TADINYA tempat itu deretan kios aneka barang, tapi sejak beberapa tahun lalu berubah menjadi gerai penjualan piringan musik dan film bajakan. Pembeli yang datang biasanya berpakaian rapi-jali, harum, ya, kelas orang punya duitlah. Begitulah suasana lantai 4 Ratu Plaza, Jakarta Selatan, satu di antara puluhan pasar rekaman musik dan film dalam cakram padat (CD, VCD, dan DVD) bajakan.
Di tempat itu ada sekitar 30 penjual musik dan film dalam piringan, yang buka terus dari pukul sepuluh pagi hingga delapan malam. Harga per kepingnya cuma Rp 20 ribu, sepertiga produk aslinya. Seorang penjaga gerai, Vina, mengaku menjual rata-rata 30 keping sehari, musik dan film. "Bisa juga pesan judulnya, tiga hari pasti sudah ada," katanya di tengah keranjang berisi seribuan keping musik dan film bajakan.
Membajak kaset serta cakram musik dan film memang bisnis menggiurkan. Menurut catatan Ketua Asosiasi Industri Media Rekam Indonesia (AMRI), Pang Pak Im, dari sekitar 30 juta keping kaset serta cakram musik dan film yang beredar dalam sebulan, cuma 10 persen yang asli. Dari 1998, menurut data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), yang khusus mencatat rekaman musik, pembajakan CD naik hingga seribu persen.
Tahun lalu, kerugian penerimaan negara akibat pembajakan sekitar Rp 1,1 triliun, dan kerugian industri rekaman mencapai Rp 16,14 triliun. Karena gerah melihat maraknya pembajakan, akhir Juni lalu Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Eddy Abdurrahman, mengajukan usul pengenaan cukai pada produk rekaman dalam kaset dan cakram padat. Ia mengusulkan pemberlakuannya sejak Januari tahun depan.
Alasannya, dengan pita cukai melekat pada kaset dan cakram, peredaran barang itu lebih mudah diawasi sehingga barang bajakan gampang diberantas. "Yang tidak memakai pita cukai pasti bajakan," kata Eddy saat itu. DPR telah menyetujui rencana ini, tapi itu baru bisa diberlakukan setelah ada peraturan pemerintah.
Dalam hitungan Eddy, yang mengutip data Badan Analisa Fiskal, bila 30 persen dari semua keping cakram yang beredar—sekitar 364,5 juta keping setahun—dipasangi pita cukai Rp 750, penerimaan negara mencapai Rp 98,41 miliar. Dan bila 60 persen produk rekaman yang beredar memakainya, pemerintah akan mendapat tambahan Rp 170,23 miliar. Itu teorinya.
Argumentasi Eddy ditolak mentah-mentah oleh Sekretaris Jenderal Asiri, Arnel Affandi. Pemerintah, menurut dia, tidak serius memberantas pembajakan, padahal semua perangkat hukumnya sudah ada. "Pembajakan adalah masalah penegakan hukum, bukan cukai," katanya. Yang harus dilakukan bea-cukai dan polisi, kata Arnel, adalah menangkap para penyelundup alat pemutar CD dan VCD produksi Cina dan mesin pengganda rekaman, bukan menarik cukai baru. Apalagi rekaman kaset dan cakram sudah kena pajak pertambahan nilai yang berkisar Rp 800-Rp 5.000 per keping.
Keberatan yang sama diajukan pengamat ekonomi dari Indef, Dradjad H. Wibowo. Cukai, katanya, hanya akan menyuburkan pembajakan karena dapat mengurungkan niat membeli barang asli yang harganya makin mahal. Ia justru khawatir rencana ini dipakai untuk ajang kongkalikong baru antara aparat bea-cukai dan para pengusaha rekaman karena cukai itu kelak akan masuk kantong bea-cukai dan polisi sebagai dana pemberantasan pembajakan.
Omongan Eddy soal kemudahan membekuk pembajak lewat pita cukai malah ditertawai Dradjad. "Sekarang yang bajakan kan tidak memakai pita PPN. Kok, tidak ditangkap juga?" katanya. Atau jangan-jangan seperti kekhawatiran Arnel. "Ada lobi para pembajak besar," katanya, "Kalau begini, industri rekaman bisa mati lebih cepat."
I G.G. Maha Adi, Syakur Usman, Andi Dewanto (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini