Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia berupaya menarik investor untuk mendirikan pabrik ban alat berat sebagai solusi jangka panjang atas kelangkaan ban OTR.
Dua pemilik modal asing telah berkomitmen mendirikan pabrik ban OTR radial di dalam negeri.
Keengganan investor membuka pabrik ban OTR radial juga dipicu oleh pasar yang sudah cenderung jenuh secara global.
JAKARTA – Kendala impor ban jenis off the road (OTR) radial membuat produk tersebut langka di dalam negeri. Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) berupaya menarik investor untuk mendirikan fasilitas produksi peranti itu sebagai solusi jangka panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum APBI, Aziz Panen, mengatakan tak mudah menarik minat pengusaha untuk menanamkan modal di industri ban OTR radial. Pasalnya, investasi yang harus digelontorkan berjumlah fantastis, terutama untuk teknologinya. "Minimum US$ 700 juta," kata dia kepada Tempo, kemarin, 9 Agustus 2023. Sementara itu, pasar untuk tipe ban ini terbatas hanya buat alat-alat berat penunjang kegiatan pertambangan serta beberapa bus angkutan penumpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi yang membuat pengembalian investasi tak menarik inilah yang menjadi pemicu minimnya produsen ban OTR radial di Indonesia. Salah satu produsennya adalah PT Gajah Tunggal Tbk, tapi tipe dan kapasitas produksinya sangat terbatas. Selama ini, kebutuhan ban nasional dipenuhi oleh impor, seperti dari Jepang, Amerika Serikat, dan Cina.
Pane optimistis kendala investasi tersebut bisa diatasi. Pasalnya, industri tambang di dalam negeri masih berkembang. Terlebih, dengan adanya kebijakan penghiliran, pengusaha tidak hanya bisa memanfaatkan pasar di wilayah tambang, tapi juga smelter.
Menurut Pane, sejumlah investor sudah melihat peluang tersebut. Setidaknya, dua pemilik modal asing telah berkomitmen mendirikan pabrik ban OTR radial di dalam negeri. "Satu perusahaan dari Asia, satunya lagi dari Eropa," tuturnya. Mereka, kata dia, juga tergiur oleh peluang ekspor ban ke Australia jika mendirikan pabrik di Indonesia. Sayangnya, kedua calon investor itu belum merealisasi komitmen tersebut karena masih menanti hasil pemilihan umum.
Para kontraktor alat berat untuk sektor pertambangan kesulitan menambah pasokan ban off the road karena hambatan impor. Padahal kebutuhan ban jenis itu cukup tinggi tahun ini.
Mimpi Menjadi Pusat Industri Ban
Pane mengatakan kehadiran pabrik ban jenis OTR ke depan tidak hanya menjamin pasokan dalam negeri. Industri tersebut juga bisa mendongkrak pertumbuhan perkebunan karet serta industri kimia menengah yang bakal menjadi bahan pelengkap dalam produksi ban. "Mimpi Indonesia dulu menjadi pusat industri ban mungkin terwujud," kata dia.
Impor ban radial jenis OTR terhambat lantaran pemerintah belum menetapkan neraca komoditas untuk ban jenis tertentu yang tidak diproduksi di dalam negeri serta digunakan untuk mendukung industri pertambangan, transportasi, dan logistik. Neraca komoditas tersebut merupakan salah satu syarat terbitnya izin impor dari Kementerian Perdagangan. Sedangkan penetapan ban OTR dalam neraca komoditas memerlukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), Bambang Tjahjono, menambahkan, keengganan investor membuka pabrik ban OTR radial juga dipicu oleh pasar yang sudah cenderung jenuh secara global. "Selain itu, tantangannya adalah menjamin kualitas ban radial yang berbeda dengan ban yang banyak diproduksi di Indonesia sekarang," ujarnya. Namun dia menilai pemerintah Indonesia masih punya peluang untuk mendirikan pabrik tersebut. Selagi menanti pemodal yang masuk, dia berharap pemerintah mulai mendorong inisiasi, seperti lewat penelitian dan pengembangan.
Suasana kerja di pabrik ban Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Dok Tempo/ Seto Wardhana
Ketua Umum Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia, Rochman Alamsjah, menyatakan pasokan ban OTR radial sudah sangat menipis di dalam negeri setelah selama enam bulan terakhir tak mendapat izin impor. Dia berharap pemerintah segera melonggarkan kebijakan sehingga stok baru bisa kembali masuk. Jika tidak, seluruh alat berat di dalam negeri tak bisa beroperasi pada awal tahun depan. "Sekarang rata-rata tiap kontraktor memiliki 25 truk yang standby karena tidak ada bannya," ucapnya.
Dia mengingatkan kelangkaan ban ini bisa berujung pada gangguan energi di dalam negeri. Alat-alat berat di pertambangan yang mandek bakal menghambat produksi. Dalam konteks batu bara, misalnya, kegiatan yang terhambat bakal mengganggu pasokan untuk pembangkit listrik tenaga uap.
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri, Ignatius Warsito, mengatakan pemerintah mencoba memberikan solusi dengan mengizinkan impor ban buat para pemilik Angka Pengenal Impor Umum (API-U). "Nanti menyertakan bukti bahwa impor ban tersebut untuk mendukung kegiatan pertambangan," katanya. Dia memastikan pemerintah berupaya mempermudah impor ban untuk mendukung kegiatan pertambangan sehingga tak ada ancaman untuk energi.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo