Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAK daun digerogoti ulat, kinerja industri sepatu nasional makin banyak bolongnya. Sejak krisis mulai mendera, nilai ekspor sepatu terus loyo. Sebelum krisis, nilainya sempat menembus US$ 2 miliar, tapi kini hanya pada kisaran US$ 1,2 miliar. Boro-boro naik atawa bertahan, yang ada justru turun. Pada periode Januari-April tahun ini, nilai ekspornya turun 9,85 persen menjadi US$ 366 juta.
Karakter industri yang hanya menjadi "tukang jahit" untuk pemilik sepatu branded macam Nike, Adidas, dan Reebok makin menyudutkannya. Setelah tragedi 11 September di Amerika, pasar sepatu dunia lesu. Pemilik brand pun mengencangkan ikat pinggang. Mereka mengurangi order seraya mencari "tukang jahit" baru yang ongkosnya lebih murah. Cina, Vietnam, dan kini Thailand pun menjadi "tukang jahit" alternatif.
Hanya dalam tempo empat tahun, 30 pabrik sepatu gulung tikar dan 500 ribu orang kehilangan pekerjaan. Kini hanya 100 perusahaan yang produktif dari 200-an sebelum krisis. Sekadar mengingatkan, dua tahun lalu, pemilik merek Reebok dan Nike mengalihkan ordernya ke Vietnam. Kebijakan ini memakan korban: PT Primassindo dan PT Doson di Tangerang.
Sebelumnya, PT Universal Wisesa Indonesia di Sidoarjo, yang "menjahit" Diadora, sudah bangkrut. Disusul PT Fortune Matein Indonesia, dengan menganggurkan 7.500 karyawan. Baru dua pekan lalu, PT Kasogi Internasional Tbk., yang dikenal dengan merek Kasogi, memutuskan menutup pabriknya (lihat Kasogi, Sebelum Dicoret ). "Yang tutup yang besar-besar karena menggantungkan order dari sepatu branded," kata Yudhi Komarudin, Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo).
Kini perusahaan besar tinggal 15. Selebihnya pengusaha skala kecil-menengah (UKM) seperti di Cibaduyut, Jawa Barat. Namun UKM sepatu yang hanya mengandalkan pasar lokal ini juga bermasalah. Era pasar bebas makin menyudutkan mereka dengan maraknya sepatu impor Cinapangsa pasarnya kini hampir 30 persen.
Menurut Asosiasi Pengusaha Sepatu Cibaduyut (APSC), pasar sepatu mereka anjlok hingga 50 persen. Dulu sepekan terjual 200-300 pasang, tapi kini hanya separuhnya. Dari 101 anggota, sekitar 25 pengusaha tak aktif. Mereka lebih suka menjadi pedagang sepatu. "Harga sepatu Cina sangat murah, Rp 30 ribu, sedangkan harga kami minimal Rp 40 ribu," kata Ketua APSC Amun Makmun, "Margin juga tak mungkin diturunkan lagi, sudah terlalu rendah."
Inikah pertanda industri sepatu memasuki sunset industry? "Industri besar memang sunset, tapi industri kecil dan menengah belum," kata Yudhi Komarudin, "Asal bisa efisien dan mendapat dukungan bahan baku, mereka bisa bangkit dan melawan." Bahan baku memang menjadi urusan serius, terutama kulit impor. Kulit lokal malah banyak diekspor dan tidak cocok untuk sepatu olahraga yang mendominasi pasar nasional.
Dari komponen produksi saja, bahan baku mencapai 50 persenlebih dari separuhnya diimpor. Komponen terbesar kedua adalah buruh, 25 persen. Biaya lain-lain juga cukup besar: 11,4 persen. Menurut catatan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, impor kulit masih tinggi. Tiga tahun terakhir, belanja impornya rata-rata mencapai 18 juta kilogram atau senilai US$ 115 juta. Kebanyakan diimpor dari Korea Selatan, Cina, Thailand, Argentina, dan India.
Menurut Yudhi, problem besar berikutnya adalah masalah perburuhan. Industri sepatu dikenal menyerap tenaga kerja hingga ribuan orang. Karakter ini menyebabkan industri sepatu rentan kolaps, misalnya jika pekerja melakukan aksi mogok. "Pemerintah harus tegas mendukung industri ini," kata Yudhi, "Sayang kalau tidak serius, sebab potensi pasar lokal sangat bagus."
Dengan populasi sekitar 220 juta jiwa, potensi pasar sepatu Indonesia sebetulnya sangat besar. Dengan rasio konsumsi sepatu 1,1 saja dan harga rata-rata Rp 25 ribu, pasar sepatu lokal mencapai Rp 3 triliun per tahun. Memang ada yang mencobanya dan lumayan berhasil. Sebutlah PT Unimitra Kharisma, yang memproduksi sepatu anak Starmon.
Mengusung merek Piero, Unimitra mampu meningkatkan kapasitas produksi menjadi dua juta pasang. Omzet penjualan merek Piero, yang praktis diluncurkan ke publik pada 1999, terus merangkak naik menjadi Rp 130 miliar pada tahun lalu. "Pertumbuhan pasarnya 30 persen per tahun," kata Harijanto, Presiden Direktur PT Unimitra, yang juga menerima order dari Nike sebanyak 700 ribu pasang per bulan.
Menurut dia, salah satu kunci suksesnya ialah berani membangun merek sendiri. Investasi untuk membangun merek itu memang tidak murah, menghabiskan Rp 30 miliar dalam tempo tiga tahun. Kini utilisasi pabriknya di atas 80 persen. "Strategi saya menjual Piero, harganya tidak lebih dari Rp 150 ribu," katanya. Merek lokal yang juga melejit di pasar adalah New Era. Pada tahun lalu, pertumbuhan pasarnya terbilang tinggi, sekitar 60 persen, menjadi Rp 244 miliar, padahal sebelumnya hanya Rp 150 miliar.
Pemerintah juga yakin industri sepatu masih bisa berkembang. Dengan mengatasi masalah utama seperti jaminan pasokan bahan baku kulit, industri ini masih prospektif. "Kalau problem hulu ini diatasi, industri sepatu kita masih punya daya saing," kata Direktur Industri Aneka Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Nugraha Sukmawidjaja. Pemerintah juga berjanji akan mengontrol pasar sepatu impor. Caranya dengan menerapkan instrumen standar dan label produk.
M. Syakur Usman
Kasogi, Sebelum Dicoret...
DUA pabrik di Sidoarjo dan Surabaya, Jawa Timur, itu akhirnya tutup. Nasib 2.500 karyawannya kocar-kacir. Manajemen mengaku hanya punya dana kontan Rp 500 juta untuk menyantuni mereka. Artinya, setiap karyawan cuma mendapat Rp 200 ribu, tak peduli masa kerjanya. Itulah yang menimpa PT Kasogi Internasional Tbk., yang dikenal dengan merek lokal Kasogi, pertengahan bulan lalu.
Para pekerja menolak keras rencana pesangon model ini karena tadinya rata-rata gaji karyawan per bulan Rp 560 ribu. Mereka, yang rata-rata bekerja 10 hingga 20 tahun, menuntut pesangon sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan. Di situ dinyatakan, bila terjadi pemutusan hubungan kerja, karyawan berhak mendapat uang pesangon, penghargaan, dan penggantian hak yang seharusnya diterima.
Negosiasi pun digelar. Alot. Bahkan agak dramatis: karyawan melakukan "ronda" di pabrik menjaga aset perusahaan. "Kami menjaga aset perusahaan agar tidak dilarikan direksi," kata Ketua Serikat Pekerja PT Kasogi, Sugiyono. Ban dua mobil boks pun dikempiskan.
Kinerja Kasogi memang terus memburuk dalam tiga tahun terakhir. Sejak kebakaran di pabrik Buduran, hampir 70 persen volume produksinya terganggu. Pasar lokal yang diharapkan ternyata tak banyak menolong. Serbuan sepatu impor murah dari Cina membuat Kasogi makin terseok. Pasar ekspor, terutama ke Amerika Serikat, lunglai sejak tragedi 11 September.
Cerita sukses sebelum krisis, yakni mampu meraup laba bersih rata-rata Rp 7 miliar per tahun, hanya tinggal tembang kenangan. Sejak 2002, Kasogi, yang menjadi perusahaan terbuka mulai 1993, justru terus merugi. Pada tahun itu, rugi bersih perusahaan yang sahamnya dimiliki publik 40,11 persen inimayoritas milik PT Kasogi Industrimencapai Rp 12 miliar.
Pada 2003, nilai kerugian makin besar: Rp 18 miliar. Per Maret tahun ini, nilai ruginya terus mengembang menjadi Rp 22 miliar. Kewajiban utang masa lalu juga tak sedikit, Rp 317 miliar per Maret. "Wacana penutupan pabrik sebenarnya sejak tiga tahun lalu, tepatnya sejak pabrik di Buduran terbakar," kata Presiden Direktur PT Kasogi, Siswandi Hendarta.
Bursa Efek Jakarta (BEJ) sempat menghentikan perdagangan saham Kasogi pada 6 Mei lalu. Setelah saham Kasogi diperdagangkan lagi, pada 12 Juli lalu BEJ kembali menghentikan perdagangannya, yang secara nominal hanya Rp 25 per lembar. "BEJ masih memberikan kesempatan kepada Kasogi untuk mencari investor baru sebelum sahamnya dicoret (delisting)," kata Yose Rizal, Kepala Divisi Pencatatan Sektor Riil, kepada Yandhie dari Tempo News Room.
M. Syakur Usman, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo