Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bensin naik, mobil turun

Beleid uang ketat yang berkepanjangan membuat in- dustri mobil hancur, stok mobil baik di produsen maupun pengecer menumpuk. pengusaha mobil selain menurunkan harga, juga menjanjikan hadiah.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang diskon kian seru di kalangan pengusaha mobil. Banyak yang berani menjual di bawah harga. Mengapa? BANYAK pihak kini tengah menuding beleid uang ketat, yang selama Orde Baru jadi semacam soko guru perekonomian Indonesia. Tak ketinggalan kaum pengusaha mobil. "Kalau beleid uang ketat berkepanjangan, taruhlah enam bulan lagi, industri mobil akan hancur." Itulah ramalan seram yang datang dari Dr. T. Pawitra, Direktur Utama PT Star Motors Indonesia, perusahaan yang mengageni mobil Mercy. Tentu yang dimaksudkan doktor ekonomi lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, itu bukan Pemerintah harus mengobral kredit. Tapi, pada saat rupiah sulit didapat, rupanya kian berkurang pemilik uang panas yang berhasrat mencari untung dengan main beli mobil. Mereka, kalangan yang berduit, kini lebih suka menjala bunga deposito berjangka yang -- untuk simpanan di atas Rp 50 juta -- menawarkan keuntungan 27%-30% sebulan. "Itulah sebabnya, kenapa industri kami jadi senen-kemis," kata Pawitra. Pendapat serupa datang dan Soebronto Laras, Direktur Utama Indomobil Group, yang mengageni merek Suzuki, Mazda, Volvo, Nissan, dan truk Hino. "Pasar lagi kacau," katanya. Tahun lalu, pada saat pasar lagi ramai, Indomobil sempat menjual rata-rata 600 buah truk Hino dalam sebulan. Maka, para eksekutif top perusahaan itu semula berani bertaruh akan sanggup menjual 800-an truk Hino dalam sebulan pada tahun ini. Suatu perhitungan yang kelewat optimistis, mungkin, karena ternyata pasar mobil bicara lain. Dan beleid uang ketat untuk menjaga likuiditas perbankan sudah cukup lama dibisikkan oleh kaum "teknokrat". Maka, Soebronto pun tak lagi berani bicara target penjualan. "Kalau dalam sebulan saya bisa menjual 250 unit truk, itu sudah bagus," katanya merunduk. Pasaran mobil yang lagi dingin tentu saja berlaku bagi merek mobil lain yang dirakit oleh Indomobil, perusahaan yang masih bernaung di bawah payung besar Grup Sudono Salim. Entah benar, entah tidak, Soebronto Laras beranggapan, "Kalau bisa menutup ongkos produksi dalam tahun ini, sudah bagus." Berbagai upaya efisiensi, mau tak mau mereka tempuh. Suzuki Forsa, yang biasanya dirakit di pabrik Krama Yudha, sejak beberapa bulan lalu mulai dikerjakan sendiri. Tenaga buruhnya pun diirit, antara lain dengan memperpanjang masa libur di waktu Lebaran lalu. Kabarnya, ada juga perusahaan mobil yang merasa begitu payah memotong hari kerja dari 24 jadi hanya 10 hari. Apakah para karyawannya yang "diliburkan" selama 14 hari setiap bulan itu tak dipotong gajinya, wallahualam. Yang pasti, pada saat ini, PT Krama Yudha, yang juga "meliburkan" karyawannya, merasa sesak napas. Lihat saja pasaran truk kecil yang mereka rakit. Harga Colt diesel, ketika truk menjadi barang yang terbilang langka pada tahun lalu, bisa mencapai Rp 40 juta sebuah. Itu harga on the road. Harga wajarnya hanya sekitar Rp 34 juta. Kini, kata seorang pedagang mobil di Cirebon, menjual sebuah truk Colt diesel dengan harga Rp 31 juta pun tak ada yang mau beli. "Padahal, itu sudah banting harga," katanya. Begini perhitungannya. Sang pedagang memperoleh Colt diesel dari penyalur Krama Yudha dengan harga kosong Rp 29 juta. Nah, untuk "mengisinya" dibutuhkan biaya tambahan 10%. Dan ini berarti, jelas, modal yang dikeluarkan pedagang tersebut untuk sebuah Colt diesel on the road adalah sekitar Rp 31,9 juta. Sialnya, "Sudah jual rugi, tak juga laku," kata pedagang yang tak mau disebutkan namanya. Itulah sebabnya tak aneh kalau dari bulan ke bulan stok mobil yang menumpuk di gudang produsen dan di garasi pengecer terus bertambah. Masih dalam bulan Februari yang lalu, stok mobil Colt diesel dikabarkan mencapai 22 ribu buah. Pekan lalu angka itu telah berubah jadi 25 ribu buah. Tapi, itu pun bukan merupakan angka yang akurat. Menurut Herman Latief, Wakil Presiden Direktur PT Krama Yudha, itu belum termasuk truk-truk jadi yang diimpor langsung oleh beberapa importir yang ditunjuk Pemerintah. "Habis, mau apa lagi kalau, daya beli pasaran boleh dibilang tidak ada," kata Herman, yang juga menjabat Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia. Suara senada juga dikemukakan oleh seorang penyalur sedan Honda. Kendati harga diturunkan sampai Rp 10 juta sekalipun, kata dia, belum tentu akan ada yang membeli. Makanya, wajar, selain teknik "jual rugi", banyak produsen yang tetap mengandalkan iming-iming sebagai pembuka jalan. Grup Astra, contohnya, selain menawarkan penjualan kredit dengan uang muka yang hanya Rp 1,5 juta untuk Daihatsunya (entah bunganya berapa), juga menjanjikan jalan-jalan ke Tokyo bagi pembeli sedan Corona atau Corolla yang beruntung. Yang menarik, bagi konsumen tentunya, adalah tawaran dari PT Inremco, agen tunggal sedan Ford. Sebuah iklannya, selain menawarkan garansi 24 bulan, juga mengiming-imingi kredit tanpa bunga, alias 0%. Gila. Entah bagaimana cara menghitung untung ruginya, dan dari mana pula lnremco punya dana penyangga pada saat sulit seperti sekarang. Tapi terlepas dari iklan mobil yang jor-joran, masih ada satu usaha lainnya yang dilakukan oleh produsen. Seperti dikemukakan Herman Latief, "Kami juga memberikan subsidi pada dealer." Caranya, pembayaran oleh penyalur, yang biasanya dilakukan dua bulan kemudian, diperpanjang menjadi tiga sampai empat bulan. Jelas, "Itu merupakan beban tambahan bagi kami," kata Herman. Beban itu bukanlah jumlah yang kecil. Taruhlah suku bunga pinjaman kini jatuhnya 2,5%, terbilang yang paling murah. Maka, sebuah sedan Toyota Starlet yang harganya Rp 34 juta, tapi parkir di showroom selama sebulan, mau tidak mau akan menimbulkan beban tambahan sekitar Rp 850 ribu. Ya, apa boleh buat. Budi Kusumah dan Sandra Hamid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus