Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERSEMBUNYI di balik pagar setinggi dua meter, bangunan dua lantai di Jalan Pasteur Nomor 6 Bandung itu terlihat sepi. Seakan tanpa penghuni. Tidak terlihat aktivitas apa pun. Padahal, dari bangunan sepi itu aparat pajak berharap bisa menambang penerimaan pajak triliunan rupiah.
Bangunan bercat abu-abu itu merupakan saksi bisu rencana pembangunan pembangkit listrik raksasa lebih dari 10 tahun silam. Di gedung inilah Karaha Bodas Company LLC, yang berbadan hukum Cayman Islands, pernah bermarkas. KBC itulah pengendali proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Karaha Bodas di Garut, Jawa Barat, berkekuatan 210 megawatt. Proyek kerja sama dengan investasi sekitar US$ 264 juta itu ditandatangani KBC dan Pertamina pada Desember 1994.
Situasi berubah total saat krisis moneter datang. Atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), pada September 1997, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tentang penghentian beberapa proyek pemerintah. Karaha Bodas ikut masuk daftar. Keputusan itu sempat dibatalkan pada November 1997, namun proyek kembali mandek setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 5 pada Januari 1998.
Merasa kontrak dilanggar, KBC pun meradang. Mereka menggugat Pertamina melalui pengadilan arbitrase internasional di Jenewa, Swiss, setelah 21 bulan sejak keputusan penghentian dikeluarkan. Pada Desember 2000, pengadilan arbitrase memenangkan KBC. Pertamina diperintahkan membayar ganti rugi sebesar US$ 261 juta kepada KBC. Pemegang saham KBC adalah Caithness Energy, Florida Power & Light, Tomen Corp., dan PT Sumarah Dayasakti sebagai mitra lokal.
Putusan arbitrase itu kemudian diperkuat oleh pengadilan AS, di tingkat distrik, banding, dan hingga Mahkamah Agung AS pada awal Oktober tahun lalu. Jika menolak membayar ganti rugi, aset-aset Pertamina senilai US$ 300 juta di Bank of America dan Bank of New akan dibekukan. Ironisnya, karena memperhitungkan bunga 4 persen per tahun, klaim ganti rugi itu terus membengkak. Angka terakhir diperkirakan US$ 315 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun.
Kekalahan beruntun di pengadilan luar negeri serta ancaman beban bagi negara yang begitu besar, tentu saja menuai kecaman publik domestik. Apalagi disinyalir banyak kejanggalan di balik proyek besar ini. Antara lain, ditemukan mark up biaya senilai Rp 50 miliar oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan yang melakukan audit.
Kasus ini pun semakin menarik perhatian karena sejumlah nama besar dikait-kaitkan dengan proyek ini. Menantu mantan wakil presiden Sudharmono, Loedito Setyawan, adalah salah satunya. Dia ketika itu menjabat Presiden Direktur PT Sumarah Dayasakti. Selain Loedito, ada Purnomo Yusgiantoro yang sekarang menjabat Menteri Energi. Dia pernah menjadi konsultan PT Sumarah untuk proyek ini pada 1989. Selanjutnya, pada 1994 Purnomo pernah menjadi penasihat Menteri Pertambangan dan Energi yang turut berperan dalam menentukan harga jual listrik.
Purnomo menolak anggapan dirinya terlibat konflik kepentingan dalam proyek Karaha. Saat menjadi konsultan Sumarah, Purnomo mengaku dirinya adalah orang swasta. Ketika masuk birokrasi, Purnomo merasa telah mengikuti aturan yang berlaku. ”Soal harga listrik ditentukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi,” ujarnya (lihat Tempo edisi 12 Desember 2004)
Sejauh ini, proses penyidikan dugaan korupsi oleh aparat hukum terkesan tak banyak kemajuan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah melakukan gelar perkara atas kasus ini pada akhir 2004. ”Tidak ada tindak lanjut. Waktu itu kami hanya membantu polisi,” Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas pekan lalu. Artinya, aparat hukum Indonesia belum pernah membuktikan ada korupsi di sana. Karena itu, posisi Pertamina lemah, walaupun BUMN itu berusaha keras tidak membayar klaim.
Kantor Pajak juga enggan membayar klaim. Tak lama setelah Mahkamah Agung AS mengetukkan palu pada awal Oktober lalu, Dirjen Pajak Darmin Nasution langsung mengirimkan surat ke pengadilan distrik New York agar tidak membekukan aset Pertamina. Alasannya, KBC belum membayar pajak ke pemerintah Indonesia senilai Rp 30 miliar dan US$ 254 juta. Jumlah itu merupakan akumulasi utang pajak sejak 1998. Yang ditunggak adalah pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 30 persen atas penghasilan senilai US$ 261 juta.
Bukan sekadar menunggak, hasil investigasi tim pemeriksa pajak menunjukkan bahwa KBC terlibat dalam tindak kejahatan perpajakan di Indonesia. Surat teguran, surat paksa, hingga penagihan sudah berulang kali disampaikan sejak 1998 hingga 2004 kepada KBC. Namun wajib pajak badan usaha tetap ini tidak diketahui batang hidungnya lagi. ”Kami tak pernah menemukan orang atau pengurus KBC,” ujar Direktur Pemeriksaan Pajak Amri Zaman pekan lalu.
Pajak pertambahan nilai (PPN) yang bisa dihimpun hanya dari Loedito S. Poerbowasi saja sebesar Rp 1,2 miliar. Salah satu pemegang saham KBC ini menyetorkan pajak ke pemerintah setelah disandera oleh Ditjen Pajak pada November 2004. Loedito diharapkan membantu pemerintah untuk menagih pajak kepada para pemegang saham lainnya. Namun, karena dia bukan pengendali, dia tidak bisa mendesak KBC melunasi pajaknya. ”Pemegang saham lokal tidak dipedulikan oleh pengendali,” kata Amri.
Pengiriman surat ke pengadilan AS adalah upaya terakhir yang dilakukan oleh Ditjen Pajak. Menurut Darmin Nasution, pengiriman surat itu merupakan tindakan hukum yang diambil Ditjen Pajak agar pengadilan di AS mengetahui status pajak KBC. Sayangnya, sudah empat bulan berjalan, tidak ada tanggapan dari pengadilan AS. ”Langkah ini sudah maksimal,” kata Darmin.
Sesungguhnya, Ditjen Pajak juga sudah meminta bantuan Internal Revenue Services (IRS), semacam kantor pajak di AS, untuk mengejar kewajiban pajak KBC. Namun, IRS tidak bisa membantu karena KBC berbadan hukum di Cayman Islands. Yang tinggal di AS hanya pimpinan KBC, Robert D. McCutchen. ”Kami tidak bisa menjangkau Cayman Islands karena tidak ada kerja sama perpajakan,” kata Amri Zaman.
Bila Ditjen Pajak tak mungkin menjangkau kepulauan dekat negara Kuba itu, tidak demikian dengan Pertamina. Perusahaan negara ini sudah mengajukan gugatan ke pengadilan di Cayman Islands tak lama setelah putusan Mahkamah Agung AS keluar. Langkah ini dilakukan, menurut juru bicara Pertamina Toharso, karena ada bukti-bukti baru penyimpangan KBC. ”Kami harap pada Maret nanti pengadilan Cayman Islands memutuskan Pertamina tak perlu bayar ke KBC dan aset Pertamina juga tidak dibekukan.”
Berkaca pada kekalahan beruntun Pertamina baik di arbitrase, serta di pengadilan AS, juga di Hong Kong dan Singapura, sulit berharap ada keajaiban dari Cayman Islands. Seandainya mengalami kekalahan lagi di kepulauan teritori Inggris itu, Pertamina sudah bertekad tak mau ambil risiko. ”Kalau aset-aset kami di luar negeri disita, Pertamina sulit beroperasi di luar negeri,” kata Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno, akhir Januari lalu.
Untuk itulah dia sudah menganggarkan dana dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan 2006 dan 2007 untuk pembayaran klaim sekitar US$ 315 juta. ”Kami siap membayar,” kata Ari.
Keajaiban sulit muncul dari kepulauan di sebelah barat Laut Karibia itu. Sama sulitnya dengan berharap pengadilan di sini membongkar dugaan korupsi di Karaha Bodas.
Heri Susanto, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Nama Besar di Balik Karaha
Sengketa pembangkit listrik tenaga panas bumi Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat, menyisakan beban yang terus membesar bagi Pertamina. Proyek itu juga menyembulkan nama-nama besar yang pernah berperan di balik proyek kontroversial ini.
Dokumen yang dimiliki Tempo memperlihatkan siapa mereka. Ada anak dan menantu mantan wakil presiden Sudharmono, yakni Tantyo A.P. Sudharmono dan Loedito S. Poerbowasi. Keduanya adalah pejabat di PT Manggala Pratama yang punya pautan dengan PT Sumarah Dayasakti, pemegang saham KBC. Sejumlah nama lainnya muncul di beberapa perusahaan yang saling bertalian.
Tokoh penting lain yang juga muncul adalah Purnomo Yusgiantoro, yang sekarang menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam kasus Karaha, Purnomo pernah menjadi konsultan PT Manggala Pratama hingga menjadi penasihat Menteri Energi dan Ketua Tim Pelaksana Panas Bumi Departemen Energi. Namun, dalam berbagai kesempatan sebelumnya Purnomo meyakinkan bahwa dirinya tidak terkait konflik kepentingan dengan proyek tersebut.
23 Agustus 1991 Power Design Build Group dari Selandia Baru berminat menjalin kerja sama dengan PT Manggala Pratama untuk mengoperasikan proyek Karaha. Purnomo saat itu menjadi konsultan di PT Manggala.
20 Agustus 1993 Dalam surat yang dikirim Mohamad Bawazeer (Direktur PT Sumarah Dayasakti) kepada Mariati Heliarto, Purnomo memberikan tanda persetujuan atas draf nota kesepahaman (MoU) proyek Karaha.
18 Oktober 1994 Presdir Sumarah Dayasakti Mariati Heliarto mengirimkan surat penawaran harga listrik atas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Karaha kepada Purnomo selaku Ketua Tim Pelaksana Panas Bumi Departemen Energi.
15 November 1994 Loedito S. Poerbowasi dan Robert E. Tucker dari KBC dalam suratnya kepada Purnomo sebagai penasihat Menteri Energi menyetujui kontrak penjualan dengan PLN. Purnomo menyetujui dan menerima isi surat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo