Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Long Road to Heaven Pemain: Raelee Hill, Mirrah Foulkes, Alex Komang, Joshua Pandelaki, Surya Saputra Skenario: Wong Wai Leng, Andy Logam-Tan Sutradara: Enison Sinaro Produksi: PT Kalyana Shira Film
Bali, di tahun 2002, tiba-tiba mengubah persepsi dunia. Dari sebuah surga dunia menjadi tempat yang dicurigai sebagai tempat merancang dendam dan menyelenggarakan kesumat.
Untuk mengangkat tragedi berdarah Oktober 2002 di Bali itu—terutama jika berambisi mengangkat sosok nyata seperti Hambali, Muchlas, Imam Samudra, Amrozi, Ali Imron, yang masih hidup di dalam benak penonton—tidak hanya membutuhkan duit, keahlian, dan keinginan, tapi juga suatu kesabaran, ketakziman, dan keuletan dalam menyelenggarakan riset yang serius.
Meski sineasnya bolak balik menyatakan ini film fiksi, tentu saja penonton paham bahwa ini adalah sebuah kisah fiksi berdasarkan kisah nyata dengan mengangkat sosok nyata (yang diperankan para aktor). Film Long Road to Heaven adalah sebuah tafsir sinema terhadap rekonstruksi sebuah peristiwa nyata. Sebagai sebuah tafsir, maka kenyataan yang disuguhkan bukanlah kenyataan obyektif, melainkan kenyataan subyektif milik sang sutradara, produser, dan timnya. Mereka mengaku telah mengumpulkan pelbagai dokumen, mempelajari kliping media cetak dan internet, dan memburu film dokumenter tragedi bom Bali yang pernah dibuat oleh Discovery Channel dan National Geographic.
Fakta yang benar-benar terjadi adalah ini: pengeboman pada 12 Oktober 2002 dengan korban tewas 202 orang, 209 terluka, 88 orang di antaranya warga Australia. Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman mati kepada Muchlas, Imam Samudra, dan Amrozi, sementara Ali Imron divonis seumur hidup. Dr Azahari, yang sekian tahun diburu, mati dalam baku tembak di Malang pada November 2005. Lalu, Hambali, yang diduga punya kaitan dengan jaringan Muchlas itu, ditangkap di Thailand dan ditahan di penjara Guantanamo.
Di atas potongan-potongan fakta itu, film berbiaya delapan miliar rupiah ini membangun cerita dari empat sudut pandang. Pertama, dari Hannah Catrelle (Mirrah Foulkes), warga asing yang menjadi relawan korban di rumah sakit dan bertemu dengan Haji Ismail (Joshua Pandelaki), tokoh muslim yang disegani di Bali. Dari pertemuan itu, Hannah memahami tak semua muslim menyetujui jalan pendek menuju surga.
Kedua, dari kisah Liz Thompson (Raelee Hill), reporter asing yang tujuh bulan setelah pengeboman mendapat tugas meliput pengadilan Amrozi. Ia bertemu dengan sopir taksi Wayan Diya (Alex Komang), yang kakaknya menjadi korban bom tapi memegang filosofi Bali: tak pernah menyimpan dendam.
Ketiga, dari pelaku pengeboman, yaitu kakak-beradik Amrozi dan Ali Imron. Mereka menentukan titik lokasi ledakan di Sari Club, Kuta. Diawali survei lokasi di Pantai Kuta, mereka melihat pelancong berbikini memamerkan aurat, atau bertabrakan dengan bule mabuk di depan kafe. Melihat itu, Amrozi terusik. Bagi dia, meledakkan bom adalah jalan menuju surga. Semua pelancong mewakili manusia pendosa.
Keempat, berlatar nun di negeri tetangga, Thailand Selatan, pada Februari 2002, enam anggota jaringan kelompok teroris sedang mengatur strategi pengeboman, dipimpin Hambali. Mereka adalah Zulkifli, Wan Min Wan Mat, Dr Azahari, Muchlas atau Ali Gufron (kakak Amrozi), dan Noor Din M. Top.
Dengan menyulam pelbagai sudut pandang itu—keluar-masuk dari satu cerita ke cerita lain berjalan amat mulus—Nia Dinata, produser film ini, berharap dapat menghindari sesuatu yang disebutnya sebagai missing ingredient. ”Film ini harus mampu menggambarkan kesedihan, ketakutan, dan juga bisa menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi pada 12 Oktober itu,” katanya.
Tapi penggambaran kesedihan dan ketakutan di film ini tak cukup tergarap dengan kuat—kecuali sisi emosional Wayan yang semestinya bisa tampil dalam porsi yang lebih. Peledakan bom tak cukup dramatis. Begitu pula dengan orang-orang yang terluka dan berlari panik—kok kayak kekurangan orang, ya? Tokoh Haji Ismail juga jelas mengingatkan pada tokoh asli Haji Bambang, yang berjibaku mengangkut mayat. Di film ini ia punya begitu banyak waktu melayani pertanyaan filosofis Hannah, padahal the real Haji Bambang setiap detik sibuk menjerit memberi perintah dan menggaruk setiap pojok untuk mencari korban. Bagi mereka yang menyaksikan tragedi ini atau meliput peristiwa bom Bali dari dekat, adegan-adegan ini jadi bikin garuk kepala.
Pada cerita teroris, ada problem believability yang parah. Adegan Hambali memimpin rapat lebih mirip sebuah adegan rapat RT. Dan yang terasa hebat betul adalah suasana diskusi yang alot. Muchlas bersikeras memilih Bali sebagai sasaran pengeboman, sementara Hambali memilih Singapura. Muchlas pun mengajukan voting. Suasana rapat kelompok underground yang paternalistik ini digambarkan sungguh demokratis. Really?
Belakangan diketahui, Muchlas memilih Bali setelah bertemu dengan turis asing di hotel tempat pertemuan itu yang kebetulan memakai kaus bertulisan ”I Love Bali”. ”Itulah alasan khas kenape awak memilih Bali,” ucap Muchlas. Sebuah alasan simplistik untuk sebuah perdebatan panjang para pemimpin Jamaah Islamiyah di hotel itu.
Dengan penggambaran seperti itu, film ini justru terasa menjauh dari tujuannya untuk ”bisa menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi”. Penafsiran sutradara Enison Sinaro—debutnya di dalam layer lebar—tentu saja sah. Namun, yang penting bukanlah jenis penafsirannya, melainkan apakah penafsiran sineasnya cukup meyakinkan penontonnya.
Yos Rizal S. dan Evieta Fadjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo