Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pemerataan itu perlu dinamis

Ulasan pertumbuhan ekonomi indonesia tahun 1991 berdasarkan pidato kenegaraan presiden soeharto.

22 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIDATO kenegaraan terakhir Presiden Soeharto -- sebagai presiden terpilih (19881993) -- di depan Sidang Paripurna DPR Sabtu baru lalu, telah mengemukakan berbagai data ekonomi maupun pikiran-pikiran baru. Data ekonomi itu memuat angka pertumbuhan resmi Pemerintah serta beberapa angka ekonomi makro seperti tingkat inflasi, defisit neraca berjalan, pertumbuhan uang yang beredar, angka-angka ekspor dan impor, serta pertumbuhan ekonomi sektoral. Namun, yang juga menarik adalah ucapan Presiden Soeharto tentang pemerataan. Beliau berujar, "Pemerataan itu harus merupakan pemerataan yang dinamis yaitu yang tidak hanya membagi "kue" yang sama secara lebih merata, tetapi membagi lebih merata "kue" yang makin lama makin besar." Maka, ada baiknya diulas angka-angka ekonomi makro yang muncul dalam pidato kenegaraan yang mencoba bersikap reflektif ini. Pertumbuhan ekonomi 1991 ternyata adalah 6,6%. Dengan pertumbuhan 7,4% untuk 1989 dan 1990, dalam tiga tahun terakhir, Indonesia mencapai pertumbuhan ratarata di atas 7%. Angka yang tinggi ini bukanlah kerja mulus yang tidak mempunyai masalah. Laju pertumbuhan untuk 1991 mengandung pertumbuhan sektoral yang tak selamanya "harmonis". Sektor industri pengolahan bertumbuh 9,8%, sedangkan sektor pertanian hanya 1,3%. Kedua sektor ini mencakup sekitar 40% dari PDB dan andil keduanya hampir sama dengan sektor industri. Hanya sektor industri sedikit lebih tinggi di atas 20% dari PDB. Sektor industri, yang mencatat pertumbuhan ratarata di atas 10% selama tiga tahun terakhir, untuk pertama kali menjadi sektor terbesar (nomor satu), mengungguli sektor pertanian yang sejak dulu selalu menduduki tempat pertama. Tergesernya dominasi sektor pertanian juga terpancar pada angka-angka ekspor nonmigas. Untuk tahun fiskal 1991-1992 ekspor nonmigas melonjak di atas 23% dibanding tahun fiskal sebelumnya, dari US$ 15,38 milyar menjadi US$ 19 milyar. Perubahan yang bernilai historis juga terjadi dalam struktur ekspor, saat untuk pertama kali ekspor tekstil dan pakaian jadi menduduki tempat pertama dengan nilai ekspor US$ 3,89 milyar, 40,8% di atas nilai ekspor tahun fiskal sebelumnya. Ekspor kayu lapis, yang selama ini bertengger di tempat teratas (di luar ekspor migas), kini hanya menduduki tempat kedua dengan nilai US# 2,868 milyar. Dengan munculnya sektor dan komoditas nomor satu yang baru (sektor manufaktur dan ekspor tekstil dan pakaian jadi), bisa dikatakan hal itu adalah konsekuensi logis dari transformasi struktur produksi atau struktur ekspor, terutama dalam satu dasawarsa terakhir. Yang memerlukan pemikiran ulang justru ucapan Presiden tentang perlunya bukan saja "membagi kue yang sama secara lebih merata", tetapi juga "membagi lebih merata kue yang makin lama makin besar". Ucapan Presiden ini mengingatkan kembali debat besar di tahun 1970-an tentang strategi pembangunan. Saat itu dipertanyakan, apakah strategi yang bersifat "menetes ke bawah" memadai untuk mengatasi kemiskinan struktural. Di sini mulai dipertanyakan "arah dan penyebaran pertumbuhan" yang dianggap tak kurang pentingnya dengan "tingkat pertumbuhan". Secara lebih nyata hal ini tercermin pada angka pertumbuhan 1991. Meskipun angka pertumbuhan 1991 adalah 6,6% dan ini lebih rendah dari tingkat pertumbuhan 1990 sebesar 7,4%, di luar sektor pertanian hampir tidak ada penurunan tingkat pertumbuhan yang tajam. Sektor pertanian yang hanya bertumbuh 1,3% mempunyai implikasi pertumbuhan yang negatif. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,8%, berarti ada penurunan pertumbuhan 0,5% di sektor yang menyerap 52% dari total angkatan kerja. Berarti lebih dari separuh angkatan kerja di Indonesia telah mengalami penurunan pendapatan. Di sinilah timbul masalah berat dalam transformasi struktural. Masalahnya, transformasi struktural pada struktur produksi berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan transformasi pada struktur angkatan kerja. Sektor pertanian, yang kini hanya punya share 18% dari PDB tetapi menyerap 52% dari angkatan kerja, mengalami banyak masalah produktivitas dan inefisiensi. Sektor pertanian, yang telah mencapai anugerah FAO (1984) berkat swasembada beras, memang lebih luas dari sekadar produksi beras. Sektor ini mencakup kegiatan perkebunan, peternakan, perikanan dan komoditi penting seperti kelapa sawit yang juga menjadi input penting bagi produksi minyak goreng. Ternyata pada sektor pertanian, apakah perkebunan besar atau perkebunan rakyat, masih terjadi berbagai regulasi dan "pasar SK" yang meniadakan alokasi faktorfaktor produksi yang efisien. Hal ini menghasilkan tingkat produksi yang tidak optimal. Meskipun pada tahun 1991 terjadi paceklik dan hama yang amat mempengaruhi keberhasilan panen padi, peran berbagai hambatan dan "pasar SK" cukup besar dalam menjelaskan rendahnya tingkat produksi di sektor pertanian. Pidato Presiden layak untuk disimak sebagai pidato yang juga bersifat "introspeksi" dan bukan hanya menyebutkan suksessukses pembangunan, seperti menurunnya penduduk miskin dari 70 juta dalam tahun 1970 menjadi 27 juta tahun 1990. Selain 27 juta orang miskin dilihat dari kriteria kemiskinan absolut BPS, masih ada puluhan juta yang sedikit di atas garis kemiskinan dan setiap saat dapat kembali masuk dalam garis kemiskinan. Mereka tidak mempunyai tabungan ataupun jaminan apa pun, untuk menghadapi musibah yang tiap saat dapat menerpa. Dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 570, memang amat penting untuk mengkaji ulang arah pertumbuhan yang mampu memelihara integrasi nasional. Prioritas pertama bagi pertumbuhan yang lebih menyebar dan tingkat pertumbuhan yang tetap tinggi adalah meniadakan berbagai oligopoli monopoli, regulasi "pasar SK" dan proyek-proyek yang harganya dimarkup. Kini sudah masanya untuk kembali kepada esifiensi ekonomi, sehingga penerimaan pajak dapat meningkat untuk didistribusikan pada berbagai program kesejahteraan yang kini semakin menjadi mahal, karena tipisnya kesadaran sosial di antara kaum berpunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus