Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Berkiblat yang Tepat

22 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia sebenarnya meniru negara mana? Itulah pernyataan yang mengusik melihat kemunduran yang bisa diakibatkan bila aturan tersebut disahkan. Sebab, pasal-pasal di dalamnya berkemampuan menekan kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sensor Internet sebenarnya merupakan praktek umum di banyak negara otoriter. Bahkan negara-negara represif itu tidak hanya mengontrol isi, tapi juga menghukum pengguna. Organisasi internasional yang bergerak di bidang kebebasan berpendapat yang berbasis di Prancis, Reporter without Borders, mengumumkan daftar ”musuh Internet” sejak 2006 yang diperbarui setiap tahun. Pada 2009, ada 12 negara yang masuk daftar hitam, yaitu Burma, Cina, Kuba, Mesir, Iran, Korea Utara, Arab Saudi, Suriah, Tunisia, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Vietnam.

Contoh yang paling banyak dibicarakan adalah Cina, terutama dengan kebijakan Great Firewall of Cina yang diterapkan sejak awal tahun lalu. Namun praktek kontrol sudah intensif terjadi sejak diterbitkannya Internet Rules pada 1997.

Pemerintah Cina mengklaim tetap melindungi kebebasan bersuara dan hak kekayaan intelektual di Internet. Seperti dikutip kantor berita Xin Hua, konten dilarang bila berisi subversi kekuasaan negara; merusak kesatuan negara; menghasut sehingga memicu dendam dan separatisme nasional; menyebarkan aliran sesat; serta menyebarkan informasi porno, kekerasan, dan teror. Sepanjang 2009, untuk kasus pornografi, misalnya, telah ditahan 5.394 orang penyedia dan pengguna jasa Internet. Tahun ini upaya pengendalian akan lebih serius.

Untuk memantau aktivitas ”membahayakan” itu, Cina menyediakan gerbang informasi (information gateway) ke penyedia jasa Internet (internet service provider). Pemerintah juga menyensor alamat web tertentu.

Layanan situs global yang masuk ke Cina juga dikenai syarat ketat. Raksasa mesin pencari Google, misalnya, saat meluncurkan google.cn pada 2006, setuju menyensor sejumlah pencarian, seperti tragedi Tiananmen 1989, kemerdekaan Tibet, dan Falun Gong. Pada akhirnya Google gerah, dan mengancam akan hengkang karena mensinyalir pemerintah Cina menyensor situs dan membobol akun Gmail.

Pemerintah Cina bergeming meski protes mengalir. Menteri Informasi Cina Wang Chen, seperti dikutip berbagai kantor berita, menegaskan pihaknya tetap memberlakukan sensor untuk melindungi 360 juta orang pengguna Internet di Cina—yang terbanyak di dunia—”Dari pornografi dan propaganda politik yang menyesatkan.”

Tindakan keras memang menjadi ciri negara-negara yang menyensor Internet ini. Iran, misalnya, telah menyaring sekitar 10 juta situs, termasuk yang bertema politik dan keagamaan. Arab Saudi menutup akses ribuan situs pornografi, agama, politik, dan situs-situs hak asasi manusia. Bahkan di negara seperti Korea Utara dan Burma, meski pengguna Internet sangat sedikit, pembatasannya tetap superketat.

Sebaliknya, bagi negara demokratis, pembatasan kon­ten Internet tidak dikenal. Namun kadang muncul kebi­jak­an pembatasan, karena ada pertimbangan khusus. Seperti yang terjadi di Australia. Pemerintah Negeri Ka­nguru itu berencana membuat aturan pemblokiran situs ber­isi kekerasan, kriminal, pemerkosaan, dan pengguna­an obat-obatan terlarang. Aturan akan diajukan ke parlemen Agustus nanti dan akan diuji coba selama tujuh bulan.

Di Jerman, kebebasan berinternet dijamin. Soal penyensoran materi yang dinilai berbahaya justru datang dari masyarakat. ”Misal, orang tua yang minta filter kon­ten pornografi untuk anak kecil,” kata Avinanta Tarigan, Ketua Pusat Studi Keamanan Informasi Universitas Gunadarma, Jakarta, yang mengambil program doktoral di University of Bielefeld, Jerman.

Indonesia berkiblat ke negara mana? ”Tengah-tengah saja,” kata Roy Suryo, narasumber Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (cyberlaw) Pokja Komunikasi dan Informasi Dewan Perwakilan Rakyat. ”Jangan terkekang ekstrem, tapi jangan bebas absolut.”

Menurut Roy, Indonesia lebih pas dengan cara Prancis. Di sana, kebebasan Internet dijamin sepenuhnya. Pemblokiran hanya dilakukan pada konten yang jelas-jelas membahayakan kepentingan bersama, misalnya pernah terjadi pada konten propaganda Nazi. Pemerintah Prancis juga proaktif merekomendasikan pengguna Internet agar memilih fasilitas yang aman.

Namun tak ada yang sempurna dalam sensor. Di negara-negara represif, seperti Cina, Iran, dan Arab Saudi, ada saja pembobolnya. ”Selalu ada back door, akses lain yang terbuka,” kata Avinanta.

Harun Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus