Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bersilang Di Lima Kota

Bis kota PN Damri yang merasa untung, tapi punya hutang, kini melayani jalur angkutan di 5 kota: Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan tanjung karang & bis kota swasta merasa tersaing. (eb)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGKUTAN umum bis kota di Bandung, yang diusahakan PN DAMRI, Kamis minggu lalu genap berusia setahun. Usaha ini memang bukan yang pertama kalinya. 1964 PN DAMRI pernah membuka jalur bis kota di Bandung. Tak sampai dua tahun, tutup. 1967 dua pengusaha swasta mencoba mnggantikannya. Hasilnya sama saja: tak sampai dua tahun, bubar. Sekarang, Yusminar Pandaga, Kepala Unit V PN DAMRI Bandung, tidak terang-terangan mengatakan bis kota Bandung untung. "Kalau rugi, masakan dari 20 bis sekarang menjadi 88 bis," katanya. Bisnya, itulah memang merupakan modal utama dan sekaligus persoalan pokok yang harus dihadapi pengusaha. Berbagai masalah yang mengakibatkan perusahaan untung atau rugi, jalan atau tidak sebagian besar datang dari bis. 1964 dulu itu misalnya, PN DAMRI menggunakan bis Ikarus buatan Rusia. Begitu hubungan dengan Rusia macet -- karena ada G30S -- suku cadang Ikarus pun menghilang dari peredaran. Akibatnya banyak bis PN DAMRI nongkrong saja dan sudah tentu pemasukan berkurang. Akhirnya ditutup. Kini PN DAMRI menggunakan bis Mitsubishi dari Jepang dan Tata dari India untuk jalur bis kota di lima kota: Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan Tanjungkarang. Jumlah biskota PN DAMRI di lima kota itu 480 buah. Dan menurut Darmansjah Oemar, 48 tahun, Direktur Niaga & Angkutan PN DAMRI, "dari uang karcis saja bisa menutup biaya operasi dan menyisihkan biaya guna penggantian suku cadang." Tapi, dengan pemasukan terbatas tersebut -- tarip tetap Rp 25 di Semarang dan Rp 30 untuk kota lainnya belum cukup syarat guna mempertahankan kelangsungan bis kota. Apalagi mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Di Surabaya, dari 170 bis sudah 18 buah yang tak bisa digunakan lagi. Padahal menurut perhitungan Martolo, 53 tahun, Kepala PN DAMRI Surabaya, 1980 nanti Surabaya membutuhkan tak kurang 250 bis. Dari mana diperoleh itu bis, kalau ternyata pemasukan karcis hanya bisa menutup biaya dan menyediakan suku cadang saja? Umum Sistim subsidi bersilang digunakan PN DAMRI mengelola usaha bisnya. Artinya, di samping bis kota, perusahaan negara itu pun memiliki trayek komersial antar kota se Jawa sampai Tanjungkarang (210 bis). Dengan keuntungan dari antar-kotanya, ternyata tidak saja PN DAMRI bisa mengembangkan usaha bis kotanya, tapi di Surabaya dan Medan malahan mampu membangun terminal. Juga PN DAMRI kini mampu menyediakan 93 bis yang dioperasikan di jalur-jalur perintis, misalnya Kupang, Jayapura, Manokwari, yang tentu saja merupakan pos rugi. Tapi jangan dikira PN DAMRI luput dari hutang. Menurut Darmansjah, "seluruh sisa hutang dalam negeri kini berjumlah Rp 540 juta. Perinciannya, kepada BBD (Bank Bumi Daya) sebesar Rp 220 juta, kepada Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) Rp 320 juta. Itu belum termasuk pembelian 400 chasis bis Tata dari India yang harus dicicil 8 tahun lewat Bapindo. Kita optimis semua hutang dapat dilunasi tepat pada waktunya," kata Direktur Niaga & Angkutan itu. Anak Emas Tapi ada juga suara tak enak. Di Solo CV Surya Kencana yang hanya memiliki 6 bis kota mulai kuatir usaha bis kota diambilalih PN DAMRI. Memang ada alasannya. Setelah 8 tahun operasi, bis-bisnya sering rusak. Untuk meremajakannya, BBD ternyata tak bersedia memberi kredit. Untuk mencoba menaikkan pendapatan dengan menaikkan tarip -- sekarang Rp 25 -- Pemda setempat tak memberi izin. Dan pihak PN DAMRI pusat tak menyangkal, meski juga tak membenarkan. Hanya kenyataannya, angkutan kota di Solo memang sedang ditinjau Ditjen Perhubungan Darat. "Tahun ini belum ada rencana konkrit PN DAMRI untuk operasi di Solo," kata Darmansjah. Nah, CV Surya Kencana boleh lega sedikit. Di Medan, 70 bis PN DAMRI oleh pengusaha angkutan kota swasta dianggap "menimbulkan masalah." Ini soal pembagian jalur. PN DAMRI dianggap menikmati bagian jalur ramai, sementara yang swasta merasa mendapat jalur sepi. Akibatnya sopir-sopir opelet atau bis-bis mini mengabaikan peraturan lalu-lintas ngebut, berhenti di luar halte dan sebagainya. Alasannya mengejar setoran. Sementara orang berpendapat, "penganakemasan" PN DAMRI -- seperti yang terjadi di Medan -- berarti mematikan usaha swasta, justru ketika semangat wiraswasta sedang digalakkan. Tapi kalaupun si swasta itu lalu dituduh hanya pintar mencari untung, menjadi pertanyaan. Swasta mana pula yang mau merugi. Nah, jalan keluar untuk jenis pengangkutan yang dibutuhkan orang banyak itu paling baik memang diurus langsung oleh pemerintah. Dengan kata lain: pos rugi, atau sudah bagus kalau bisa menutup ongkos. Asal saja, setelah dipegang pemerintah kelak tak mengalami nasib seperti PN PPD, yang kini berhutang sampai Rp 11 milyar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus