AKHIR-akhir ini pemerintah serius bicara agar peranan swasta ditingkatkan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, perluasan lapangan kerja, dan landasan yang tangguh untuk lepas landas. Proposisi yang menarik ini dijadikan pangkal tolak diskusi panel mengenal peranan dunia usaha, khususnya swasta nasional, dalam Pelita IV, diselengarakan harian Suara Karya, minggu lalu, di Hotel Indonesia, Jakarta. Selama dua hari penuh, dari pukul 9 pagi hingga 10 malam, lebih dari 200 orang mendiskusikan masalah yang cukup hangat itu. Peserta datang dengan berbagai persepsi, observasi, dan pengalaman. Ada yang beranggapan bahwa sektor swasta cuma embel-embel bagi pemerintah: dipakai bila keadaan memaksa dan dibuang bila sudah tidak diperlukan. Ada pula perasaan bahwa sektor swasta dilihat oleh pemerintah hanya dengan sebelah mata dan penuh kecurigaan, walaupun berfungsi sebagai sapi perahan. Ada lagi yang secara lebih fundamental mempertanyakan apakah dalam tata ekonomi Indonesia ada tempat bagi swasta. Bagi kelompok terakhir itu, banyaknya keluhan kalangan swasta yang sudah sering didengungkan bukanlah masalah pokok. Suku bunga riil yang tinggi, perizinan yang berbelit-belit, dan banyak lagi hambatan lain cuma soal sekunder. Bagi swasta, semuanya itu cuma tambahan ongkos yang bebannya mungkin dapat tergeser pada konsumen dan merugikan ekonomi secara keseluruhan. Tapi ada pula pendapat, prosedur perizinan yang rumit itu tak lain adalah alat pemerintah untuk mengekang swasta dan manifestasi sikap permusuhan birokrasi terhadap sektor swasta. Pemerintah ternyata juga masygul dan prihatin melihat soal birokrasi dan perizinan itu. Sistem perizinan yang dimaksudkan oleh pemerintah sebagai alat pengendalian untuk menghindarkan penghamburan dana-dana yang langka memang telah menjadi sedemikian kacau - seperti diakui seorang pejabat - mungkin karena oknum birokrasi dapat memperoleh "keuntungan" dari prosedur perizinan yang semakin berbelit-belit. Permasalahan lainnya ditanggapi semuanya dengan begitu simpatik oleh para pejabat tinggi pemerintah, sehingga tampaknya peserta pulang dengan satu kesimpulan: antara suara swasta dan suara pemerintah sebenarnya tidak ada pertentangan. Kedudukan swasta dan kedudukan pemerintah (negara) dalam tata ekonomi luga tidak perlu dipertentangkan. Peranan swasta yang tangguh merupakan cita-cita implisit dari UUD 1945, demikian ditegaskan. Ditambah lagi, GBHN secara eksplisit menugasi pemerintah membina dunia usaha. Melalui suatu survei, pemerintah telah mencoba mendeteksi faktor apa saja yan terpenting bagi investor swasta. Jawabannya: kestabilan nasional ini, menurut pemerintah, jelas telah dapat diciptakan. Jadi, seharusnya semua sudah beres. Tapi yang terutama diminta oleh swasta bukanlah fasilitas atau proteksi, tapi iklim berusaha yang sehat. Bila ini diartikan kestabilan nasional, memang itulah dengan catatan: stabilitas nasional menjamin adanya kepastian bahwa peraturan-peraturan tidak mendadak sontak berubah-ubah. Dalam masyarakat yang sedang berkembang, memang tidak dapat dihindarkan terjadinya perubahan dalam peraturan atau kebijaksanaan pemerintah. Ini tidak lagi dipersoalkan perlunya intervensi pemerintah juga tidak lagi diperdebatkan. Apapun bentuknya kelak, keikutsertaan dan partnership itulah yang penting. Salah satu rahasia sukses Jepang terletak pada pengelolaan kerja sama antara pemerintah dan swasta. Pejabat tinggi pemerintah dalam diskusi panel itu tampaknya sepakat bahwa menghadapi tantangan yang berat di dalam dan di luar negeri tiaak ada jalan lain kecuali membina kerja sama antara swasta dan pemerintah. Dengan cara ini pula pemerintah akan dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan ekonomi nasional dengan lebih efektif (terarah) dan efisien. Peningkatan pemanfaatan produk dalam negeri, pengalihan teknologi, dan penggalakan ekspor nonmigas merupakan tantangan yang hanya dapat dijawab melalui kerja sama antara pemerintah dan swasta. Bila kesepakatan ini dapat dicapai, bagaimana ia akan dituangkan dalam tindakan? Banyak peserta beranggapan bahwa waktunya telah tiba, dan peluang baik kini tersedia selagi dunia belum sepenuhnya keluar dari resesi. Ada beberapa hal yang kiranya perlu dipikirkan dan dirancang lebih lanjut. Pertama, peningkatan produksi, restrukturisasi, dan rasionalisasi industri diselenggarakan melalui suatu pendekatan komoditi, dan untuk sektor (komoditi) tertentu mungkin diperlukan suatu crash program sesuai dengan prioritas yang ditetapkan pemerintah. Melalui pendekatan ini diharapkan koordinasi antardepartemen dapat lebih terjamin. Sebab, apa pun komoditinya, tantangan keadaan mengharuskan adanya mekamisme atau organisasi yang tangguh, mulai dari persiapan produksinya sampai pemasarannya, termasuk ke luar negeri. Kesemuanya ini tidak lagi dapat dilaksanakan secara sektoral. Kedua, melalui pengaturan serupa akan dapat terjalin kerja sama antara pemerintah dan swasta yang fungsional: mission oriented, dengan target yang disepakati bersama. Sebabnya ialah ibaratnya semua kekuatan nasional harus bisa dimobilisasikan untuk maju ke medan pertempuran. Masalahnya adalah luasnya medan tersebut di atas: berbagai pasar di berbagai negara juga harus bisa diterobos. Apabila prioritas telah ditetapkan pemerintah, pemerintah (satuan-satuan tugasnya) harus mengambil inisiatif untuk mengorganisasikan sektor swasta (perusahaan) untuk dilibatkan dalam keseluruhan usaha, mulai dari investasi, produksi, sampai kepada pemasaran, komoditi per komoditi. Dengan cara ini lambat laun akan dapat ditumbuhkan organisasi-organisasi yang tangguh, baik di kalangan perusahaan swasta, BUMN, maupun gabungan dari keduanya, dan sektor koperasi dilibatkan pula. Ketiga, dengan cara ini orientasi birokrasi secara terpaksa (atau dipaksa) akan berubah. Bila tampaknya sudah ada kesepakatan antara pejabat tinggi pemerintah dan swasta mengenai cara menjawab tantangan, belum secara otomatis akan tercipta orientasi birokrasi yang sesuai. Perizinan segera akan disederhanakan dan pengendalian perizinan - yang pada asasnya merupakan alat pengendali - sedang dirumuskan pemerintah. Pendekatan yang diajukan di atas kiranya akan dapat memperlancar dan memberikan arti positif pada "pengendalian" tadi. Apabila pemerintah mengambil inisiatif mengorganisasikan kegiatan ekonomi tertentu secara terarah dengan melibatkan sektor swasta, dalam rangka ini pula dapat ditetapkan insentif tertentu, mekanisme dan aturan permainan plus aturan kerja sama yang jelas. dengan demikian, perizinan berubah sifatnya dari sesuatu yang berorientasi negatif menjadi instrumen yang positif. Pengelola instrumen itu, yakni birokrasi, harus menyesuaikan diri. Birokrasi tidak lagi dapat menempatkan dirinya sebagai "musuh" sektor swasta (dan sebaliknya juga demikian), tapi bersama-sama berada dalam jajaran yang sama. Sebab, perizinan tidak lagi semata-mata menjadi alat birokrasi (yang terbukti menjadi tidak terkendali), tapi merupakan alat nasional untuk memenangkan suatu pertempuran. Untuk itu, sektor swasta sendiri harus berbenah diri. Mampukah mereka? Bagaimana dengan Kadin: apakah perlu menunggu undang-undang Kadin? Sudahkah sektor swasta ikut terjangkit penyakit birokrasi? Swasta sendirilah yang harus menjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini