ANGKUTAN umum bis kota di Bandung, yang diusahakan PN DAMRI,
Kamis minggu lalu genap berusia setahun. Usaha ini memang bukan
yang pertama kalinya. 1964 PN DAMRI pernah membuka jalur bis
kota di Bandung. Tak sampai dua tahun, tutup. 1967 dua pengusaha
swasta mencoba mnggantikannya. Hasilnya sama saja: tak sampai
dua tahun, bubar.
Sekarang, Yusminar Pandaga, Kepala Unit V PN DAMRI Bandung,
tidak terang-terangan mengatakan bis kota Bandung untung. "Kalau
rugi, masakan dari 20 bis sekarang menjadi 88 bis," katanya.
Bisnya, itulah memang merupakan modal utama dan sekaligus
persoalan pokok yang harus dihadapi pengusaha. Berbagai masalah
yang mengakibatkan perusahaan untung atau rugi, jalan atau
tidak sebagian besar datang dari bis. 1964 dulu itu misalnya, PN
DAMRI menggunakan bis Ikarus buatan Rusia. Begitu hubungan
dengan Rusia macet -- karena ada G30S -- suku cadang Ikarus pun
menghilang dari peredaran. Akibatnya banyak bis PN DAMRI
nongkrong saja dan sudah tentu pemasukan berkurang. Akhirnya
ditutup.
Kini PN DAMRI menggunakan bis Mitsubishi dari Jepang dan Tata
dari India untuk jalur bis kota di lima kota: Bandung, Surabaya,
Semarang, Medan dan Tanjungkarang. Jumlah biskota PN DAMRI di
lima kota itu 480 buah. Dan menurut Darmansjah Oemar, 48 tahun,
Direktur Niaga & Angkutan PN DAMRI, "dari uang karcis saja bisa
menutup biaya operasi dan menyisihkan biaya guna penggantian
suku cadang."
Tapi, dengan pemasukan terbatas tersebut -- tarip tetap Rp 25 di
Semarang dan Rp 30 untuk kota lainnya belum cukup syarat guna
mempertahankan kelangsungan bis kota. Apalagi mengembangkannya
sesuai kebutuhan masyarakat. Di Surabaya, dari 170 bis sudah 18
buah yang tak bisa digunakan lagi. Padahal menurut perhitungan
Martolo, 53 tahun, Kepala PN DAMRI Surabaya, 1980 nanti Surabaya
membutuhkan tak kurang 250 bis. Dari mana diperoleh itu bis,
kalau ternyata pemasukan karcis hanya bisa menutup biaya dan
menyediakan suku cadang saja?
Umum
Sistim subsidi bersilang digunakan PN DAMRI mengelola usaha
bisnya. Artinya, di samping bis kota, perusahaan negara itu pun
memiliki trayek komersial antar kota se Jawa sampai
Tanjungkarang (210 bis). Dengan keuntungan dari antar-kotanya,
ternyata tidak saja PN DAMRI bisa mengembangkan usaha bis
kotanya, tapi di Surabaya dan Medan malahan mampu membangun
terminal. Juga PN DAMRI kini mampu menyediakan 93 bis yang
dioperasikan di jalur-jalur perintis, misalnya Kupang, Jayapura,
Manokwari, yang tentu saja merupakan pos rugi.
Tapi jangan dikira PN DAMRI luput dari hutang. Menurut
Darmansjah, "seluruh sisa hutang dalam negeri kini berjumlah Rp
540 juta. Perinciannya, kepada BBD (Bank Bumi Daya) sebesar Rp
220 juta, kepada Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) Rp 320
juta. Itu belum termasuk pembelian 400 chasis bis Tata dari
India yang harus dicicil 8 tahun lewat Bapindo. Kita optimis
semua hutang dapat dilunasi tepat pada waktunya," kata Direktur
Niaga & Angkutan itu.
Anak Emas
Tapi ada juga suara tak enak. Di Solo CV Surya Kencana yang
hanya memiliki 6 bis kota mulai kuatir usaha bis kota
diambilalih PN DAMRI. Memang ada alasannya. Setelah 8 tahun
operasi, bis-bisnya sering rusak. Untuk meremajakannya, BBD
ternyata tak bersedia memberi kredit. Untuk mencoba menaikkan
pendapatan dengan menaikkan tarip -- sekarang Rp 25 -- Pemda
setempat tak memberi izin. Dan pihak PN DAMRI pusat tak
menyangkal, meski juga tak membenarkan. Hanya kenyataannya,
angkutan kota di Solo memang sedang ditinjau Ditjen Perhubungan
Darat. "Tahun ini belum ada rencana konkrit PN DAMRI untuk
operasi di Solo," kata Darmansjah. Nah, CV Surya Kencana boleh
lega sedikit.
Di Medan, 70 bis PN DAMRI oleh pengusaha angkutan kota swasta
dianggap "menimbulkan masalah." Ini soal pembagian jalur. PN
DAMRI dianggap menikmati bagian jalur ramai, sementara yang
swasta merasa mendapat jalur sepi. Akibatnya sopir-sopir opelet
atau bis-bis mini mengabaikan peraturan lalu-lintas ngebut,
berhenti di luar halte dan sebagainya. Alasannya mengejar
setoran.
Sementara orang berpendapat, "penganakemasan" PN DAMRI --
seperti yang terjadi di Medan -- berarti mematikan usaha swasta,
justru ketika semangat wiraswasta sedang digalakkan. Tapi
kalaupun si swasta itu lalu dituduh hanya pintar mencari untung,
menjadi pertanyaan. Swasta mana pula yang mau merugi.
Nah, jalan keluar untuk jenis pengangkutan yang dibutuhkan orang
banyak itu paling baik memang diurus langsung oleh pemerintah.
Dengan kata lain: pos rugi, atau sudah bagus kalau bisa menutup
ongkos. Asal saja, setelah dipegang pemerintah kelak tak
mengalami nasib seperti PN PPD, yang kini berhutang sampai Rp 11
milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini