Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tiga jam Anne Kathtrin dan Viona bersantai di tepi Pantai Tanjung Aan, di wilayah selatan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sudah dua pekan ini, pelancong asal Frankfurt dan Nuernberg, Jerman, tersebut menikmati pantai "baru" berpasir putih lembut itu. Selama ini para turis mancanegara lebih mengenal Lombok lewat Pantai Senggigi atau Gili Trawangan. "Menarik, tidak terlalu ramai seperti Bali," kata Kathtrin kepada Tempo dua pekan lalu.
Menjelang senja, Martin Rottmann bersama istri dan dua anaknya terlihat di sebuah resto di bibir pantai yang sama. Mereka menyantap plecing ayam, nasi campur, dan mi goreng. "Really beautiful. Nice beach," pekerja teknik di sebuah pabrik di Jerman itu memuji keindahan pantai itu. Tanjung Aan tak pelak merupakan pantai paling eksotis dari Mandalika, sebuah pusat wisata yang tengah dirancang pemerintah di Lombok.
Proyek Mandalika diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Oktober lalu, bersamaan dengan peresmian bandar udara internasional Lombok. Bandara baru itu menggantikan pelabuhan udara lama di Selaparang, yang dinilai terlalu kecil. Pemerintah menunjuk Bali Tourism Development Corporation—perusahaan pelat merah yang menggarap pusat wisata Nusa Dua, Bali—sebagai pengelola kawasan Mandalika. Pengembangan kawasan wisata itu diperkirakan membutuhkan investasi US$ 250-300 juta (sekitar Rp 2,2-2,6 triliun) untuk membangun infrastruktur saja. "Sumbernya dari obligasi atau pinjaman," kata Direktur Utama Bali Tourism Ida Bagus Wirajaya.
Kawasan Mandalika berjarak 16 kilometer sebelah selatan bandara internasional Lombok dan 40 kilometer dari Mataram. Pantai sepanjang 7,5 kilometer ini persis menghadap ke Samudra Indonesia. Pemerintah akan menyiapkan lahan 1.175 hektare. Sekitar 1.035 hektare sudah beres, sisanya sedang dalam proses pembebasan. Kawasan ini akan dikembangkan bertahap selama sepuluh tahun. Targetnya, sejuta pelancong mancanegara mampir ke Mandalika dalam setahun.
Tiga grup bisnis besar digandeng untuk mengembangkan Mandalika. Ada Rajawali Group milik Peter Sondakh—orang terkaya kesembilan versi majalah Forbes 2008. Melalui anak usaha PT Canvas Development Sdn Bhd, Rajawali akan mendapat 100-300 hektare. PT Gobel Internasional milik Rachmat Gobel akan mengelola 350 hektare, dan MNC Group milik Hary Tanoesoedibjo melalui PT Global Land Development akan mengelola 400 hektare.
Dalam rencana induk pengembangan Mandalika, Rajawali akan membangun resor wisata kelas premium, hotel berbintang, dan vila. Gobel Internasional akan membangun fasilitas pengolahan air minum, sarana pengolahan limbah yang ramah lingkungan, dan teknologi sistem tenaga surya. Sedangkan MNC akan membuat taman hiburan terintegrasi seperti Disneyland, taman bawah air, techno park, bahkan arena balap F1. "Dalam MOU sudah disebutkan lahan dan tujuan penggunaan," kata Direktur Pengembangan Bali Tourism Development Corporation Edwin Darma Setiawan.
Pemegang konsesi, menurut Edwin, mendapat hak mengembangkan kawasan. Tentu dengan kompensasi alias biaya sewa lahan. Sejauh ini, berapa kompensasi dasar belum ditentukan, tapi yang pasti di atas US$ 10 per hektare. Jadi, tinggal menghitung saja berapa area yang akan dikembangkan selama kontrak—misalnya 30 tahun. "Pembayaran bisa bertahap maksimal lima tahun."
RAJAWALI bukan pemain baru di bisnis wisata di Lombok. Kelompok usaha ini telah memiliki dan mengoperasikan Novotel Coralia—satu-satunya hotel berbintang di kawasan Mandalika—juga Sheraton Resort di Senggigi. Awalnya, pada 1995, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Joop Ave meminta Peter Sondakh mengembangkan Lombok. Maka dibangunlah Novotel—hasil patungan antara Accor Prancis dan kelompok Rajawali—di atas lahan dua hektare. Berlokasi di Pantai Serunting, wilayah selatan Lombok Tengah, hotel yang menelan biaya sekitar Rp 25 miliar itu memiliki 108 kamar plus bungalo yang didesain sesuai dengan rumah adat Sasak. Pada Desember 1997, hotel itu beroperasi.
Selanjutnya pemerintah menunjuk PT Pengembangan Pariwisata Lombok alias Lombok Tourism Development Corporation untuk menggarap kawasan itu. Saham perusahaan ini dimiliki PT Tridan Satria Putra Indonesia—kepunyaan Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto—55 persen, Rajawali 35 persen, dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat 10 persen. Untuk mewujudkan mimpi tersebut, mereka membebaskan 1.250 hektare lahan.
Dua pekan lalu, Tempo menelusuri area tersebut. Proses pembebasan lahan ternyata belum tuntas. Seorang warga yang meminta namanya tidak disebut mengatakan tanah miliknya baru dibayar uang muka Rp 350 ribu per are (0,01 hektare). "Saya mau bilang apa?'' kata dia pasrah. Padahal, warga lain menambahkan, seorang investor asing pernah memberi penawaran Rp 250 juta per are.
Mimpi mengembangkan pusat wisata di Lombok kandas ketika krisis keuangan menghantam Indonesia pada 1997. Utang PT Pengembangan Pariwisata Lombok yang diterima dari sindikasi BNI, Bank Dagang Negara, dan Bapindo, tak bisa dikembalikan alias macet. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat sempat melakukan hak angket atas persoalan tersebut, September 2001. Saat itu disebutkan ada dugaan ketidakberesan manajemen dalam mengelola dana pinjaman pada 1991-1996 sebesar US$ 126,2 juta. Sisa kredit yang belum dicairkan, US$ 47,8 juta, disetop.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kemudian mengambil alih utang dan aset-aset PT Pengembangan Pariwisata Lombok. Rapat perseroan, 1 November 2002, menyatakan 90 persen saham perseroan yang dipegang Rajawali Corporation dan Tridan Satria Putra Indonesia diserahkan ke BPPN. Sisa saham 10 persen milik pemerintah NTB dihibahkan ke BPPN berdasarkan akta hibah 14 Oktober 2002. Sejak itu, BPPN resmi menguasai PT Pengembangan Pariwisata Lombok, termasuk 1.175 hektare lahan yang dibebaskan.
Ketika tugas BPPN berakhir pada 2004, seluruh aset dipindahkan ke Kementerian Keuangan. Lima tahun kemudian, aset tersebut diserahkan ke Bali Tourism Development Corporation, dicatat sebagai penyertaan modal negara senilai Rp 557,66 miliar.
MNC Group sudah berancang-ancang di Mandalika dengan menggunakan kendaraan PT Global Land Development, yang sukses membangun Westin Resort di Nusa Dua, Bali. Perseroan menggaet ahli perencana dari Negeri Abang Sam untuk merancang proyek di kawasan itu. Ditemui di sela Rapat Pimpinan Nasional Partai Nasional Demokrat, Kamis pekan lalu, bos MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, tak mau berkomentar banyak. "Saya tidak paham detailnya," kata dia kepada Mahardika dari Tempo.
Presiden Direktur Global Land Budi Rustanto menjelaskan, Global Land memang berencana membangun kawasan properti. Mereka telah berburu lahan ke penjuru Bali dan Lombok. "Bali sudah padat, sulit mendapatkan lahan lebih dari 300 hektare," kata Budi. Tak dinyana, mitra pengembang di Nusa Dua—Bali Tourism Development Corporation—menawarkan lahan di Mandalika. Diskusi intensif pun digeber sejak enam bulan lalu. Menurut Budi, untuk memikat pelancong, mesti dibikin sesuatu yang khas tapi berskala internasional. Taman atau rekreasi bawah laut, misalnya, cocok dibuat di Tanjung Aan.
Rajawali lebih percaya diri berkat pengalaman mengelola Novotel Lombok selama lima belas tahun lebih. Perusahaan itu juga telah mengantongi hasil studi The World Travel & Tourism Council tahun 1997. Berdasarkan hasil kajian itulah Rajawali dan PT Pengembangan Pariwisata Lombok dulu merancang pengembangan Lombok. Kini, rencana berubah. Konsesi yang dimiliki Rajawali susut tinggal seperempat. Tapi tekad membangun resor premium sudah bulat. "Kami tahu persis apa yang harus dilakukan," kata Ferry Ma'ruf, Vice President Finance Rajawali Corporation.
Rajawali juga berencana mengembangkan Novotel. Sebanyak 80 kamar akan dibangun lagi di atas lahan 3,5 hektare. Diperkirakan, kebutuhan investasi US$ 15-20 juta (sekitar Rp 133-177 miliar). Proses konstruksi akan dimulai pada triwulan ketiga tahun depan. Perseroan masih menyimpan 6,5 hektare lagi di area sekitar Novotel. Sedangkan Proyek Mandalika, menurut Ferry, akan dikerjakan setelah ada kejelasan term of reference dari pengembang, Bali Tourism.
Realisasi pengembangan Mandalika, menurut Edwin Darma Setiawan, sedang dimatangkan. Secara teoretis, investor bisa mendapatkan lahan 100-300 hektare. Toh, pelaksanaannya tergantung perencanaan riil dan kesiapan keuangan masing-masing. Bali Tourism telah membagi lokasi untuk tiap unit proyek. Misalnya taman bawah laut di Pantai Serenting, atau theme park di sekitar Pantai Gerupuk. Tapi rupanya pesona Tanjung Aan lebih memikat semua investor. "Bisa dilakukan beauty contest, tapi kami mendorong mereka duduk bersama untuk membicarakannya," kata Edwin.
Retno Sulistyowati, Harun Mahbub, Supriyantho Khafid (Lombok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo