Sejumlah proyek bernilai US$ 11 milyar siap diluncurkan Pertamina. Dan proyek itu sudah diberi lampu hijau. PERTAMINA, BUMN yang tersohor dengan logo sepasang kuda laut itu, belakangan disebut-sebut sedang menekuni sejumlah proyek bernilai US$ 30 milyar. Beberapa di antaranya memang raksasa hingga diincar banyak pihak. Hal ini merepotkan Faisal Abda'oe, nakhoda Pertamina lulusan FE UI, yang tidak banyak bicara itu. "Pertamina akan melaksanakan hanya proyek-proyek yang sudah disetujui Pemerintah. Kami memang mengusulkan, tapi Pemerintah yang biasa mempertimbangkan secara makro," ujar Abda'oe dalam satu penjelasan, pekan lalu. Proyek-proyek gajah yang belakangan ini sangat diharapkan swasta adalah pabrik pengilangan minyak bumi untuk ekspor yang populer disebut Exor (export oriented refinery). "Saya pernah melihat daftar proyek Exor sebanyak 7 atau 10 buah. Ini kan gila. Padahal, yang sudah disetujui Pemerintah belum tentu akan jalan," kata seorang tokoh Ekuin. Namun, Direktur Pengolahan Pertamina, Dr.Ir. Tabrani Ismail, mengungkapkan bahwa, selain empat Exor, juga masih ada yang lain. Rinciannya: Exor I Terletak di Balongan, Jawa Barat. Mitsui Japan Gas Corp. dan Foster Wheeler Ltd. bersedia tampil sebagai pelaksana konstruksi (tanpa tender). Mereka akan dibiayai oleh enam sogo sosha, yang bersindikat dalam Java Petroleum Investment. Perusahaan itu juga yang mencarikan pembeli hasil Exor dan bertindak sebagai penjamin untuk utang Pertamina. Kendati proyek itu disebut export oriented, hasilnya juga akan dijual di dalam negeri. Setiap hari Exor I akan memproses 125.000 barel minyak mentah dari Minas (20%) dan Duri (80%). Untuk membayar utang proyek, Pertamina akan menjual BBM hasil pabrik di Dumai dan Balikpapan. British Petroleum dan Japan Gas Corp. siap bertindak sebagai pembeli (off taker) proyek Exor I ini. Kontrak Pertamina dengan mereka sebenarnya sudah diteken 20 Agustus 1990, tapi baru pekan lalu direksi Pertamina mengungkapkan bahwa investasinya sekitar US$ 1,9 milyar. PT Parama Matra Widya (milik Bob Hasan), yang menjadi subkontraktor Mitsui, mestinya kecipratan. Selain itu, satu anak perusahaan dari Grup Citra Lamtorogung (milik Siti Hardiyanti Rukmana) ikut memasok pasir. Namun, angka US$ 1,9 milyar terkesan ganjil. Ketika proyek itu diteken tahun lalu di Tokyo, sebuah sumber mengatakan bahwa kredit yang diberikan Java Petroleum berjumlah USS 2,8 milyar. Kalau begini, mana yang benar? Namun, seorang pakar ekonomi mengatakan bahwa proyek Balongan tidak layak. Menurut perhitungannya, jika pabrik ini telah berjalan 10 tahun, beban cicilan utang dan bunga proyek ini berkisar US$ 400 juta, sementara keuntungan yang diberikannya hanya sekitar US$ 200 juta. Artinya, Pertamina akan rugi. "Saya berani adu argumentasi bahwa proyek ini dalam 10 tahun sudah milik Pertamina 100%," kata Tabrani sambil membuka buku catatannya. Menurut perhitungannya, begitu pabrik mulai berproduksi pada tahun pertama (1994-1995), Pertamina sanggup mencicil utang US$ 317 juta dan masih ada sisa keuntungan US$ 4 juta. Pada tahun kedua (1995-1996), beban bunga dan cicilan akan menggelembung jadi US$ 413 juta, tetapi masih ada saldo keuntungan US$ 160 juta. Pada tahun 2000, pabrik Balongan akan memberikan keuntungan kotor US$ 529 juta setelah dipotong beban utang. Itu memang baru dalam prospektus, dan realisasinya harus ditunggu. Mudah-mudahan, proyek ini tidak terbentur. Sampai pekan lalu, pembangunan Exor I baru terealisasi sekitar 14%. Exor II Yang akan tertunda pembangunannya adalah Exor II. Menurut Tabrani, sampai pekan lalu izin Menko Ekuin memang belum turun. "Proyek ini masih dalam tahap studi," katanya lagi. Investasinya belum jelas, tapi diperkirakan berkisar US$ 1,5 milyar. Exor III Izin Menko Ekuin untuk proyek Exor III sudah keluar. Proyek ini menurut rencana akan dibangun Pertamina (sebagai penyedia lahan dan izin pabrik) bersama British Petroleum dan C. Itoh di Kepulauan Riau. Anggarannya sekitar US$ 1,5 milyar. Menurut Tabrani, Grup Salim akan ikut kecipratan sebagai subkontraktor dari proyek ini. Exor III akan mengilang 120.000 barel minyak mentah impor dari Timur Tengah. Itu artinya, proyek ini harus bisa bersaing misalnya dengan kilang-kilang di Singapura. Namun, proyek ini belum matang. Exor IV Tampaknya, Exor IV akan melesat lebih dahulu. Izin dari dewan komisaris sudah keluar, lampu hijau juga sudah dinyalakan Menko Ekuin. Proyek Dumai ini akan mengolah minyak Minas dan Duri -- sama seperti Exor I -- hanya ada tambahan hasil berupa minyak pelumas. Investasinya sekitar US$ 2,5 milyar. Sindikat pembiayaan proyek itu diharapkan sudah terbentuk pada bulan November. Para kontraktor akan ditunjuk sekitar September mendatang. Seorang pengusaha swasta nasional di Jakarta semula berharap diikutsertakan dalam Exor IV. "Namun, karena buntut kasus Bank Duta, Grup Salim yang akan dapat mendampingi Mitsui," kata pengusaha tadi. Kini ia hanya berharap akan dipanggil sebagai subkontraktor. Minat Liem Sioe Liong untuk terjun ke industri migas sudah kelihatan pada tahun 1980, ketika ia berniat ikut menanamkan modal untuk membangun pabrik pengilangan minyak di Dumai. Namun, proyek itu ternyata dibangun Pemerintah dengan dana sendiri. Lalu pada tahun 1986, Liem juga disebut-sebut ikut tender pembangunan pabrik hydrocracker di tanah kelahirannya, RRC. Ternyata gagal. Boleh jadi kali ini Grup Salim juga telah terbentur. Seorang eksekutif senior dari Grup Salim, Judiono Tosin, membantah bahwa Grup Salim ikut dalam proyek Exor III atau IV. Arun Aromatic Proyek raksasa yang satu ini sudah sangat mendesak pembangunannya. Terletak di Arun, ia akan merupakan industri paling hulu dari jalur industri serat sintetis. Di hilir sekarang ini antara lain sudah berkembang industri kain ban dan benang ban (Branta Mulia dan Gajab Tunggal). Mereka sangat membutuhkan bahan baku PTA. Ternyata, ada beberapa investor lain yang ingin masuk ke industri PTA (purified tehapthalic acid), di antaranya Risjad Salim (bos Branta Mulia), Grup Astra dan Bakrie Brothers. Anggaran untuk proyek aromatik adalah US$ 1,24 milyar. Menurut perhitungan Pertamina, begitu proyek mulai berproduksi sudah akan memberikan keuntungan. "Tiap tahun selama tiga tahun pertama akan mengalami suprlus dua juta dolar. Pada tahun ke-4, sudah akan memberikan untung 50 juta dolar," kata Tabrani yakin sekali. RCC (Residual Catalytic Cracking) Proyek Pertamina yang juga berukuran gajah adalah Residual Catalytic Cracking di Cilacap. Pabrik yang akan menghasilkan bahan bensin tak bertimbal ini akan menelan investasi US$ 2,4 milyar. Bertindak sebagai off taker adalah Mitsui dan British Petroleum. Tabrani memperkirakan, selama tiga tahun pertama RCC akan surplus US$ 2 juta, sedangkan pada tahun ke-4, proyek ini akan menghasilkan untung USS 50 juta. LNG Train F Biaya proyek USS 750 juta, yang dikucurkan oleh sindikasi Chase Manhattan dengan bunga 1,25% di atas Libor. Kontrak keuangan baru ditandatangani Senin pekan depan, dan kontak pembelian produksi diteken oleh tiga calon pembeli: Osaka Gas, Tokyo Gas, dan Toho Gas. Pendapatannya diperkirakan US$ 275 juta, dengan patokan harga minyak US$ 19 per barel. Max Wangkar, Iwan Qodar Himawan (Jakarta), Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini