DARI buku Rancangan Rencana Pembangunan Lima Tahun III kelihatan
bahwa Indonesia memandang ekonomi dunia dengan penuh was-was.
Para perencana ekonomi negeri ini menyadari ketidak pastian
ekonomi dunia, hingga sasaran yang ditetapkan pada Kepelita III
tidak terasa ambisius, tapi realistis dan hati-hati. Laju
kecepatan pertumbuhan ekonomi akan lebih lambat menjadi 6,5%
setiap tahun selama lima tahun mendatang, sekalipun angka
pertumbuhan sebesar ini merupakan satu kemewahan bagi
negara-negara industri saat ini, kecuali bagi Jepang dan Jerman
Barat.
Investasi diharapkan akan terus bertambah selama Repelita III,
hingga kalau selama ini jumlah investasi merupakan 20% dari
Produksi Domestik Bruto (PDB), maka pada akhir Repelita III,
jumlah ini diperkirakan menjadi hampir 25% dari PDB atau Rp 11,1
triliun pada harga yang berlaku pada 1983/1984.
Pada buku Repelita III tidak tercantum perkiraan indeks inflasi
yang diharapkan. Tapi disebutkan nilai riil investasi pada tahun
terakhir itu adalah Rp 7,8 triliun. Artinya, indeks deflatoir
sebesar 0,699, atau indeks inflasi adalah 143 pada 1983/84,
kalau patokan indeks harga 1978/79 diambil 100. Dari sini dapat
dihitung inflasi yang diperkirakan pemerintah adalah sekitar
8,6% setiap tahun selama Repelita III, satu tingkat yang lebih
rendah dari lima tahun sebelumnya. Ini mungkin satu sasaran yang
tidak sulit untuk dicapai mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi
yang lebih pelan.
Peranan investasi pemerintah diperkirakan turun dari 32%
sekarang ini menjadi 27,9% dari jumlah investasi seluruhnya pada
akhir Repelita, sedangkan bagian investasi swasta nasional
diperkirakan naik dari 47% menjadi 51% dalam waktu yang sama.
Dana investasi luar negeri, baik dalam bentuk pinjaman resmi
pemerintah maupun swasta asing, diharapkan tetap menyumbang 20%
dari seluruh investasi. Dari sini terlihat akan adanya komitmen
pemerintah untuk terus memberi rangsangan bagi penanaman modal.
Namun demikian investasi akan diarahkan pada sektor-sektor yang
mendorong pertumbuhan ekonomi dan yang sekaligus menambah
perluasan kesempatan kerja. Keprihatinan terhadap perluasan
kesempatan kerja ini bisa dimengerti mengingat selama Repelita
III nanti diperkirakan 6,4 juta tenaga kerja akan memasuki
pasaran. Dewasa ini sekitar 30-40% tenaga kerja di desa dan 20%
buruh di kota masih menganggur atau tak kerja penuh. Masalah ini
menjadi lebih gawat lagi kalau diingat pada 1984 nanti, 60%
penduduk Indonesia yang akan berjumlah 151 juta itu, akan
berumur di bawah 30 tahun.
Pacuan
Setiap sektor ekonomi akan tumbuh dengan kecepatan berbeda. Tapi
industri yang tumbuh 11% setiap tahun merupakan sektor yang
paling cepat pertumbuhannya diikuti sektor pengangkutan dan
komunikasi dengan 10% tiap tahun. Sekalipun sektor pertanian
sebagai bagian PDB nantinya turun dari 31% menjadi 27% pada
1983/84, sektor tersebut masih merupakan sektor yang dominan
pada perekonomian Indonesia, hingga sebenarnya, selama lima
tahun nanti tak akan terjadi perobahan strukturil secara berarti
pada ekonomi Indonesia. Bahkan dalam akhir Repelita III nanti
kedudukan sektor pertambangan masih di atas sektor industri.
Maka sekalipun industrialisasi di Indonesia sudah berlangsung
cepat selama dekade terakhir ini, tapi lima tahun lagi ekonomi
Indonesia masih tetap merupakan ekonomi pertanian dan
ekstraktif.
Yang mengharapkan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun bisa
melepaskan ketergantungannya dari hasil minyak, tentunya akan
kecewa. Dalam Repelita III dapat dilihat dari Rp 34,2 triliun
penerimaan dalam negeri, penerimaan minyak diperkirakan
berjumlah Rp 19,8 triliun, atau 58%. Artinya malah meningkat
dari 54,5% selama Repelita II.
Hal ini menunjukkan betapa masih sulitnya bagi pemerintah untuk
menggali sumber penerimaan di luar minyak. Di luar minyak,
pungutan pajak perseroan, pajak pendapatan dan pajak tak
langsung masih tetap belum memadai, betapa pun Ditjen Pajak
meningkatkan kegiatannya.
Peranan minyak yang masih dominan ini juga terlihat pada
proyeksi neraca pembayaran, dimana ekspor minyak netto
diperkirakan akan merupakan 45% dari seluruh penerimaan ekspor
yang akan berjumlah US$ 14 milyar pada 1983/84. (lihat grafik
I). Sebaliknya produksi minyak sendiri tak banyak berobah pada
dua tahun pertama Repelita, pada 1981 bahkan diperkirakan turun
menjadi 1,51 juta barrel sehari dari 1,63 juta barrel sehari
yang dicapai pada 1978.
Tapi meningkatnya kegiatan eksplorasi akhir-akhir ini akan
membuahkan hasil pada 1983/84, dengan perkiraan dicapainya
produksi 1,83 juta barrel sehari. Pertamina sendiri dengan
perkiraan ongkos eksplorasi dan produksi US$ 5-7 per barrel,
akan melakukan investasi sebesar US$ 17,6 milyar selama lima
tahun mendatang. Tapi dengan jumlah investasi sebesar ini pun,
Pertamina seperti dikatakan Direktur Utamanya Piet Harjono:
"belum bicara tentang kenaikan produksi," tapi "sekedar untuk
mempertahankan tingkat produksi."
Alhasil, nyatalah kenaikan ekspor minyak sebagian besar tidak
akan berasal dari volume ekspor tapi berasal dari kenaikan harga
yang diharapkan Indonesia akan berlangsung setiap tahun. Tapi
ini justru yang sulit terjadi, karena harga minyak sendiri,
sudah naik dengan 14,5% pada 1979, di samping produksi minyak
dunia sementara itu juga akan meningkat.
Saingan minyak dari RRC bukan tak disadari Indonesia, terutama
dalam menarik perusahaan minyak asing. Seperti dikatakan Piet
Harjono "Indonesia mesti berani berpacu dengan RRC dalam menarik
perusahaan minyak." Masih harus dilihat apakah pernyataan Piet
ini berarti Indonesia akan lebih banyak memberi perangsang,
kepada para kontraktor minyak asing. Yang jelas dalam lima tahun
mendatang situasi minyak akan banyak berobah. Bukan saja minyak
RRC akan meningkat, tapi dengan penemuan cadangan oleh Meksiko
sebesar 200 milyar barrel, Meksiko akan menjadi salah satu
raksasa minyak di samping Arab Saudi. Dalam 6 tahun, Meksiko
diperkirakan akan merupakan negara penjual minyak terbesar di
AS. Ini bisa mengancam kedudukan minyak Indonesia di pasaran
Amerika dengan segala akibatnya.
Lepas Landas
Selama Pelita II surplus neraca pembayaran berjumlah US$ 700
juta. Dan selama Repelita III surplus ini diperkirakan bakal
naik menjadi US$ 1930 juta. Kalau cadangan devisa pada Maret
1979 nanti diperkirakan US$ 2687 juta, maka cadangan devisa pada
akhir Repelita III akan mencapai US$ 4617 juta.
Sekilas memang merupakan angka cadangan devisa yang mengesankan.
Tapi kalau dilihat keperluan impor pada tahun itu, maka cadangan
devisa sebesar ini hanya cukup untuk impor 4 bulan saja, yang
berarti sama keadaannya dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini
disebabkan karena hasil ekspor ternyata belum cukup untuk
menutupi keperluan impor dan jasa-jasa luar negeri. Ini terlihat
dengan melonjaknya defisit pada transaksi berjalan dari US$ 1424
juta selama 1979/80 menjadi US$ 2359 juta selama 1983/84.
Mulai tahun ketiga Repelita III, ekspor di luar minyak untuk
pertama kalinya akan lebih besar dari ekspor minyak netto, dan
untuk seluruh tahun rencana, jumlahnya diperkirakan naik 90%
menjadi US$ 7680 juta. Ekspor di luar minyak ini diharapkan akan
mengalami diversivikasi yang lumayan, pada saat ekspor bahan
non-tradisionil mulai lepa landas.
Ekspor hasil tambang di luar minyak akan merupakan 19% dari
seluruh ekspor dibanding 15% sekarang ini. Ini karena Indonesia
sebentar lagi akan mulai mengekspor nikkel, alumina dan
aluminium. Ekspor hasil industri akan melonjak terutama karena
meningkatnya ekspor semen dan pupuk, dua komoditi yang merupakan
tulang punggung industri Indonesia dewasa ini. Bagian ekspor
industri termasuk bahan non-tradisionil akan naik dari 8,3%
menjadi 14,6%.
Dalam proyeksi neraca pembayaran Repelita III, pinjaman
pemerintah dari luar negeri akan menjadi US$ 15,3 milyar untuk
seluruh tahun rencana. Selama Repelita II jumlah seluruh
pinjaman luar negeri baru mencapai US$ 8,9 milyar. Karena
sebagian besar pinjaman ini berasal dari IGGI, yang menjadi
pertanyaan adalah: Mampukah IGGI menyediakan pinjaman tambahan
US$15 milyar kepada Indonesia dalam lima tahun mendatang ini?
Pertanyaan ini penting mengingat negara-negara industri sendiri
kini masih mengalami kesulitan ekonomi.
Kalau saja suatu saat negara kreditor yang tergabung dalam IGGI
berobah sikap, dan tak ramah lagi terhadap setiap permintaan
tambahan pinjaman Indonesia, maka Indonesia akan terpaksa
mencari pinjaman di pasar uang, baik meminjam langsung dari
bank-bank swasta luar negeri atau lebih banyak mengeluarkan
obligasi. Tapi pinjaman seperti ini tentunya akan berisi syarat
yang kurang lunak dibanding pinjaman dari IGGI. Peranan pinjaman
luar negeri yang makin kritis ini bisa dilihat begini: Kalau
selama Repelita II, pinjaman luar negeri mewakili 35% dari
seluruh anggaran pembangunan, maka selama Repelita III, pinjaman
luar negeri diperkirakan naik menjadi 45% dana pembangunan.
Konsekwensinya adalah pembayaran kembali hutang luar negeri juga
meningkat. Dan ini terutama akan terasa pada tahun-tahun
terakhir Repelita III. Kalau selama Repelita II, jumlah
pengembalian pinjaman luar negeri pemerintah baru mencapai US$
1,6 milyar, maka jumlah hutang luar negeri yang harus dilunasi
pemerintah selama Repelita III, akan melonjak menjadi US$ 4,5
milyar. (lihat grafik II),
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini