PROYEK olefin, yang diresmikan Februari lalu secara besar-besaran, masih lekat dalam ingatan banyak orang. Inilah proyek kedua ter"megah" milik Prajogo Pangestu (senilai Rp 4,5 trilyun), di samping proyek HTI (Hutan Tanaman Industri) di Sumatera Selatan yang berbobot Rp 5 trilyun. Selain skalanya yang raksasa, olefin sering dibicarakan, terutama karena untuk pendanaannya, Prajogo mengandalkan bank-bank pemerintah. Apalagi di tengah kebijaksanaan uang ketat, BBD (Bank Bumi Daya) malah dikabarkan menjanjikan dana untuk olefin sebesar US$ 500 juta. Sementara itu, terbetik berita bahwa pembangunan proyek olefin kini tersendat. Biarpun olefin tidak masuk daftar tunda -- begitulah kira-kira -- bukan tidak mungkin proyek yang prospeknya diperkirakan sangat cerah ini juga harus dijadwalkan kembali pembangunannya. Satu sumber TEMPO sempat berkomentar, "Yang membahayakan di sini adalah, Prajogo sudah mulai membangun, sementara pendanaannya belum siap." Kendati proyek itu berstatus PMDN, nama Prajogo tampaknya dianggap jaminan bahwa proyek olefin akan berjalan lancar. Dimiliki PT Chandra Asri -- kongsi Prajogo Pangestu dari Grup Barito, Henry Pribadi, dan Grup Bimantara -- dari investasi US$ 2,25 milyar, sebesar US$ 450 juta merupakan penyertaan modal Prajogo dan Henry Pribadi (secara fifty-fifty). Sisanya, menurut rencana, akan ditutup oleh pinjaman sindikasi dari empat bank pemerintah dan bank luar negeri. Sindikasi yang dikoordinasi oleh Bank Bumi Daya itu akan menyangga dana US$ 1,8 juta. Namun, karena bank-bank sedang kelabakan mencari dana, menurut pejabat tinggi tadi, tiga bank pemerintah lainnya (Bank Dagang Negara, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Tabungan Negara) mengundurkan diri. Alhasil, BBD yang ditinggal sendiri jadi kelimpungan. Memang, dari dana US$ 500 juta yang sudah dialokasikan BBD untuk olefin belum seluruhnya dicairkan. Namun, sialnya, karena L/C (letter of credit) untuk sejumlah alat-alat dan mesin pabrik sudah dibuka, posisi BBD bagaikan "maju kena mundur kena". Sementara itu, ada pejabat dari kalangan Ekuin membisikkan bahwa kisruh yang melanda BBD bisa mengganggu kelancaran pembangunan pabrik. Kalau benar, entah bagaimana nasib olefln kelak. Yang pasti, seperti dikatakan Presiden Direktur Chandra Asri, Henry Pribadi, kepada TEMPO beberapa waktu berselang, sarana yang dibutuhkan proyeknya sudah lama nongkrong di Merak. Sarana itu termasuk mesin-mesin dan berbagai jenis pipa dari tiga perusahaan di Amerika (antara lain Kellog dan Lumus Grass), seharga US$ 1,9 milyar. Jika tak ada aral melintang, pabrik itu mulai berproduksi Oktober 1993. Setiap tahun menghasilkan 850 ribu ton olefin, hampir dua kali lipat dari kebutuhan nasional yang rata-rata 450 ribu ton. Untuk itu, dibutuhkan bahan baku nafta (yang seluruhnya dipasok Pertamina) 1,8 juta ton. "Jangan melihat proyek ini dari investasi yang mahal. Tapi, kita bisa menghemat devisa US$ 1 milyar setahun," kata Henry. Moebanoe Moera dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini