Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bendera asing chandra asri

Saham pt chandra asri akan dijual kepada investor asing. statusnya harus pma agar pendirian industri olefin di cilegon (jabar) dapat terus berlangsung. ditargetkan 1995 sudah berproduksi.

22 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini Chandra Asri mengibarkan bendera koloni Inggris. Izin penjualan sahamnya sudah disetujui Presiden. Indonesianisasi ditargetkan dalam 10 tahun. PARA pemilik megaproyek Chandra Asri kembali membuktikan kekuatan lobi mereka. Kamis, 6 Agustus lalu, di tengah seminar investasi di Surabaya, Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo menyatakan bahwa instansinya belum memberi persetujuan untuk perubahan status Chandra Asri dari PMDN ke PMA. Tapi lima hari kemudian, keluarlah surat Presiden RI bernomor B177/Pres/8/1992, yang mengabulkan penjualan seluruh saham Chandra Asri kepada investor asing. PT Chandra Asri didirikan oleh kongsi Prajogo Pangestu (40%), Bambang Trihatmodjo (25%), Henry Pribadi (25%), dan PT Bimantara Citra yang diwakili Peter Gontha (10%). Karena ada ketentuan Tim PKLN (Pengendalian Kredit Luar Negeri) yang membatasi pinjaman dari luar, Chandra Asri yang hendak mendirikan industri olefin di Cilegon (Jawa Barat) ini harus menjual sahamnya ke perusahaan asing. Permohonan untuk menjual saham kepada investor asing sudah disampaikan pada BKPM, 21 Juli 1992. Calon pembeli adalah Siemene International Ltd. (dari Hong Kong), Stallion Company Ltd. (juga dari Hong Kong), dan Japan Indonesia Petrochemical Corporation (JIPC). Dalam surat Ketua BKPM jelas disebutkan, JIPC adalah milik Marubeni dan akan mengambil oper saham 25%. Sedangkan Siemene dan Stallion -- masing-masing akan mengambil oper saham 65% dan 10% -- tak jelas siapa pemiliknya, tapi bisa diduga milik keempat serangkai Chandra Asri. Dugaan ini semakin kuat karena di situ mereka menduduki posisi kunci. Bambang Trihatmodjo sebagai presiden komisaris, Prajogo Pangestu tetap menjabat presiden direktur, Henry Pribadi dan Peter Gontha masing-masing sebagai wakil presiden direktur. "Proyek Chandra Asri memang PMA 100% karena investasinya asing. Perkara di dalamnya ada Prajogo sebagai investor, itu adalah urusan bisnis antara Prajogo dan investor asing. Pemerintah tidak ikut campur," ujar Ketua BKPM, mengomentari posisi empat serangkai yang ganjil itu. Untuk olefin, mereka semula akan menyetor modal Rp 183,6 milyar berikut dana Rp 4.500 milyar (US$ 2,25 milyar). Kekurangan modal itu akan ditutup dengan kredit sindikasi dari bank-bank pemerintah di sini dan sejumlah bank Jepang. Mujur tak dapat diraih, pada September 1990 proyek olefin terhadang, karena larangan bagi bank-bank pemerintah untuk terlibat dalam pendanaan bagi megaproyek. Akibatnya, sindikat bank pemerintah yang dipimpin BBD harus hengkang dari Chandra Asri. Bahkan proyek ini dilarang jalan terus. Baru para Maret 1992, Pemerintah menyorotkan lampu hijau bagi Chandra Asri, dengan syarat harus PMA (penanaman modal asing) 100%. Selain itu, kredit bank pemerintah, yang telanjur dicairkan sebesar Rp 218 milyar, harus dikembalikan begitu proyek mulai berproduksi komersial. Maka, dicarilah jalan keluar. Empat serangkai Chandra Asri mendirikan dua perusahaan di Hong Kong, yakni Siemene dan Stallion. Baru sesudah itu, bersama Marubeni akan mengakuisisi Chandra Asri. Rencana investasi Chandra sudah dipangkas dari Rp 4,5 trilyun menjadi 3,2 trilyun. Siemene, Stallion, dan Marubeni akan menanggung modal Rp 816 milyar (sekitar US$ 400 juta) sedangkan Rp 2,4 trilyun dipinjam, mungkin dari Jepang. Kendati bank-bank di sana umumnya harus mengurangi kredit, untuk Prajogo -- eksportir kayu lapis dengan omset US# 600 milyar per tahun -- mereka masih buka pintu. Namun belum jelas, bagaimana persyaratan dan siapa kreditor Jepang itu. Sedangkan Toyo Engineering dan Lummus Crest yang membangun proyek olefin diminta jalan terus. Dalam penilaian BKPM, sampai 30 Juni 1992 pembangunan proyek sudah 39%. Tepat pada tanggal itu pula, izin BKPM yang diberikan kepada kongsi Shell dan Bimantara untuk mendirikan industri serupa di Cilacap dicabut. Izin ini otomatis gugur karena selama tiga tahun mereka belum melakukan apa-apa. Dan Pemerintah rupanya tidak akan mengeluarkan izin baru. Alasan pertama Sanyoto, suplai nafta Pertamina yang 1,6 juta ton per tahun akan diserap hampir seluruhnya (1,4 juta ton) oleh Chandra Asri. Kedua, olefin Chandra sudah memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. "Kini Pemerintah sudah approve (menyetujui), kami tentu harus kerja keras agar Chandra Asri terealisasi tepat waktu," kata Prajogo. Ia menargetkan pabrik uji coba awal 1995, dan produksi komersial pada Juni 1995. Di antara calon konsumen olefin, adalah PT Peni (Petrokimia Nusantara Interindo). Perusahaan milik British Petroleum (51%), Mitsui (18,5%), Sumitomo (18,5%), dan Arseto (12%) ini tengah membangun pabrik polyethylene berkapasitas 200.000 ton, di Merak, Jawa Barat. Tak selamanya tentu nanti mulus. "Kami khawatir nanti produk Chandra Asri akan lebih mahal,"kata Nigel Goddard, Presdir PT Peni. Alasanya, olefin itu merupakan industri terpadu padat modal. Max Wangkar, Dwi S. Irawanto, dan Ivan Harris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus