Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA buah surat elektronik muncul di layar komputer sejumlah petinggi Raja Garuda Mas Group, 3 Oktober 2003. Satu surel dikirim oleh Benny Setiawan, Kepala Treasury kelompok usaha milik taipan Sukanto Tanoto ini di Indonesia. Satunya lagi berasal dari Eddy Lukas, Direktur Korporasi Asian Agri Group, kapal induk bisnis terbesar kedua di RGM.
Isi surel ringkas, tapi perbincangan via e-mail itu naga-naganya bakal berbuntut panjang, sebab di situ jelas terlihat niat terencana dari para petinggi RGM untuk membeli aset kredit Koperasi Unit Desa Tuah Sakato dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Padahal, aturan tegas-tegas melarang pemilik lama atau pihak-pihak yang punya hubungan afiliasi dengan pemilik lama untuk ikut tender.
Lebih gawat lagi, dari isi surel yang dikirimkan Eddy Lukas diketahui bahwa upaya pembelian melibatkan orang dalam BPPN. Disebutkan semua informasi tentang pelelangan aset ini diperoleh dari John Makmur.
John, menurut Eddy, adalah mantan karyawan Bank Unibank—juga milik Sukanto—yang saat itu bekerja di BPPN. Berdasarkan informasi John, aset kredit Tuah Sakato yang sebelumnya dimasukkan dalam program penjualan aset secara gelondongan telah dikeluarkan menjadi ketengan.
Eddy pun mengabarkan, program penjualan BPPN itu akan menyertakan Asian Agri dengan cara lazim lewat lelang umum, yang disebutnya formalitas belaka. Untuk pelaksanaannya, BPPN akan membantu menyiapkan semua dokumen, berikut harga lelang, yang ditaksir hanya 10-12 persen dari harga nominal aset. ”Maka, kita (Pak Benny) akan tunjuk seorang agen, yang dapat bertindak untuk kita,” kata Eddy dalam suratnya.
Surat itu juga menyebutkan untuk menyukseskan pelaksanaannya, akan dinegosiasikan biaya komisi. Namun, tidak jelas komisi ini untuk siapa. Hanya diterangkan indikasi biaya komisi yang diminta sebesar 3 persen.
Yang juga menarik, Eddy mengindikasikan pembelian balik aset-aset RGM bukan sekali itu saja terjadi. Dalam rangka mempersiapkan negosiasi, ia meminta persetujuan dan bantuan kepada tiga petinggi RGM: Johannes Tjandra, Benny Setiawan, dan Bonar. ”Untuk memberikan beberapa indikasi berdasarkan pengalaman yang lalu,” katanya.
Pengalaman lalu? Ya, menurut sumber Tempo, diduga ini berkaitan dengan pembelian balik aset kredit macet RGM dalam kelompok usaha Riau Complex (terdiri dari PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Riau Andalan Kertas, dan PT Riau Prima Energi), yang sudah lama diributkan orang. Utang macet Riau Complex itu di BPPN tercatat sekitar Rp 2,2 triliun.
Adapun ketiga orang yang dimintai saran tadi merupakan orang-orang kepercayaan Sukanto. Benny menjabat Kepala Treasury RGM di Indonesia, sedangkan Johannes dipercaya sebagai Kepala Treasury seluruh RGM Group yang berkedudukan di Singapura. Dialah yang menyiapkan semua laporan keuangan RGM untuk Sukanto.
Namun, di antara ketiga ”petinggi” itu, Bonar tergolong paling senior. Ia mendampingi Sukanto sejak RGM berdiri. Karena itu, hampir semua urusan penting meminta persetujuan dan saran darinya. ”Kalau dia oke, Pak Sukanto biasanya juga oke,” kata sumber tadi.
Begitulah, pembelian aset RGM dari BPPN tampaknya direncanakan dengan rapi jali. Untuk pembelian kredit Tuah Sakato, RGM melakukannya lewat PT Asia Nusa Prima, yang kemudian diwakili oleh PT Trust Securities.
Seperti telah diberitakan, aset kredit ini berawal dari kucuran pinjaman Rp 9,7 miliar dari Unibank kepada KUD Tuah Sakato. Kredit dikucurkan atas jaminan PT Inti Indosawit Subur, anak perusahaan Asian Agri.
Belakangan, aset kredit itu berpindah ke brankas BPPN setelah Unibank dibekukan pemerintah pada 2001. Aset ini kemudian dilelang BPPN melalui Program Penjualan Aset Kredit tahap V pada November 2003 dan dibeli Asia Nusa Prima seharga Rp 1,45 miliar atau hanya 15 persen dari harga nominalnya Rp 9,7 miliar (lihat Tempo, 15 Januari 2006).
Dalam penjelasan tertulis yang dikirimkan kepada Tempo pada 12 Januari lalu, Eddy mengakui Asia Nusa Prima merupakan salah satu unit usaha Asian Agri. Ia juga menjelaskan, kucuran kredit kepada KUD Tuah Sakato itu berkaitan dengan program pemerintah melalui Bank Indonesia pada akhir 1990-an dalam upaya meningkatkan usaha kecil dan menengah, termasuk KUD.
Program kredit ini, kata Eddy, hanya dapat disalurkan oleh bank-bank yang ditunjuk bank sentral. Itu pun jika pembina UKM atau KUD tersebut bersedia bertindak sebagai avalis atau penjamin. Dalam hal KUD Tuah Sakato, ”sang bapak angkat” ini adalah Asian Agri. Perusahaan inilah yang bakal menanggung risiko jika UKM/KUD binaannya gagal mengembangkan kebun kelapa sawitnya.
Eddy tak menampik adanya pembahasan rencana pembelian kredit Tuah Sakato. Kredit itu, kata dia, pernah ditawarkan kepada Asian Agri. ”Namun, Asian Agri memutuskan tidak melakukan pembelian,” ujarnya. Alasannya, ada risiko besar yang mungkin timbul di kemudian hari.
Melihat bukti-bukti yang ada, penjelasan Eddy tampaknya rada sumir. Dalam surat Deputi Ketua BPPN Junianto Tri Prijono pada 17 November 2003 jelas disebutkan bahwa Trust Securities keluar sebagai pemenang tender. Keesokan harinya, Trust pun langsung menyurati Asia Nusa Prima.
Dalam suratnya, Direktur Utama Trust, Benny, bahkan meminta transfer sisa pembayaran dari Asia Nusa. Di situ disebutkan dari nilai pembelian Rp 1,45 miliar, baru Rp 1 miliar yang disetorkan ke BPPN pada 13 November dalam bentuk security deposit. Sisanya, Rp 455,7 juta, harus dilunasi pada 11 Desember 2003.
Jika ditelusuri, menurut sumber Tempo, uang deposit dan pelunasan sisa pembayaran itu berasal dari Indosawit. Sehari sebelum deposit disetorkan Trust, Indosawit menyetorkan uang ke rekening Haryanto Wisastra dan Eddy Lukas (HAREL) di Bank Permata—keduanya adalah orang kepercayaan Sukanto Tanoto. Keesokan harinya barulah uang dialirkan dari rekening HAREL ke Trust.
Hal serupa dilakukan untuk pelunasan sisa pembayaran. Pada 4 Desember, Indosawit menyetorkan duit Rp 455,7 juta ke rekening HAREL untuk kemudian diteruskan ke Trust pada 11 Desember. Semua ini tercatat dalam buku harian bank HAREL.
Jadi, mana yang benar? Semua memang masih samar. Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini masih menelisiknya. Junianto sendiri tampaknya ogah dimintai keterangan. ”Sudah lama sekali, saya lupa. Sorry deh,” ujarnya.
Mantan Deputi Ketua BPPN bidang Asset Management Credit, Mohammad Syahrial, pun mengaku tak ingat persis. Namun, kata dia, terhadap setiap penawar aset dilakukan penelitian secara ketat, termasuk ada-tidaknya keterkaitan dengan pemilik lama.
Meski begitu, jika di kemudian hari terbukti pihak pembeli terkait dengan pemilik lama, perjanjian transaksi otomatis batal. Namun, uang yang sudah dibayarkan ke BPPN hangus. ”Kami punya persyaratan kunci itu,” kata Syahrial. Selain itu, jika terbukti ada pejabat BPPN yang ”bermain” dalam proses tender, ”Akan kami tindak,” ujarnya, ”tapi, buktikan dulu di pengadilan.”
Bagian terakhir inilah yang paling sulit dilakukan.
Metta Dharmasaputra, Danto
Kembali ke Pangkuan Raja Garuda
3 OKTOBER 2003: Direktur Asian Agri Eddy Lukas mengirimkan surat elektronik kepada para petinggi Asian Agri dan RGM tentang rencana pembelian kredit KUD Tuah Sakato dari BPPN.
10 NOVEMBER: Penandatanganan surat penunjukan Trust Securities oleh Asia Nusa Prima untuk pembelian kredit Tuah Sakato.
12 NOVEMBER: PT Inti Indosawit Subur menyetorkan Rp 1 miliar ke rekening Haryanto Wisastra dan Eddy Lukas (HAREL) di Bank Permata untuk deposit pembelian kredit.
13 NOVEMBER: Uang deposit Rp 1 miliar dari rekening HAREL ditransfer ke Trust Securities untuk kemudian disetorkan ke BPPN.
17 NOVEMBER: Deputi Ketua BPPN Junianto Tri Prijono menyampaikan surat kepada Trust Securities, pemenang tender pembelian kredit Tuah Sakato
18 NOVEMBER: Trust Securities mengirim surat ke Asia Nusa Prima soal pelunasan pembelian aset.
4 DESEMBER: Indosawit mentransfer sisa pelunasan pembelian aset Rp 455,7 juta ke rekening HAREL.
11 DESEMBER: Dari rekening HAREL dana diteruskan ke Trust Securities untuk sisa pelunasan pembelian kredit Tuah Sakato.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo