SIAPA pun tahu, yang terpukul Kenop-15 paling berat ialah para
importir. Kenop itu memang direncanakan pemerintah salah satunya
untuk melindungi produksi dalam negeri. Tapi kenyataan yang
dikemukakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) baru-baru ini tak kalah
mencemaskannya dengan banjir menjelang Tahun Baru Imlek kemarin.
Kenyataan itu ialah soal nasib beberapa industri kecil di
Jakarta. 4 pusat industri kecil yang dibina LP3ES terpukul
Kenop-15 cukup parah. Terutama pusat perusahaan sepatu di Karet
Kuningan dan pusat perusahaan barangbarang kaleng di Bidaracina.
Dua yang lain, pusat perusahaan kayu di Klender dan Pondok
Pinang, mengalami penurunan keuntungan yang cukup besar.
Demikian hasil penelitian LP3ES selama 3 bulan terakhir ini.
Di Karet Kuningan ada 160 perusahaan kecil sepatu dengan jumlah
karyawan 1.558 orang. Lebih dari separuhnya adalah perusahaan
yang hanya mempunyai 1-2 orang karyawan. Dan justru merekalah
yang terpukul paling berat, sampai 24 perusahaan tutup. Yang
mempunyai karyawan 5-30 orang terpaksa merumahkan lebih dari
separuh karyawannya, karena produksi menurun. Coba, bagaimana
tidak harus mengurangi karyawan, kalau sebelum Kenop-15 bisa
memproduksi 25 kodi sepatu seminggu dan sekarang hanya mampu 8
kodi - malahan ada yang hanya 5 kodi. Akibatnya 650 karyawan
sekarang menganggur -- dan sebagian besar telah berkeluarga. Dan
payahnya lagi, mereka tak memiliki ketrampilan lain kecuali
dalam bidang persepatuan.
Sumber musibah itu tak lain dan tak bukan karena melonjaknya
harga bahan baku dan bahan penolong lainnya. Kenaikan itu ada
yang lebih dari 50%. Kulit untuk sol, misalnya, dari Rp 800
menjadi Rp 1.350 per kg. Sementara harga jual kepada toko-toko
pengecer hanya bisa naik rata-rata 17,32% saja.
Menurut perhitungan LP3ES, sekarang mereka rata-rata mengalami
kerugian 35%. Padahal sebelum Kenop-15, untung mereka hanya
berkisar 10-15% saja. Toh, masih ada pukulan lagi: menghilangnya
kulit kwalitas baik. Jadi mau tidak mau terjadi penurunan
kwalitas produksi. Dan buntutnya sudah tak mengherankan lagi:
Pesanan dari pengecer ikut menurun pula.
Nasib perusahaan barang kaleng di Bidaracina tak bunyak berbeda
-- atau malah lebih parah. Dari 49 perusahaan tinggal 23 yang
bekerja. Dan yang masih berjalan itu melakukan penyelamatan
dengan mengurangi karyawan dan menurunkan kwalitas. Pengurangan
karyawan mengakibatkan 110 dari 140 tenaga kerja terpaksa
kehilangan mata pencaharian. Penurunan kwalitas menyebabkan
harga jual tak bisa dilonjakkan sebanding ongkos produksi,
karena mereka terpaksa memakai kaleng bekas, yang masih bisa
dijangkau harganya. Tapi kenaikan harga kaleng bekas pun hampil
mencapai 50%: sebelum Kenop-15 RF 500, sekarang sudah Rp 700 per
kg. Padahal mereka hanya bisa menjual kompor, misalnya, dari Rp
500 sebelum Kenop-15 sekarang hanya menjadi Rp 575 per buah.
Cetakan roti, dari Rp 400 hanya menjadi Rp 450.
Kecuali itu, masih ada ekstranya. Kalau dulu penjual bahan mau
dibayar angsuran, sekarang minta tunai. Dan para pengecer,
sebaliknya, hanya mau membayar secara angsuran dengan uang muka
tak lebih dari 25%.
Dibanding perusahaan sepatu dan barang kaleng tersebut,
perusahaan kayu di Klender dan Pondok Pinang boleh bersyukur
Kenaikan bahan baku, ialah kayu jati dan mahoni, hanya antara
5-15%. Kayu jati dari Rp 90 ribu menjadi Rp 100 ribu per meter
kubik. Sedang kayu mahoni dari Rp 60 ribu hanya menjadi Rp 65
ribu. Dan perusahaan jenis ini bahan baku produksinya 'kan 75%
tergantung kayu. Maka meski bahan lain misalnya engsel, ampelas
naik lebih dari 60%, itu tidak mempunyai pengaruh besar, baik
terhadap ongkos produksi maupun harga jual nantinya.
Kelas Atas
Yang berkurang adalah keuntungan perusahaan kayu itu. Yang dari
Klender biasanya untung sekitar 10-15% dari harga pokok.
Sekarang mereka hanya bisa meraih untung 5-10%. Itu dikarenakan
dua hal. Pertama, mereka berusaha tidak menaikkan harga, dan
kedua, pesanan menurun. Penurunan omaet berkisar antara 20-50%.
Toh pengurangan karyawan tak bisa dihindari. Dari 2.570 karyawan
perusahaan kayu di Klender kini ada 400 orang yang terpaksa
tinggal di rumah.
Yang aneh, justru perusahaan kayu yang memproduksi mebel-mebel
mewah konsumsi kelas atas yang masih bergerak dengan leluasa Di
Pondok Pinang, perusahaan kayu yang memproduksi mebel mewah tak
begitu merasa terpukul dengan Kenop-15. Ada sebabnya, tentu
ialah keuntungan yang biasa mereka tarik biasanya sudah lebih
dari 30% harga pokok. Maka, penurunan keuntungan karena harga
bahan baku naik paling banyak 15%, tak seberapa terasa.
Cuma, rekan-rekan mereka yang memproduksi barang-barang non
mebel -- meja ping-pong, karambol, catur atau papan tulis --
terpukul juga. Soalnya, mereka ini menggunakan bahan baku kayu
lapis (plywood dan sejenisnya) yang selain harganya melonjak
sampai 84%, sejak beberapa waktu menghilang di pasaran. Dan dari
12 perusahaan kayu non-mebel, satu sudah menghentikan
produksinya, meski untuk sementara saja.
Tak berarti perusahaan kayu di Klender atau Pondok Pinang itu
kini bisa santai. Ada kemungkinan harga kayu akan naik sekitar
50%. Gejala itu sudah terlihat. 18 Januari kemarin, di Semarang,
dalam satu pelelangan kayu harga penawaran pedagang mencapai
prosentase 60-110% dari harga penawaran pihak PERHUTANI.
Keberanian penawaran para pedagang itu karena mereka yakin,
nantinya mereka akan bisa menguasai pasaran. Dan kalau sudah
begitu, industri-industri kecil boleh gigit jari. 'Kan modal
mereka hanya cukup 2-3 kali putar saja. Dan boleh diperkirakan,
"kalau di Jakarta saja nasib industri kecil begitu mencemaskan,
lebih-lebih di daerah," kata Ismid Hadad, Direktur LP3ES.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini