keluarganya terkena PHK, "Bisa mati kalau cuma mengandalkan pemasukan dalam negeri," katanya. Apalagi kestabilan politik mulai pulih. Sungguh sayang bila momen penting untuk mendongkrak perekonomian ini lewat begitu saja.
Pendapat masih perlunya utang baru juga muncul dari ekonom M. Chatib Basri. Defisit anggaran tahun depan, menurut perkiraan staf pengajar Australia National University ini, sekitar US$ 10,3 miliar. Tapi, US$ 4 miliar di antaranya berstatus pinjaman carry over. Sehingga, kebutuhan riil utang baru adalah US$ 6,3 miliar. Basri yakin, US$ 2,4 miliar bisa didapat dari Miyazawa Plan, dan sisanya datang dari kantong anggota CGI. Negara-negara donor ini, menurut Basri, harus berpikir dalam kerangka bisnis. Pemulihan ekonomi nantinya juga berujung pada kepentingan investasi negara donor. Jadi, "Siapa pun yang berkuasa, CGI harus mengucurkan utang baru," katanya.
Di sisi lain, tak sedikit kubu yang berkeras tidak perlu ngebon utang baru. Termasuk dalam kubu ini adalah Adrian Panggabean, ekonom yang bekerja di United Nations Development Program (UNDP). Alasan utamanya, menurut Adrian, tingkat penyerapan utang selama ini belum optimal. Buktinya, banyak dana yang berstatus belum dicairkan atau undisbursed. Menurut catatan Bank Dunia, dari 1991 sampai 1999, utang yang tidak cair mencapai US$ 4,3 miliar—sekitar 20 persen dari utang yang cair. "Ini menunjukkan ketidakberesan penyusunan anggaran," kata Adrian. Proyek yang sebenarnya cuma butuh ongkos US$ 1 juta, misalnya, dianggarkan US$ 1,5 juta. Sehingga, banyak komitmen yang telanjur diteken jadi sia-sia. Tahun ini, dua dari sepuluh proyek—di Banjarmasin dan Belawan—yang didanai ADB gagal digelar. Dana yang belum tersalurkan pun harus dikembalikan. Padahal, kita sudah membayar commitment fee yang membebani APBN.
Ketidakefisienan diperparah dengan praktek patgulipat yang kronis dalam pelaksanaan proyek. Menurut sumber yang biasa berurusan dengan pencairan utang, model kolusi sangat beraneka ragam. Biasanya, kesepakatan tahu sama tahu sudah dirancang sebelum komitmen utang diteken, misalnya penunjukan konsultan, jenis proyek, dan kualitas bangunan sudah dipatok, sering tanpa persetujuan negara penerima. "Sejak proses awal, komisi sudah disebar untuk pejabat Bappenas, Departemen Dalam Negeri, dan departemen teknis lain," kata sumber tadi. Itulah sebabnya, kebocoran uang negara begitu tinggi. Sumitro Djojohadikusumo, ekonom senior, pada awal 1990-an pernah menyatakan kebocoran uang negara sampai 30 persen. Hampir sepuluh tahun kemudian, Februari 1999, Dennis de Tray, mantan Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, mengakui adanya kebocoran. Sayang, De Tray tidak menyebut berapa persisnya dana yang bocor dan siapa saja para penikmat kebocoran.
Nah, menyimak utang yang sarat kolusi, Adrian menyarankan minta penghapusan utang (write-off) atau, paling tidak, penjadwalan utang dalam jumlah besar. Sebab, amburadulnya manajemen utang bukan cuma kesalahan Indonesia. Lembaga donor seperti Bank Dunia dan CGI turut punya saham. Tahun ini, tingkat debt service ratio (DSR) sudah mencapai 60 persen. Artinya, 60 persen hasil ekspor ludes untuk membayar cicilan utang pemerintah yang US$ 67,2 miliar. Tanpa write-off, Adrian yakin Indonesia tak bakal keluar dari jeratan utang. "Bila tekanan utang dikurangi, kurs rupiah pasti menguat. Reformasi layanan publik juga bisa lebih leluasa," kata Adrian.
Penjadwalan—apalagi penghapusan—utang juga tergolong gagasan kontroversial. Tak sedikit pihak yang tak setuju kedua langkah ini. Alasannya, tingkat kepercayaan investor internasional pasti merosot drastis. Standard & Poor, lembaga pemeringkat internasional, bisa saja memberi rating D (default), yang berarti Indonesia tidak mampu membayar utang. Investor asing yang kini sedang melirik Indonesia bisa segera kabur. Padahal, pemerintah sedang meluncurkan obligasi untuk rekapitalisasi perbankan. "Kalau obligasi tidak laku di pasaran, dunia perbankan dan krisis ekonomi makin babak-belur," kata Sri Mulyani.
Namun, di mata Markus Dipo, ekonom Universitas Indonesia, baik diskon maupun penjadwalan utang tak dapat dihindari. Kepercayaan investor tak perlu dirisaukan bila strategi publikasi tepat. Diskon ini bukan semata karena tidak sanggup, tapi lebih karena bagi-bagi risiko akibat manajemen utang yang kacau. Lagi pula, sudah cukup kuat alasan untuk meminta write-off utang. Polandia, pada awal 1990-an, mendapat diskon hampir US$ 22 miliar—50 persen utangnya. Kala itu, rakyat Polandia, yang dipimpin Lech Walesa, dinilai beritikad kuat mewujudkan demokratisasi, yang juga berarti menciptakan pasar bagi produk negara donor. Setelah utang didiskon, Polandia bisa leluasa menata perekonomian. Daya beli masyarakat naik, investor mengalir, dan kemampuan membayar utang jadi meningkat. "Nah, seharusnya kita bisa "menjual" iklim demokratisasi yang tercipta di Indonesia sekarang ini," kata Markus.
Masalahnya sekarang adalah, siapa yang bisa menjual "iklim demokrasi" ini kepada para donor? Barangkali inilah agenda tambahan yang perlu dimasukkan dalam rapat-rapat Boediono sebelum berangkat ke Paris nanti.
Yah, supaya utang sekarang tak berarti terjerat kemudian.
Mardiyah Chamim, Agus Hidayat, Dewi Rina Cahyani, Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini