Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STASIUN pengisian bahan bakar umum di Jalan Ciater, Tangerang Selatan, itu hanya menyediakan satu dispenser Premium. Padahal sebelumnya pemilik SPBU menyediakan tiga mesin pengisian. Pengurangan ini karena pemilik SPBU mengubah dua dispenser penjualan Premium menjadi mesin pengisian Pertalite, yang semula hanya satu unit.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Jakarta, Jawa Barat, dan Banten Juan Tarigan mengatakan sejumlah pengusaha SPBU belakangan gencar menambah dispenser penjualan Pertalite. "Jumlah konsumen Pertalite terus tumbuh," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Keuntungan lebih besar dari Pertalite ketimbang Premium membuat pengusaha tergiur menambah volume penjualan bensin oktan 90 itu. Per Agustus tahun lalu, jumlah konsumen Pertalite tumbuh 4.487 persen ketimbang saat peluncuran pada Juli 2015. Itu sebabnya penjualan Pertalite menyebar hingga mencapai 3.358 SPBU, dari semula yang hanya 103 SPBU.
Kenaikan jumlah konsumen Pertalite sudah diprediksi konsultan Pertamina. Mengutip konsultan tadi, Juan mengatakan, migrasi konsumen Premium ke Pertalite bisa mencapai lebih dari 50 persen bila selisih harganya kurang dari Rp 500. Selisih ini terjadi hampir sepanjang tahun lalu. Inilah yang membuat konsumsi Pertalite melonjak.
Di tengah lonjakan itu, Pertamina menaikkan harga Pertalite. Kenaikan pada awal Januari ini membuat selisih harga Pertalite dan Premium menjadi Rp 800. Juan mengatakan kenaikan harga bensin jenis Pertalite dan Pertamax itu membuat konsumsi Premium terkerek kembali di sejumlah SPBU. Akibatnya, antrean pembelian Premium mengular di sejumlah SPBU yang telanjur mengurangi jumlah dispenser Premium.
Rupanya, kenaikan harga Pertalite kembali membuat gaduh lingkup internal Pertamina. Seorang pejabat Pertamina mengatakan rencana kenaikan harga Pertalite tidak pernah disampaikan di rapat Dewan Direksi. "Direktur Utama tidak dilibatkan," kata pejabat tadi.
Keputusan menaikkan harga itu diteken Ahmad Bambang, yang saat itu menjabat Wakil Direktur Utama. Sebelum menjabat Wakil Direktur Utama, Ahmad adalah Direktur Pemasaran, yang membidani lahirnya Pertalite dua tahun lalu.
Tak dilibatkannya Direktur Utama Dwi Soetjipto dalam kenaikan harga bahan bakar minyak terbaru itu semakin memanaskan ketidakharmonisan direksi perusahaan pelat merah tersebut. Apalagi kelahiran Pertalite sejak awal sudah memantik perselisihan antara sektor pengolahan dan pemasaran. Kendati belum mengantongi restu Dewan Direksi, Ahmad Bambang percaya diri melanjutkan peluncuran Pertalite.
Seorang mantan pejabat Pertamina mengatakan kengototan Ahmad kerap berseberangan dengan bosnya. Karena idenya kerap dihambat, Ahmad memilih jalan mengirim memo kepada Dwi Soetjipto mengenai produk-produk baru yang diluncurkan, salah satunya Pertalite. Ia tak perlu menunggu memo dijawab. Bila Dwi memprotes, Ahmad akan menjawab, "Saya sudah mengirim e-mail, tapi Bapak tidak merespons," ucap bekas pejabat Pertamina tadi menirukan Ahmad.
Wakil Ketua Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat Inas Nasrullah mengatakan salah satu pemicu kegaduhan di lingkup internal Pertamina adalah soal Pertalite. Politikus Partai Hanura ini mengatakan Pertamina sejak awal kurang terbuka dalam proses pengadaan Pertalite. Saat ia menjabat Wakil Ketua Komisi Energi DPR, Pertamina pernah dicecar soal impor Pertalite. "Pertamina grogi ditanya soal Pertalite," katanya Sabtu pekan lalu. Itu sebabnya, ia menduga Pertalite bukan produk baru.
Pegawai senior Pertamina membenarkan gelapnya proses pengadaan Pertalite. Semula Divisi Pemasaran mengklaim Pertalite diimpor dari Singapura. Saat direksi meminta agar diproduksi di kilang dalam negeri, Ahmad ngotot ingin tetap mengimpor. Alasannya, Pertalite mengandung zat aditif yang sudah dipatenkan oleh produsen di luar negeri.
Beberapa direktur mengejar penjelasan Ahmad mengenai zat aditif itu. Karena tidak mendapatkan penjelasan rinci, seorang pegawai senior Pertamina diam-diam membentuk tim untuk menguji kandungan Pertalite tak lama setelah produk anyar itu diluncurkan pada pertengahan 2015. Untuk melakukan pengujian, tim mengambil sampel dengan membeli Pertalite di salah satu SPBU.
Sejumlah peralatan pengukur kadar zat aditif disiapkan. Hasilnya, alat tersebut tidak menunjukkan adanya kandungan zat aditif apa pun. Tim menduga Pertalite adalah bensin oplosan antara Pertamax (bensin oktan 92) dan Premium (bensin oktan 88). "Dua bensin dicampur begitu saja," kata pejabat yang mengetahui pengujian Pertalite.
Hasil pengujian itu dikonfirmasi ke sejumlah pegawai, salah satunya Senior Vice President Fuel Marketing and Distribution Pertamina Muhammad Iskandar, yang saat ini menjabat Direktur Pemasaran Pertamina. Salah seorang anggota tim penguji Pertalite mengatakan Iskandar membenarkan tidak ada tambahan zat di dalam Pertalite. Iskandar menilai argumen Ahmad yang mengatakan Pertalite mengandung zat aditif dianggap mengada-ada. Saat dimintai konfirmasi pekan lalu, Iskandar tidak merespons pesan yang dikirim Tempo melalui WhatsApp. Dia juga tak menjawab panggilan telepon.
Setelah yakin Pertalite tidak mengandung zat aditif, tim investigasi menyodorkan temuan tersebut kepada Ahmad. Menanggapi berondongan pertanyaan tentang zat aditif, Ahmad menjawab enteng: "Itu bahasa pemasaran saja," kata seorang pejabat menirukan Ahmad.
Setelah kandungan Pertalite terungkap, Pertamina tidak lagi mengimpor, tapi memproduksi sendiri di kilangnya. Klaim memproduksi di kilang Pertamina ini dipertanyakan seorang pejabat auditor di kalangan internal pemerintahan. Menurut auditor ini, Pertalite juga diproduksi di kilang penampungan milik PT Orbit Terminal Merak di Cilegon, Banten.
Nama Orbit Terminal sempat menjadi pergunjingan setelah salinan surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto kepada Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto beredar ke publik pada akhir 2015. Surat itu menyinggung pembayaran biaya penyimpanan bahan bakar minyak kepada PT Orbit Terminal Merak. Dalam surat itu, Setya meminta Pertamina membayar biaya penyimpanan. Laporan majalah Tempo edisi 23-29 November 2015 menemukan Orbit Merak merupakan milik Muhammad Riza Chalid, yang dikelola anaknya, Muhammad Kerry Adrianto Riza. Riza Chalid salah satu pemain minyak di Indonesia. Bekas Wakil Ketua Komisi Energi Inas Nasrullah membenarkan kabar bahwa anak Riza Chalid mengelola Orbit. Perusahaan ini dulu bernama Oiltanking Merak.
Dalam proses pengolahan Pertalite di Orbit, Pertamina menunggak jasa operasional hingga Rp 600 miliar. Ahmad Bambang, yang sudah dicopot dari Wakil Direktur Utama Pertamina dua pekan lalu, membenarkan Pertalite diproduksi di Orbit. Namun dia mengatakan Pertalite juga diproduksi di terminal penampungan Pertamina lain, di antaranya Surabaya, Semarang, dan Plumpang, Jakarta.
Ihwal tunggakan kepada Orbit yang belum dilunasi karena Pertamina menolak harga yang ditagih Orbit. Ahmad menginginkan harga yang disodorkan Orbit setara dengan perusahaan lain yang menyewakan terminalnya, baik di Indonesia maupun Singapura. "Harga Orbit kemahalan," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Terkait dengan retaknya hubungan dengan anggota direksi lain, Ahmad enggan memberikan keterangan rinci. "Sudahlah, yang penting ke depan kasih waktu direksi agar menjalankan tugas dengan baik," ujarnya. Ia juga tidak mau menjelaskan soal tidak adanya zat aditif dalam Pertalite.
Akbar Tri Kurniawan | Ali Nuryasin | Agus Supriyanto | Ayu Prima Sandi
Ceruk Pasar Pertalite (%)
2015: 3,9
2015: 15,8
Harga Pertalite (Rp)
Juli 2015: 8.400
September: 8.300
Februari 2016: 7.600
Maret: 7.500
April: 7.300
Mei: 6.900
Oktober: 7.050
Januari 2017: 7.350
Pertalite (%)
Produksi: 50 (Pertamax) + 50 (Premium)
Formula Harga: 60 (Pertamax) + 40 (Premium)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo