Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika suasana politik menghangat, ada pergerakan uang panas yang menentukan nasib rakyat Indonesia. Ini bukan dana haram hasil kejahatan atau penjarahan. Hot money atau uang panas di sini adalah istilah pasar finansial untuk dana investasi jangka pendek yang cepat berpindah-pindah mencari negara yang paling menguntungkan.
Indonesia sangat bergantung pada aliran masuk uang panas ini. Salah satu sebabnya, neraca transaksi berjalan selalu defisit sejak kuartal ketiga 2011: besar pasak daripada tiang. Pengeluaran valuta asing untuk mengimpor barang dan jasa lebih besar daripada penerimaan ekspor kita. Tahun lalu saja (Januari-September) defisit transaksi berjalan mencapai US$ 13,9 miliar.
Selisih ini tentu harus ada ganjalnya. Jika tidak, ekonomi Indonesia lama-kelamaan akan kekurangan valuta asing dan kurs rupiah semakin jatuh.
Ganjal itu dapat berupa utang atau investasi dari luar negeri. Yang terbaik tentu jika ganjalnya investasi langsung, misalnya pembangunan pabrik. Dolar yang sudah masuk tak mudah keluar. Tapi realitasnya tidak demikian. Ganjal yang dominan adalah utang yang harus dibayar danhot money yang bisa keluar lagi dengan mudah dan cepat melalui pasar finansial.
Pergerakan uang panas ini langsung berpengaruh pada harga saham ataupun obligasi. Yang lebih merepotkan, keluar-masuknyahot money juga sangat mempengaruhi kurs rupiah. Maka penjual tahu goreng yang sama sekali tak tahu apa itu obligasi atau saham juga ikut merasakan efek keluarnya hot money. Anjloknya kurs rupiah akan melonjakkan harga kedelai impor, yang membuat sang penjual tahu kelabakan.
Kuartal pertama setiap tahun adalah masa-masa penentuan pergerakan uang panas ini. Para pengelola investasi mulai mengubah alokasi investasi ke negara-negara yang dianggap paling menjanjikan. Menurut Institute of International Finance (IIF), asosiasi industri keuangan global, korban terbesar tahun ini adalah Tiongkok. Estimasi uang panas yang akan hengkang dari sana mencapai US$ 560 miliar, hampir lima kali lipat cadangan devisa Indonesia.
Di luar Cina, menurut IIF yang dikutip Financial Times, semua 24 negara berkembang lainnya akan menikmati aliran masuk senilai US$ 70 miliar. Maka ke-24 negara itu harus adu bersolek dengan sengit untuk menarik uang panas ini.
Sayangnya, Indonesia tak terlalu cantik jika dibandingkan dengan tetangga. Salah satu indikatornya adalah imbal hasil atau yield obligasi pemerintah berjangka waktu 10 tahun, tongkat pengukur risiko berinvestasi di suatu negara. Semakin besar yield, investasi di negeri itu dianggap semakin berisiko. Per Kamis pekan lalu, yield Indonesia adalah 7,55 persen. Bandingkan dengan Malaysia (4,13), Filipina (4,25), dan Thailand (2,66). Investor bahkan cuma menuntut yield 5,97 persen dari Vietnam.
Macam-macam faktor yang mempengaruhi yield. Konsistensi kebijakan dan regulasi pemerintah merupakan salah satu yang terpenting. Kredibilitas anggaran juga amat besar bobotnya. Investor tentu menghitung seberapa dalam ketergantungan pada utang luar negeri dan kekuatan cadangan devisa.
Terakhir, yang justru sangat penting, adalah soal keamanan. Sekarang para manajer investasi sangat menimbang suasana politik Indonesia, terutama Jakarta, yang panas menjelang pemilihan kepala daerah. Percikan rusuh kecil pun bisa saja membuat analis di New York sana, yang mungkin belum pernah tahu Indonesia persisnya di mana, memberikan rekomendasi keluar dari Indonesia. Jika uang panas benar-benar hengkang, dari investor berdasi di pasar finansial hingga tukang tahu di pasar becek akan merasakan akibatnya.
*) Kontributor Tempo
Kurs | |
Pekan sebelumnya | 13.374 |
Rp per US$ | 13.318 |
Pembukaan 10 Februari 2017 |
IHSG | |
Pekan sebelumnya | 5.353 |
5.378 | |
Pembukaan 10 Februari 2017 |
Inflasi | |
Bulan sebelumnya | 3,02% |
3,49% | |
Januari 2017 YoY |
BI 7-Day Repo Rate | |
4,75% | |
19 Januari 2017 |
Cadangan Devisa | |
30 November 2016 | US$ miliar 111,466 |
Miliar US$ | 116,362 |
31 Desember 2016 |
Pertumbuhan PDB | |
2015 | 4,73% |
5,1% | |
Target 2016 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo