Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bergelut Di Kilang

Industri kilang minyak di Jepang terpaksa merjer atau tutup sama sekali akibat konversi pemakaian BBM dengan tenaga nuklir. Memberi peluang bagi negara-negara produsen untuk memasok sendiri secara murah. (eb)

5 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDUSTRI pengilangan minyak Jepang, yang selama tiga dekade jadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi, sedang digiring masuk bunker. Adalah Kementerian Industri dan Perdagangan Internasional (MITI) sendiri, yang memandu 46 pengilangan minyak negeri itu masuk lubang perlindungan, dengan mengurangi kapasitas mereka secara bertahap - baik lewat merjer atau menutup diri sama sekali. Panduan itu ditaati. Asia Oil, misalnya, pekan ini akan menutup pengilangannya di Yokohama, yang kini hanya bekerja setengah dari kapasitas terpasangnya yang 80 ribu barel sehari. Daikyo dan Maruzen Oil, pada saat yang sama, akan bergabung membentuk usaha baru bernama Cosmo Oil. Nippon Oil, pengilang minyak terbesar dan tertua dengan kapasitas terpasang 300 ribu barel, dikabarkan merencanakan merjer dengan Mitsubishi Oil. Bagi Nippon Oil, penggabungan itu bukan hanya akan mempengaruhi 1.000 buruhnya saja, tapi juga hidup penduduk di sekitar pengilangan, yang banyak bergantung pada deru mesin industrinya. Dengan serangkaian tindakan efisiensi itu, dalam jangka tiga tahun, kapasitas pengilangan minyak di negeri itu diharapkan bisa mengecil dari 4,97 juta barel jadi 4 sampai 4,3 juta barel sehari. Kendati terasa pahit, pilihan itu dianggap paling baik, mengingat selama tiga tahun terakhir ini kapasitas terpakai 46 pengilangan itu hanya mencapai 60% saja. Pukulan terhadap sektor industri ini memang mulai terasa sesudah sejumlah pusat listrik di Jepang mengkonversikan pemakaian BBM dengan tenaga nuklir dan gas alam sebagai sumber energi. Usaha penghematan, ternyata juga mampu menurunkan konsumsi BBM. Akibatnya segera terlihat: kapasitas pengilangan terasa berlebih hingga satu juta barel. BBM yang mereka hasilkan, ternyata, tidak bersaing karena harga masukan minyak mentahnya mahal. Dalam situasi seperti itu Japan Natural Resources and Energy Agency (JNREA) menganggap bahwa kebutuhan akan BBM cukup dilayani dengan kilang berkapasitas 3,3 juta barel saja. Pengurangan akhirnya harus dilakukan, "Agar kapasitas terpakai efisien bisa dinaikkan jadi 80%," kata seorang pejabat JNREA. MITI, sebagai pemandu beleid ekonomi dan industri Jepang, lalu bertindak: membuka keran impor BBM, mulai Januari lalu. Tujuannya tidak untuk mematikan pengilangan lokal, tapi justru untuk menggerakkan industri manufaktur dengan menyediakan BBM murah. Kuota impor, tentu, masih perlu diterapkan agar industri pengilangan memperoleh kesempatan untuk merjer, atau beralih ke bidang usaha lain. Dana sekitar satu milyar yen disediakan pemerintah untuk menyingkirkan fasilitas pengilangan, seperti dibutuhkan Asia Oil. Tambahan sejumlah 1,47 milyar yen dicadangkan pula guna memberi pensiun para buruh yang terkena tindakan efisiensi itu. Perubahan secara struktural di Jepang itu, tentu, memberi peluang pada Arab Saudi, Singapura, Kuwait, bahkan Korea Selatan, memasok kebutuhan BBM Jepang. Bagi produsen minyak seperti Arab Saudi, usaha menghasilkan BBM tentu bisa dilakukan secara murah. Tapi belum bagi Pertamina yang masih bergelut untuk menguasai teknologi di ketiga pengilangan baru miliknya. Persero ini juga masih repot dalam menangani distribusi dan kelangsungan pemasokan BBM untuk kebutuhan lokal. Jadi, bisa dipahami, Pertamina belum bisa memanfaatkan pasar baru di Jepang - sementara itu, dalam jangka tiga tahun, berkurangnya kapasitas pengilangan minyak di Jepang sebesar 20% jelas bakal menciutkan konsumsi minyak dari sini. Sudah sejak tiga tahun lalu sesungguhnya pengurangan kapasitas itu diusahakan, ketika MITI mulai menyetujui penutupan dua kilang berkapasitas total 970 ribu barel. Sektor industri jasa ini oleh MITI, tampaknya sudah dianggap harus ditinggalkan Jepang apalagi mengingat negeri itu tidak mempunyai sumber minyak sendiri. Pertumbuhan ekonomi Jepang di masa depan, agaknya, akan bersandar pada industri teknologi tinggi -- yang bebas asap dan tidak berisik. EH Laporan Saiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus