Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT pesawat terbang, privatisasi Merpati kini memasuki persiapan lepas landas. Bagi para peminat calon penasihat keuangan privatisasi, batas waktunya Jumat kemarin. Ini penting, karena siapa pun yang berniat harus siap pula menyebut investor yang akan mereka gandeng. Banyak sedikitnya tawaran yang masuk tentu bisa dijadikan indikator awal seberapa tergiur investor mengambil alih kemudi Merpati.
Menjelang Jumat sore, optimisme merebak dari kantor Merpati. Corporate Secretary Jaka Pujiyono menyatakan, ada 22 tawaran masuk dalam babak prakualifikasi. Gambaran investor yang akan dibawa oleh ke-22 penasihat keuangan itu datang dari Direktur Utama Merpati, Hotasi Nababan. "Kebanyakan mereka berasal dari bisnis penerbangan, finansial, dan konsorsium perjalanan," kata Hotasi kepada Mawar Kusuma dari Tempo News Room.
Privatisasi Merpati mulai didengungkan sejak setahun silam. Berbeda dengan gelombang privatisasi tiga tahun belakangan, ketika perusahaan pelat merah diswastakan demi menggenjot penerimaan anggaran, privatisasi Merpati lebih dipicu oleh kebutuhan permodalan. Maskapai yang berdiri sejak 1962 itu telah lama memikul defisit. Buku keuangan Merpati mencatat nilai aset Rp 800 miliar, jauh di bawah utang yang mencapai Rp 1,3 triliun.
Dengan kantong kempis macam begitu, Merpati megap-megap mengarungi angkasa Indonesia. Apalagi angkutan udara saat ini merupakan bisnis paling berkembang dengan kompetisi ekstraketat. Jumlah penumpang pesawat di Indonesia melonjak drastis, rata-rata lebih dari 25 persen selama tiga tahun terakhir. Cuma, karena peningkatan penumpang itu dipicu oleh harga obral, hanya ada satu jurus bagi maskapai yang ingin bertahan: efisiensi.
Gagal mendapat injeksi dari pemerintah, pemilik 93 persen saham Merpati (sekitar 7 persen lagi digenggam Garuda), direksi mengajukan rencana privatisasi. Ada dua tahap penjualan saham yang diangankan. Pertama, menjual kepemilikan Merpati hingga 49 persen, jika investornya berasal dari luar negeri. Atau hingga 51 persen, andai pembeli berasal dari negeri sendiri.
Kenyataan bahwa ada 22 perusahaan yang berminat menjadi penasihat keuangan memang membesarkan hati. Tetapi belum berarti Merpati akan mudah menggaet pemodal baru. Salah satu penyebabnya adalah "misi sosial" Merpati menerbangi rute-rute perintis. "Kalau Merpati tak dibebaskan memilih rute, investor mana yang mau?" kata mantan Direktur Utama Sempati Air, Hasan M. Soedjono.
Misi sosial itu yang justru menjadi alasan pemerintah untuk peduli pada nasib Merpati. "Pemerintah terikat untuk menyelamatkan, karena Merpati menyandang public service obligation," kata Pandu Djajanto, pejabat Kementerian Negara BUMN yang mengurusi privatisasi. Tapi, apa ada investor yang ambil pusing dengan misi sosial itu? Apalagi Merpati tak pula bagus kondisi keuangannya. Tak hanya menanggung defisit, sebagian utang Merpati juga tidak layak ditanggung (unsustainable).
Coba disimak utang Merpati kepada pemerintah. Utang senilai Rp 212 miliar itu merupakan warisan rezim pemerintah terdahulu. Perincian utang Merpati ke pemerintah adalah utang yang timbul untuk me-leasing tiga pesawat Boeing 737-200 (Rp 136 miliar) dan utang pembelian simulator CN-235 (Rp 76 miliar). "Transaksi yang terkait dengan utang itu sebenarnya merupakan permintaan pemerintah yang dulu," kata Jaka.
Bukti adanya "order" pemerintah kepada Merpati terlihat paling jelas pada pembelian simulator CN-235. Merpati, kala itu, memang dibidik sebagai pembeli CN-235 yang diproduksi IPTN. Tak kurang dari 14 unit CN-235 yang "dijual" oleh IPTN ke Merpati bersama simulator. Pembelian itu terbukti tak menguntungkan Merpati. Pamor CN-235 rontok, kala satu pesawat tipe itu yang dioperasikan Merpati mengalami kecelakaan. Saat ini, Merpati hanya mengoperasikan dua unit CN-235.
Sementara transaksi pembelian pesawat CN-235 telah selesai antara Merpati dan IPTN, tak demikian dengan transaksi simulator. Pada akhir 1990-an, Merpati pernah mengajukan gagasan agar simulator itu dijadikan milik negara yang dikelola Merpati. Uangnya bisa diambilkan dari rekening dana investasi. Meski sempat dirundingkan di tingkat menteri, gagasan Merpati akhirnya kandas. Sejak tiga tahun lalu utang itu malah dibuang ke buku Merpati.
Menjelang privatisasi, Departemen Keuangan melunak. Pandu Djajanto menyatakan Departemen Keuangan bersedia mengonversi utang itu. "Hanya bentuknya belum jelas, apakah akan dikonversi menjadi saham pemerintah di Merpati, dijadikan aset kelola, atau langsung dihapusbukukan," katanya. Tinggal utang eks leasing pesawat yang menggantung nasibnya. "Departemen Keuangan meminta uji tuntas lebih dulu," kata Pandu.
Kendati Boeing yang di-leasing itu masih digunakan Merpati, para petinggi Merpati menganggap utang itu tak layak ditanggung karena, lagi-lagi, leasing itu tak dikehendaki Merpati. Awalnya Boeing itu disewa-jual oleh Pann Finance dari Lufthansa Airlines. Pann, perusahaan keuangan yang juga milik pemerintah, menyewakan lagi pesawat itu ke maskapai-maskapai domestik.
Merpati bersikeras meminta keringanan atas utang eks leasing itu, karena keberadaan utang itu bisa-bisa memalingkan muka investor. Apalagi pemerintah sebetulnya pernah memberikan perlakuan serupa kepada Garuda pada 1999. Pemerintah mem-bailout utang Garuda yang terkait dengan leasing 11 pesawat Boeing 737-200 senilai US$ 422 juta. Utang tersebut dikonversi menjadi penyertaan pemerintah.
Keraguan pemerintah memutihkan utang eks leasing itu dikritik Hasan. "Garuda diberi keringanan dengan alasan flag carrier, padahal status itu tak ada artinya lagi di dunia penerbangan internasional," ujar Hasan. Ia melihat peran Merpati justru lebih penting dari Garuda, karena melayani rute-rute perintis. Selain utang ke pemerintah, Merpati tengah merundingkan juga utang-utangnya ke Garuda dan Bank Mandiri, yang masih terhitung kerabat.
Merpati memiliki kewajiban sekitar Rp 240 miliar ke Mandiri, dan Rp 260 miliar ke Garuda Indonesia. "Mereka mendukung rencana privatisasi kita," kata Hotasi, diplomatis. Penyelesaian utang merupakan langkah pertama yang harus diambil Merpati untuk menarik investor. Tetapi, untuk bisa tetap bersaing, Merpati perlu merestrukturisasi kegiatan bisnis.
Sasaran yang ingin dicapai adalah agar Merpati bisa beroperasi efisien. Di sini letak penting keberadaan investor baru. Merpati berharap dapat menutup ongkos restrukturisasi bisnis dari hasil penjualan saham. "Idealnya Merpati bisa mendapat Rp 600 miliar," ujar Hotasi. Agenda restrukturisasi bisnis pertama menyangkut soal armada. Saat ini Merpati memiliki 40 unit pesawat terdiri dari delapan tipe.
Banyaknya jenis pesawat menjadikan Merpati harus menanggung biaya operasi tinggi. "Dengan memiliki delapan jenis pesawat, kami harus punya delapan set teknisi," kata Jaka. Merpati berencana memiliki armada yang terdiri dari empat jenis pesawat saja. Jenis pesawat yang diincar adalah yang berkapasitas 150 kursi, 100 kursi, 50 kursi, dan 20 kursi.
Akan halnya pemberesan armada, Merpati berencana menjadikan penerbangan perintis sebagai bisnis unit terpisah dengan nama Merpati Commuter Service. Jika dibandingkan dengan total jam terbang armada Merpati, penerbangan perintis terhitung kecil: 5 hingga 7 persen. "Pemisahan itu untuk memperjelas potensi bisnis Merpati," ujar Jaka.
Dalam penerbangan perintis, Merpati paling banter mencapai tingkat impas, karena ongkos yang dibayarkan penumpang jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. "Kekurangannya ditutup oleh subsidi dari pemerintah," tutur Jaka. Pembenahan lain yang direncanakan Merpati adalah pemanfaatan sistem teknologi informasi dalam kegiatan operasional, keuangan, dan pemasaran. Tapi semua rencana itu, sekali lagi, terpulang pada minat investor jua.
Thomas Hadiwinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo