Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Televisi Indonesia belum memiliki seorang Larry King. Dialah seorang pembawa acara stasiun televisi CNN yang lincah, berani bertanya, berani memancing amarah, berpengetahuan luas dan, tanpa harus berwajah tampan, mampu tampil menarik. Pembaca acara televisi Indonesia, selama ini, cuma punya dua kategori: cantik atau tampan tapi kurang sigap bertanya; atau terlalu cerewet dalam bertanya hingga pemirsa mulai bingung siapa sesungguhnya yang tampil dalam acara show itu.
Tapi kini kita mulai punya Tiurmaida Tampubolon, pembawa acara debat "Pro Kontra" di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Mungkin dia belum mencapai sebuah kecanggihan taraf Larry King atau Oprah Winfrey dalam kesigapan bertanya. Tapi, dari semua pembaca acara debat (talk-show) yang ada di enam stasiun televisi, agaknya Tiur yang paling memahami perannya. Tampil di antara dua narasumber yang berlawanan visi, Tiur menyadari perannya sebagai moderator. Dalam acara yang bertujuan mengupas masalah politik yang aktual dari dua pihak yangsengaja dipilihberlawanan, Tiur tak tampil sebagai primadona. Dua aktor penting itu adalah para tamu, dan Tiur mempunyai tujuan menghadirkan sebuah acara yang memperlihatkan kemampuan orang Indonesia untuk berekspresi dengan fasih dan sekaligus "berbeda pendapat tanpa harus gontok-gontokan," demikian tutur Tiur. Maka, dalam acara yang sudah berlangsung hingga 18 episode itu, Tiur mampu memancing narasumber dengan pertanyaan provokatif saat udara mulai "adem", dan dia akan menenangkan suasana saat udara mulai panas. Tetapi Tiur tak akan tampil sebagai "primadona" yang tiba-tiba nyelonong dengan pendapatnya sendiri, seperti beberapa acara debat lain yang menggunakan tokoh terkenal sebagai pembawa acara. Kesadaran peran itu disebabkan karena, menurut bahasa Tiur, dirinya tampil "as a journalist" (sebagai wartawan).
Salah satu episode "Pro Kontra" yang paling meledak adalah episode soal kontroversi dana Jaring Pengaman Sosial, yang menghadirkan Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium (UPC) "melawan" Iwan Basri dari Partai Daulat Rakyat (PDR). Inilah episode menarik yang ditayangkan beberapa pekan silam, yang topiknya masih menjadi kontroversi hingga kini. Wardah tampil dengan tenang sembari membawa setumpuk data tentang penyelewengan dana JPS, sedangkan Iwan Basri sibuk menangkisnya dengan menampilkan program PDR. Sementara itu, Tiur, sebagai moderator, "sengaja" membiarkan Wardah membeberkan penemuannya, saat Iwan seolah tak memiliki jawaban tuntas atas pengungkapan Wardah, Tiur terus mendorong Iwan dengan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas. "Itu alami," ujar Tiur mengomentari episode itu. Kenapa harus dicari narasumber yang berlawanan? "Namanya saja "Pro Kontra". Semakin berlawanan, semakin baik. Jangan sampai keduanya sama-sama pro," ujar Tiurmaida. Inilah resep jualan ini sejak episode pertama hingga saat ini, dengan sengaja membangun pertentangan tajam di antara tokoh yang "diadu". Itu pula yang terjadi antara Sri Bintang Pamungkas, Ketua Umum PUDI, yang meluapkan amarahnya karena dituduh makar oleh Arnold Baramuli, Ketua DPA, ketika mereka diadu dalam acara ini. "Mereka tak mau dihentikan dan bahkan berantem sampai ke tempat parkir," tambah Tiurmaida.
Ini memang sebuah perubahan yang menarik, mengingat sebelum masa reformasi 21 Mei 1998, TPI adalah stasiun televisi yang menyediakan acara talk-show macam "Manajemen Soeharto", yang isinya, ya, apa lagi kalau bukan memuji-muji manajemen Soeharto saat menjadi presiden negeri ini.
Tiurmaida memang terbilang sukses mengangkat nama TPI lewat acara ini, yang hanya baru berusia beberapa bulan sudah mampu meraih rating empat. Sponsor utama sudah masuk hingga produksi 13 episode untuk periode berikutnya. Iklan spot pun sudah penuh. Untuk ukuran sebuah acara debat, perolehan ini merupakan prestasi yang cukup luar biasa. Padahal, produksi ini hanya memakan ongkos Rp 5 juta sampai Rp 6 juta per episode.
Namun, jika dibandingkan dengan acara "Partai-Partai" yang juga ditayangkan stasiun televisi yang sama, "Pro-Kontra" memang masih kalah rating. Acara "Partai-Partai", yang sudah berlangsung selama dua tahun ini, dipandu oleh Haris Jauhari dan bertujuan "memberi pendidikan politik" kepada pemirsa melalui penampilan partai politik yang kini jumlahnya bejibun, digabungkan dengan fanatisme khalayak terhadap partai masing-masing. Meminjam istilah Haris Jauhari, partai politik memiliki tingkat kepemirsaan yang tinggi, yang tentu saja punya nilai jual dan iklan pun mengalir dengan deras. Asumsi ini dibuktikannya dengan "mengadu" sejumlah partai pada setiap episode dengan pengamat dan penonton di studio. Hasilnya? Pada awal penayangannya, Juni 1998, memang belum terlalu berhasil. Bahkan Haris mengaku selama enam bulan acara ini tak berhasil menangguk iklan. Maklum, pemasang iklan kala itu masih trauma dengan perilaku politik rezim Soeharto, yang menganggap acara-acara yang berbau politik masih berisiko. "Sekarang slot iklannya sudah penuh," kata Haris bangga. Tapi bukan soal iklan saja yang menjadi indikasi keberhasilan acara ini. Acara ini sudah mencapai rating tujuh menurut survei SRI-AC Nielsen. Selain itu, popularitas acara ini disebabkan karena ia cukup fleksibel untuk variasi dan perubahan format. Awalnya, acara ini menampilkan wakil-wakil partai yang membicarakan program partainya, tapi kini menampilkan calon presiden dari partai masing-masing. Penampilan Gus Dur adalah salah satu episode yang meledak dan ditayangkan ulang akibat permintaan penonton.
Keberhasilan TPI mengangkat pamor kedua acara debat itu patut diacungi jempol. Sebab acara "Debat Terbuka" di AN-TV, yang sudah mengudara sejak November 1995, toh hanya bisa meraih rating empat, sebuah prestasi yang sudah dicapai oleh acara "Pro-Kontra", yang baru ditayangkan beberapa bulan saja. Acara ini bermula dari ajang debat calon ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), kemudian berkembang menjadi arena debat kebijakan publik, yang dengan tajam dipandu oleh Fahmi Idris (kini Menteri Tenaga Kerja) dan ditangani langsung oleh Sudirman Teba. Sesungguhnya acara ini selalu mendapat penghargaan dalam Festival Sinetron Indonesia sebagai acara talk show terbaik. Tapi, mungkin karena acara ini tercipta saat Orde Baru, ketika situasi belum seterbuka sekarang, acara "Debat Terbuka" ini pun lebih banyak tak terbukanya dan pemirsa juga tak terpuaskan secara maksimal.
Zaman yang lumayan lebih terbuka ini kemudian dimanfaatkan juga oleh stasiun televisi RCTI, yang selama ini berita-beritanya dikenal "lebih santun dan konservatif" daripada, katakanlah, SCTV dan ANTV. Acara talk show "Debat Calon Presiden" memanfaatkan panasnya bursa calon presiden menjelang sidang umum MPR yang akan diselenggarakan Agustus nanti. Tujuannya, "agar memilih calon presiden tak seperti membeli kucing dalam karung," ujar Adolf Pusumah, moderator acara ini. Tokoh semacam Gus Dur, Amien Rais, atau Deliar Noer, yang menjadi narasumber, tak keberatan dikejar pertanyaan-pertanyaan kritis oleh sejumlah panelis dan mahasiswa. Tidak tanggung-tanggung, RCTI menempatkannya pada saat prime-time (pukul 19.30 hingga 20.30) setiap Jumat dan menguras kocek RCTI Rp 30 juta hingga Rp 40 juta untuk ongkos produksi per episode. Padahal, umumnya stasiun televisi lain menempatkan acara talk show pada malam hari dan dengan ongkos produksi tak lebih dari Rp 10 juta. Hasilnya? Konon, Survei Riset Indonesia (SRI) memberi rating lima hingga tujuh.
Tapi, paling tidak, kini para pembawa acara debat televisi sudah mulai mengenal perannya: ya, sebagai pembawa acara, bukan bintang acara. Dan terlebih lagi, waktu akan menguji apakah acara-acara ini bisa bertahan puluhan tahun seperti acara-acara debat "Larry King Show" di CNN.
Leila S. Chudori, R. Fadjri, Dwi Arjanto, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo