Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berkat Berkah Minyak Dan Kreditor

Dari Rp 34,2 triliun penerimaan dalam negeri pada repelita III, penerimaan minyak diperkirakan Rp 19,8 trilyun atau 58%. Dalam proyeksi neraca pembayaran, pinjaman pemerintah dari luar negeri US$ 15,3 milyar. (eb)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI buku Rancangan Rencana Pembangunan Lima Tahun III kelihatan bahwa Indonesia memandang ekonomi dunia dengan penuh was-was. Para perencana ekonomi negeri ini menyadari ketidak pastian ekonomi dunia, hingga sasaran yang ditetapkan pada Kepelita III tidak terasa ambisius, tapi realistis dan hati-hati. Laju kecepatan pertumbuhan ekonomi akan lebih lambat menjadi 6,5% setiap tahun selama lima tahun mendatang, sekalipun angka pertumbuhan sebesar ini merupakan satu kemewahan bagi negara-negara industri saat ini, kecuali bagi Jepang dan Jerman Barat. Investasi diharapkan akan terus bertambah selama Repelita III, hingga kalau selama ini jumlah investasi merupakan 20% dari Produksi Domestik Bruto (PDB), maka pada akhir Repelita III, jumlah ini diperkirakan menjadi hampir 25% dari PDB atau Rp 11,1 triliun pada harga yang berlaku pada 1983/1984. Pada buku Repelita III tidak tercantum perkiraan indeks inflasi yang diharapkan. Tapi disebutkan nilai riil investasi pada tahun terakhir itu adalah Rp 7,8 triliun. Artinya, indeks deflatoir sebesar 0,699, atau indeks inflasi adalah 143 pada 1983/84, kalau patokan indeks harga 1978/79 diambil 100. Dari sini dapat dihitung inflasi yang diperkirakan pemerintah adalah sekitar 8,6% setiap tahun selama Repelita III, satu tingkat yang lebih rendah dari lima tahun sebelumnya. Ini mungkin satu sasaran yang tidak sulit untuk dicapai mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih pelan. Peranan investasi pemerintah diperkirakan turun dari 32% sekarang ini menjadi 27,9% dari jumlah investasi seluruhnya pada akhir Repelita, sedangkan bagian investasi swasta nasional diperkirakan naik dari 47% menjadi 51% dalam waktu yang sama. Dana investasi luar negeri, baik dalam bentuk pinjaman resmi pemerintah maupun swasta asing, diharapkan tetap menyumbang 20% dari seluruh investasi. Dari sini terlihat akan adanya komitmen pemerintah untuk terus memberi rangsangan bagi penanaman modal. Namun demikian investasi akan diarahkan pada sektor-sektor yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan yang sekaligus menambah perluasan kesempatan kerja. Keprihatinan terhadap perluasan kesempatan kerja ini bisa dimengerti mengingat selama Repelita III nanti diperkirakan 6,4 juta tenaga kerja akan memasuki pasaran. Dewasa ini sekitar 30-40% tenaga kerja di desa dan 20% buruh di kota masih menganggur atau tak kerja penuh. Masalah ini menjadi lebih gawat lagi kalau diingat pada 1984 nanti, 60% penduduk Indonesia yang akan berjumlah 151 juta itu, akan berumur di bawah 30 tahun. Pacuan Setiap sektor ekonomi akan tumbuh dengan kecepatan berbeda. Tapi industri yang tumbuh 11% setiap tahun merupakan sektor yang paling cepat pertumbuhannya diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi dengan 10% tiap tahun. Sekalipun sektor pertanian sebagai bagian PDB nantinya turun dari 31% menjadi 27% pada 1983/84, sektor tersebut masih merupakan sektor yang dominan pada perekonomian Indonesia, hingga sebenarnya, selama lima tahun nanti tak akan terjadi perobahan strukturil secara berarti pada ekonomi Indonesia. Bahkan dalam akhir Repelita III nanti kedudukan sektor pertambangan masih di atas sektor industri. Maka sekalipun industrialisasi di Indonesia sudah berlangsung cepat selama dekade terakhir ini, tapi lima tahun lagi ekonomi Indonesia masih tetap merupakan ekonomi pertanian dan ekstraktif. Yang mengharapkan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun bisa melepaskan ketergantungannya dari hasil minyak, tentunya akan kecewa. Dalam Repelita III dapat dilihat dari Rp 34,2 triliun penerimaan dalam negeri, penerimaan minyak diperkirakan berjumlah Rp 19,8 triliun, atau 58%. Artinya malah meningkat dari 54,5% selama Repelita II. Hal ini menunjukkan betapa masih sulitnya bagi pemerintah untuk menggali sumber penerimaan di luar minyak. Di luar minyak, pungutan pajak perseroan, pajak pendapatan dan pajak tak langsung masih tetap belum memadai, betapa pun Ditjen Pajak meningkatkan kegiatannya. Peranan minyak yang masih dominan ini juga terlihat pada proyeksi neraca pembayaran, dimana ekspor minyak netto diperkirakan akan merupakan 45% dari seluruh penerimaan ekspor yang akan berjumlah US$ 14 milyar pada 1983/84. (lihat grafik I). Sebaliknya produksi minyak sendiri tak banyak berobah pada dua tahun pertama Repelita, pada 1981 bahkan diperkirakan turun menjadi 1,51 juta barrel sehari dari 1,63 juta barrel sehari yang dicapai pada 1978. Tapi meningkatnya kegiatan eksplorasi akhir-akhir ini akan membuahkan hasil pada 1983/84, dengan perkiraan dicapainya produksi 1,83 juta barrel sehari. Pertamina sendiri dengan perkiraan ongkos eksplorasi dan produksi US$ 5-7 per barrel, akan melakukan investasi sebesar US$ 17,6 milyar selama lima tahun mendatang. Tapi dengan jumlah investasi sebesar ini pun, Pertamina seperti dikatakan Direktur Utamanya Piet Harjono: "belum bicara tentang kenaikan produksi," tapi "sekedar untuk mempertahankan tingkat produksi." Alhasil, nyatalah kenaikan ekspor minyak sebagian besar tidak akan berasal dari volume ekspor tapi berasal dari kenaikan harga yang diharapkan Indonesia akan berlangsung setiap tahun. Tapi ini justru yang sulit terjadi, karena harga minyak sendiri, sudah naik dengan 14,5% pada 1979, di samping produksi minyak dunia sementara itu juga akan meningkat. Saingan minyak dari RRC bukan tak disadari Indonesia, terutama dalam menarik perusahaan minyak asing. Seperti dikatakan Piet Harjono "Indonesia mesti berani berpacu dengan RRC dalam menarik perusahaan minyak." Masih harus dilihat apakah pernyataan Piet ini berarti Indonesia akan lebih banyak memberi perangsang, kepada para kontraktor minyak asing. Yang jelas dalam lima tahun mendatang situasi minyak akan banyak berobah. Bukan saja minyak RRC akan meningkat, tapi dengan penemuan cadangan oleh Meksiko sebesar 200 milyar barrel, Meksiko akan menjadi salah satu raksasa minyak di samping Arab Saudi. Dalam 6 tahun, Meksiko diperkirakan akan merupakan negara penjual minyak terbesar di AS. Ini bisa mengancam kedudukan minyak Indonesia di pasaran Amerika dengan segala akibatnya. Lepas Landas Selama Pelita II surplus neraca pembayaran berjumlah US$ 700 juta. Dan selama Repelita III surplus ini diperkirakan bakal naik menjadi US$ 1930 juta. Kalau cadangan devisa pada Maret 1979 nanti diperkirakan US$ 2687 juta, maka cadangan devisa pada akhir Repelita III akan mencapai US$ 4617 juta. Sekilas memang merupakan angka cadangan devisa yang mengesankan. Tapi kalau dilihat keperluan impor pada tahun itu, maka cadangan devisa sebesar ini hanya cukup untuk impor 4 bulan saja, yang berarti sama keadaannya dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini disebabkan karena hasil ekspor ternyata belum cukup untuk menutupi keperluan impor dan jasa-jasa luar negeri. Ini terlihat dengan melonjaknya defisit pada transaksi berjalan dari US$ 1424 juta selama 1979/80 menjadi US$ 2359 juta selama 1983/84. Mulai tahun ketiga Repelita III, ekspor di luar minyak untuk pertama kalinya akan lebih besar dari ekspor minyak netto, dan untuk seluruh tahun rencana, jumlahnya diperkirakan naik 90% menjadi US$ 7680 juta. Ekspor di luar minyak ini diharapkan akan mengalami diversivikasi yang lumayan, pada saat ekspor bahan non-tradisionil mulai lepa landas. Ekspor hasil tambang di luar minyak akan merupakan 19% dari seluruh ekspor dibanding 15% sekarang ini. Ini karena Indonesia sebentar lagi akan mulai mengekspor nikkel, alumina dan aluminium. Ekspor hasil industri akan melonjak terutama karena meningkatnya ekspor semen dan pupuk, dua komoditi yang merupakan tulang punggung industri Indonesia dewasa ini. Bagian ekspor industri termasuk bahan non-tradisionil akan naik dari 8,3% menjadi 14,6%. Dalam proyeksi neraca pembayaran Repelita III, pinjaman pemerintah dari luar negeri akan menjadi US$ 15,3 milyar untuk seluruh tahun rencana. Selama Repelita II jumlah seluruh pinjaman luar negeri baru mencapai US$ 8,9 milyar. Karena sebagian besar pinjaman ini berasal dari IGGI, yang menjadi pertanyaan adalah: Mampukah IGGI menyediakan pinjaman tambahan US$15 milyar kepada Indonesia dalam lima tahun mendatang ini? Pertanyaan ini penting mengingat negara-negara industri sendiri kini masih mengalami kesulitan ekonomi. Kalau saja suatu saat negara kreditor yang tergabung dalam IGGI berobah sikap, dan tak ramah lagi terhadap setiap permintaan tambahan pinjaman Indonesia, maka Indonesia akan terpaksa mencari pinjaman di pasar uang, baik meminjam langsung dari bank-bank swasta luar negeri atau lebih banyak mengeluarkan obligasi. Tapi pinjaman seperti ini tentunya akan berisi syarat yang kurang lunak dibanding pinjaman dari IGGI. Peranan pinjaman luar negeri yang makin kritis ini bisa dilihat begini: Kalau selama Repelita II, pinjaman luar negeri mewakili 35% dari seluruh anggaran pembangunan, maka selama Repelita III, pinjaman luar negeri diperkirakan naik menjadi 45% dana pembangunan. Konsekwensinya adalah pembayaran kembali hutang luar negeri juga meningkat. Dan ini terutama akan terasa pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Kalau selama Repelita II, jumlah pengembalian pinjaman luar negeri pemerintah baru mencapai US$ 1,6 milyar, maka jumlah hutang luar negeri yang harus dilunasi pemerintah selama Repelita III, akan melonjak menjadi US$ 4,5 milyar. (lihat grafik II),

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus