Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT itu datang dari Amsterdam. Dilayangkan oleh Rijkman Groenink, Chief Executive Officer ABN Amro Holding NV, surat ini ditujukan kepada kantor-kantor ABN Amro di seantero dunia. Isinya, meminta karyawan tetap fokus dalam melayani nasabah. ”Ini penting untuk menunjukkan bahwa bisnis tetap berjalan seperti biasa, tidak terpengaruh oleh berbagai laporan media,” tulisnya pada Rabu pekan lalu.
Groenink terpaksa menulis surat itu sehubungan dengan gencarnya pemberitaan ihwal rencana penggabungan usaha antara ABN Amro dan Barclays Plc., bank Inggris terbesar ketiga. Hiruk-pikuk pemberitaan itu membuat karya-wan ABN Amro diberondong pertanyaan oleh para nasabahnya. Beragam spekulasi tentang masa depan bank tersebut terus merebak.
Apalagi, tawaran Barclays bukan hal baru. Dua tahun lalu, bank yang berpusat di London ini sudah kesengsem untuk meminang ABN Amro karena memiliki jaringan yang cukup kuat di Asia, Amerika Serikat, dan Brasil. Barclays memang berikhtiar melebarkan sayap bisnisnya di wilayah-wilayah ini. Apalagi, ABN Amro memiliki 4.500 kantor cabang. Rencana itu menguap di tengah jalan.
Lama tak ada kabar, Barclays kembali mendekat setelah ABN yang berpusat di Amsterdam itu mendapat tekanan bertubi-tubi dari pemegang sahamnya pada akhir Februari lalu. Mereka dongkol dengan kinerja bank tersebut.
Laba bersih ABN terus menyusut sejak 2003 sampai 2005. Dari US$ 3,9 miliar (Rp 33,5 triliun) keuntungan merosot ke angka US$ 3,3 miliar. Jumlah itu hanya sepertujuh dari laba yang sukses dikaut Citigroup, raksasa bank asal Amerika Serikat. Keberhasilan ABN meraup laba US$ 5,4 miliar pada tahun lalu tetap tidak bisa meredam kegelisahan pemegang saham.
TCI dan Toscafund, dua lembaga pengelola dana asal Inggris, yang masing-masing mengantongi satu persen saham ABN Amro, menilai pencapaian itu masih jauh dari yang dijanjikan. Soalnya, enam tahun lalu, ketika didapuk menjadi CEO, Groenink sesumbar bisa membawa ABN Amro ke jajaran lima besar dunia. Tapi hingga kini, ditilik dari labanya, bank asal Belanda itu hanya menempati urutan 16 besar dunia.
Groenink, yang digaji US$ 2,3 juta per tahun, dianggap gagal memenuhi target keuntungan. Berbagai langkah yang ditempuhnya, seperti mengakuisisi Banca Antonveneta, bank Italia, dua tahun lalu, juga gagal menjaring investor.
Malah ABN memberhentikan 1.500 karyawannya pada dua tahun lalu. Masih ada 900 karyawan yang bekerja di Amerika Utara di ”daftar tunggu” pemecatan tahun ini. Langkah tersebut ditempuh untuk memangkas biaya operasi.
Sederet kondisi itu membuat TCI dan Toscafund mendesak ABN melakukan merger atau menjual beberapa aset demi meningkatkan laba bagi para pemegang saham. Gonjang-ganjing itu membuat beberapa bank Eropa mengajukan tawaran. Dari yang berniat membeli Lasalle Bank, aset emas ABN Amro di Amerika Serikat, hingga mengajukan proposal merger.
Beberapa bank yang mengajukan proposal itu, antara lain, Royal Bank of Scotland (Inggris), Capitalia Bank (Italia), BNP Paribas (Prancis), Barco Santander (Spanyol), Banco Bilbao Vizcaya Argentaria (Spanyol), ING (Belanda), dan Barclays (Inggris).
Tapi ABN Amro memilih Barclays. Mimpi Barclays bersanding dengan ABN pun tinggal menunggu waktu. Meski baru memasuki tahap awal, pembicaraan sudah menuai hasil. Dalam siaran persnya, dua bank yang akan melebur itu sepakat bermarkas di Amsterdam, tempat ABN selama ini berkantor.
Mereka juga setuju perusahaan baru itu kelak dipimpin oleh wakil dari Barclays. Komisaris utamanya dipilih dari ABN. Melihat komposisi itu, besar kemungkinan John Varley, CEO Barclays saat ini, yang akan menempati posisi puncak. Adapun Groenink bakal menjadi komisaris utama.
Kedua bank yang telah bersatu itu akan mencatatkan usahanya di Bursa Efek London dan Bursa Efek Ams-terdam. Demi memuluskan rencana merger, bank sentral Belanda ditunjuk sebagai regulator utama.
Toh, kesepakatan tersebut masih menyimpan tanda tanya. ”Yang dinanti-nanti pemegang saham adalah harga dan strategi bisnis ke depan,” kata Rene Bastiaenen, Manajer Eureffect BV, seorang pemegang saham ABN.
Dua bank itu memang masih mengunci rapat-rapat harga saham ABN yang akan dibayar Barclays. Namun, para analis menaksir, bank asal London yang berdiri sejak 1896 itu akan menebus setiap lembar saham dengan harga 33–35 euro. Bila itu terealisasi, pembelian ABN akan menjadi yang terbesar dalam sejarah perbankan dunia.
Hingga akhir pekan lalu, harga saham ABN Amro melejit ke angka 31,17 euro (US$ 41,5). Pencapaian itu menyebabkan nilai kapitalisasi ABN menembus US$ 79 miliar (Rp 719 triliun). Segepok duit inilah yang setidaknya mesti disiapkan Barclays bila ingin membeli seluruh saham ABN. Adapun nilai saham Barclays melompat 3,69 persen menjadi US$ 13,64 per lembar dengan nilai kapitalisasi US$ 89,4 miliar (Rp 815,3 triliun).
Bila persatuan kedua bank ini terlaksana, kapitalisasi pasarnya US$ 168,4 miliar. Artinya, Barclays-ABN akan menempati nomor dua perbankan Eropa (setelah HSBC) dan kelima terbesar di dunia. Citigroup tetap bertakhta di puncak dunia dengan kapitalisasi pasar US$ 275 miliar. Bank hasil merger itu akan menghimpun sekitar 47 juta nasabah, 220 ribu karyawan, dan ber-operasi di 50 negara.
Kesepakatan kini tinggal seujung kuku, tapi TCI dan Toscafund meminta agar eksklusivitas yang diberikan Barclays tidak menutup ruang bagi direksi ABN untuk mempertimbangkan tawaran dari bank lain. ”Agar hasil yang diperoleh memberikan keuntungan yang terbaik buat pemegang saham,” kata Paul Kajul, juru bicara TCI.
Yandhrie Arvian (Bloomberg, AP, AFP, BBC)
5 Raja Uang
TAKHTA itu diduduki Citigroup. Bank yang berpusat di New York, Amerika Serikat, itu selalu memiliki nilai kapitalisasi dan laba terbesar di dunia. Pendapatannya tahun lalu bahkan bisa untuk membeli 382 miliar tiket busway di Jakarta. Rencana penggabungan usaha antara ABN Amro dan Barclays pun masih dua pertiga nilai kapitalisasi Citigroup.
Citigroup
Perusahaan terbesar dan paling menguntungkan di dunia (versi Forbes Global 2000 pada 2006) Nilai kapitalisasi: US$ 275 miliar Laba: US$ 21,53 miliar Pendapatan: US$ 146,56 miliar Aset: US$ 1,9 triliun Gaji CEO: US$ 13 juta per tahun Kantor cabang: 8.110 Perwakilan: 100 negara ATM: 8.800 Pegawai: 327 ribu Nasabah: 200 juta
Bank of America
Bank komersial terbesar di Amerika Serikat dan perusahaan terbesar ketiga di dunia (versi Forbes Global 2000 pada 2006) Nilai kapitalisasi: US$ 230 miliar Laba: US$ 21,13 miliar Pendapatan: US$ 74,2 miliar Aset: US$ 1,45 triliun Gaji CEO: US$ 7,15 juta per tahun Kantor cabang: 5.700 Perwakilan: 30 negara ATM: 17 ribu Pegawai: 203 ribu
Industrial and Commercial Bank of China
Salah satu bank terbesar di Cina. Memiliki nilai kapitalisasi kedua terbesar setelah Citigroup. Nilai kapitalisasi: US$ 250 miliar Laba: US$ 4,3 miliar Pendapatan: US$ 17,8 miliar Aset: US$ 834 miliar Kantor cabang: 21 ribu (domestik) dan 100 di seluruh dunia Nasabah: 8 juta (korporat), 110 juta (individu)
HSBC
Perusahaan terbesar kelima di dunia (versi Forbes Global 2000 pada 2006) Nilai kapitalisasi: US$ 200 miliar Laba: US$ 16,8 miliar Pendapatan: US$ 70,1 miliar Aset: US$ 1,86 triliun Gaji CEO: US$ 5,53 juta per tahun Kantor cabang: 9.800 Perwakilan: 80 negara Pegawai: 312 ribu Nasabah: 100 juta
ABN Amro-Barclays
Yang satu bank terbesar di Belanda, yang lain nomor tiga di Inggris. Keduanya berencana melakukan penggabungan usaha. Nilai kapitalisasi: US$ 168 miliar Laba: US$ 14,45 miliar Pendapatan: US$ 73,5 miliar Aset: US$ 2,9 triliun Perwakilan: 50 negara Pegawai: 220 ribu Nasabah: 47 juta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo