Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jagung Rugi, Kedelai Masuk

Bulog berencana merambah industri pengolahan. Besar kemungkinan bermitra dengan Suba Indah.

2 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMAT datang di Soybean Oil Crushing Plant, pabrik pengolahan kedelai pertama di Indonesia! Selesai masa konstruksi pada akhir 2005, setahun kemudian pabrik di Cigading Industrial Estate di Cilegon, Banten, ini sudah akan menghasilkan laba bersih Rp 73 miliar. Setidaknya itulah yang tertulis dalam prospektus Suba Indah Tbk., perusahaan pemilik pabrik itu.

Keuntungan menakjubkan itu diperoleh dari penjualan yang diperkirakan mencapai Rp 1,6 triliun, dengan produksi 2.000 metrik ton per hari minyak dan bungkil kedelai. Pada 2007, diramalkan labanya akan naik menjadi sekitar Rp 126 miliar dari penjualan Rp 2,2 triliun. Keuntungan menggiurkan ini, dengan tingkat pengembalian (internal rate return) 44,2 persen, berdasarkan kajian penilai independen, PT Laksa Laksana.

Nah, investor mana yang tak tertarik? Di mana lagi bisa berinvestasi dengan return setinggi itu, jauh di atas bunga pinjaman investasi yang hanya 17 persen? Angka proyeksi inilah yang mungkin membuat Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) ikut tergoda ingin menguasai Suba Indah, perusahaan terbuka yang tiga tahun ini mengelola jagung. Bulog kebetulan sedang mengincar bisnis pemrosesan jagung dan kedelai.

Menjelang berganti bentuk dari perusahaan umum menjadi perusahaan terbatas, mereka harus bisa mencetak keuntungan juga. Direktur Utama Bulog, Widjanarko Puspoyo, beberapa waktu lalu mengatakan bahwa rencana pembelian perusahaan pangan itu karena ingin merambah sektor riil. "Kita sekarang perusahaan umum. Boleh kan ke sektor riil?" katanya.

Pintu masuknya lewat Suba Indah, yang dua pekan lalu menawarkan obligasi wajib tukar dengan saham—biasa disebut mandatory convertible bond—sebesar Rp 918 miliar. Obligasi wajib tukar ini mengharuskan, ketika jatuh tempo, Bulog tak menerima duit sebagai pembayaran, tapi saham. Kalau jumlah obligasi yang mereka beli besar, tak tertutup kemungkinan Suba akan menjadi perusahaan negara.

Sekitar Rp 450 miliar duit penjualan obligasi tadi akan digunakan untuk membangun pabrik kedelai, yang dijanjikan dalam tiga tahun bisa menghasilkan keuntungan sampai ratusan miliar rupiah. Sisanya dibagi untuk modal kerja dan buat membayar utang lama perusahaan, yang dulu digunakan untuk membangun pabrik jagung.

Direktur Utama Suba Indah, Teddy Tjokrosaputro, mengatakan Bulog akan membeli setidaknya 30 persen atau senilai Rp 275 miliar. Pemegang saham lama sudah sepakat membeli 35 persen atau Rp 321 miliar. Sisanya, 35 persen atau Rp 321 miliar, akan ditawarkan kepada investor. "Mereka adalah investor langganan Danareksa," kata Teddy, yang Jumat pekan lalu memulai perjalanan bisnisnya bersama Danareksa ke beberapa negara, menawarkan obligasi wajib tukar saham yang belum ada pemesannya.

Langkah Suba mencari dana hampir Rp 1 triliun itu tampak mulus. Setengah dari duit yang mereka butuhkan akan terpenuhi dari Bulog dan pemegang saham lama. Danareksa, penjamin penjualan obligasi itu, juga berjanji akan membeli seluruh obligasi yang tak laku. Itulah yang dijanjikan Direktur Utama Danareksa, Zas Ureawan, yang menyatakan siap mengucurkan Rp 200 miliar. Toh, katanya, kesepakatan itu baru berlaku jika Bulog pasti membeli harta berbentuk utang itu.

Banyak yang khawatir akan langkah Bulog membeli saham Suba, perusahaan yang dua tahun berturut-turut rugi besar di bisnis jagungnya. Pada 2002, perusahaan terbuka yang sudah menutup bisnis makanan dan minumannya dan berkonsentrasi ke pengolahan jagung ini rugi Rp 22 miliar. Tahun berikutnya, kerugiannya melonjak menjadi Rp 137 miliar. Pada semester pertama 2004, Suba masih juga merugi Rp 29,5 miliar.

Tapi Widjanarko tak khawatir akan kerugian yang dialami Suba. Dia yakin jaringan yang dimiliki Bulog bisa membalik nasib perusahaan mitranya itu. Lagi pula, katanya, tak ada perusahaan sejenis yang bisa diambil alih. "Selain Suba, tunjukkan perusahaan lain," katanya, "Bogasari? Mana mungkin saya beli itu."

Teddy Tjokrosaputro meminta soal kerugian Suba dilihat secara benar. Pada 2001, perusahaan memulai konstruksi, dan baru selesai pada 2003. Operasional usaha benar-benar baru berjalan pada 2003, dengan kapasitas produksi masih 60 persen. "Jadi, dua tahun kemarin belum ada pendapatan sama sekali, sementara kita menanggung bunga kredit yang cukup tinggi," katanya. Karena itulah dia menjual obligasi untuk mengurangi utang, sekaligus mendirikan usaha baru.

Kalau berjalan sesuai dengan rencana, Suba akan lebih sehat dan kapasitasnya meningkat menjadi 80 persen akhir tahun ini. Tapi coba bandingkan dengan pabrik kedelai tadi. Dua tahun setelah masa konstruksi, pada 2004, orang yang sama percaya bisa meraup untung puluhan—bahkan ratusan—miliar rupiah dalam tiga tahun di pabrik baru itu. Katakanlah seluruh utang lama dihapuskan, sehingga bunga kredit yang pada 2003 nilainya Rp 63 miliar dianggap tak ada, kerugian yang diderita Suba masih sekitar Rp 70 miliar pada tahun itu.

Lalu bagaimana dengan nasib pabrik kedelai? Di mana kekecualiannya sehingga ada keyakinan bisa menghasilkan duit sebanyak itu? Atau, sebaliknya, akan memperpanjang daftar perusahaan negara yang merugi kalau Bulog jadi membeli obligasi itu? Berembus kabar, Bulog bersedia membeli karena tekanan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi dengan lobi kencang sang komisaris.

Kabar itu dibantah Laksamana. "Siapa yang bilang Bulog harus beli?" katanya. Dia bahkan mengatakan tak tahu tentang Suba Indah: "Suba Indah itu perusahaan apa?" Teddy juga membantah keterlibatan Laksamana. "Ya, enggak juga," katanya sambil tertawa lebar. Dulu, dia bercerita, Laksamana malah melarang Bulog membeli obligasi Suba. Tapi, melalui sejumlah penjelasan yang disampaikan badan urusan logistik itu, sinyal hijau muncul.

Baik dia maupun Benny Tjokrosaputro, abang kandungnya, tak pernah berhubungan dengan Kantor Menteri Negara BUMN. Mereka hanya melakukan pendekatan terhadap Bulog. "Mungkin Bulog yang mendekati Kantor Menteri Negara BUMN," katanya sambil menambahkan bahwa bukan hanya Bulog yang berminat menguasai Suba Indah. Ada sejumlah investor lain, baik asing maupun lokal. Tapi dia tak bersedia merincinya.

Direktur Pengembangan dan Teknologi Informasi Bulog, Tito Pranolo, juga menyangkal jika dikatakan rencana pembelian itu atas tekanan Kantor Menteri Negara BUMN. Dia menjamin, itu murni karena bisnis yang akan dirintis Bulog sama dengan Suba Indah. Semua juga, katanya, masih dalam pengkajian karena mereka berhati-hati dalam berinvestasi. Selain menelisik keuangan dan operasinya, mereka membayar konsultan untuk menganalisis perusahaan itu.

Leanika Tanjung, Mawar Kusuma, Muchamad Nafi (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus