PERTEMUANNYA dengan Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Oemar Seno
Adji SH, 5 Mei lalu menurut Menteri Agama H. Alamsyah telah
"berjalan baik dan mencapai kesepakatan". Perbedaan faham
sekitar "jalan pengadilan" -- yang antara lain mempersoalkan
pelaksanaan hak Mahkamah Agung sebagai satu-satunya badan
pengadilan tertinggi negara -- diharapkan selesai dengan
pertemuan tersebut.
Bahwa MA adalah pengadilan pemberi kata akhir bagi perkara
kasasi dan pengawas tertinggi atas semua lingkungan Peradilan
Umum, Militer dan Agama, tak ada soal lagi. Kecuali satu hal
berbagai undang-undang yang harus mengaturnya, seperti Acara
Peradilan Agama, Kasasi, Hukum Waris Nasional, Peraturan
Pelaksanaan (tertentu) dari UU Perkawinan bahkan mengenai
susunan dan kekuasaan Badan Peradilan Agama, menurut Menteri
Agama memang masih harus lama ditunggu tanggal terbitnya.
Tak apa. "Semua itu dapat diselesaikan kemudian," kata Alamsyah.
Berfikir sama dengan Ketua Mahkamah Agung, bahwa pencari
keadilan tak layak dirugikan lantaran belum ada undang-undang
pengatur jalan pengadilan, untuk sementara boleh diselesaikan
dengan "peraturan yang ada saja dulu." Hanya, lanjut Menteri
Agama, Hakim Agung bidang Agama yang mengurus perkara kasasi
diperlukan lebih mendesak.
Pertemuan awal bulan lalu di gedung MA di Jalan Lapangan Banteng
Utara itu, menurut Menteri Agama, baru kesepakatan untuk memilih
Hakim Agung bidang Agama dari para Hakim Agung yang sudah ada.
Itu pilihan kedua. Kemungkinan pertama, yaitu mengangkat Hakim
Agung baru dengan segala macam kerepotannya dikesampingkan --
sebab hak mengajukan calon harus datang dari Menteri Kehakiman
atau Menteri Agama pun mungkin akan jadi perkara yang tak kurang
berabenya. Haklm Agung mana yang pantas mengurus perkara dari
Peradilan Agama, kata Menteri Agama, "saya percayakan saja
kepada Ketua Mahkamah Agung."
Tapi sebelum bertemu dengan Menteri Agama bulan ini, ternyata
sejak 10 April MA sudah lebih dulu menetapkan dan menugaskan 6
Hakim Agung "untuk menyidangkan dan menyelesaikan"
perkara-perkara kasasi dari Peradilan Agama. Ini tercantum
dalam SK Ketua Mahkamah Agung tentang "Penyelesaian Pemeriksaan
Dalam Kasasi Perkara-Perkara Yang Berasal Dari Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama" (No. 3/KMA/1979). Pertimbangannya,
perkara kasasi yang kian menumpuk baik melalui Peradilan Agama
sendiri maupun yang diterima langsung dari pemohon, perlu segera
dibereskan.
Geleng Kepala
Tak ada publikasi tentang SK Ketua MA tersebut. Namun isinya
antara lain menyebut Nyonya Widoyati Wiratmo Soekito SH, Z.
Asikin Kusumah Atmadja SH, B.R.M. Hanindyopoetro Sosropranoto
SH, Purwoto S. Gandasubrata SH, Kaboel Arifin SH dan Busthanul
Arifin SH, sebagai para Hakim Agung yang akan menangani semua
kasasi dari Mahkamah Syariah Tinggi atau propinsi itu.
Hamka, Ketua Majelis Ulama Indonesia, geleng kepala. Baginya
sengketa yang menyangkut hukum Islam (seperti talaq, rujuk dan
berbagai jenis lainnya), hanya boleh diputus oleh hakim "yang
memahami dan menhaati agama Islam." Syarat tersebut, menurut
Hamka belum terlihat pada salah seorang Hakim Agung yang ada.
Hal ini tergambar pada putusan yang pernah diambil tentang
perceraian Nyonya Cut Satariah yang pernah ditangani Mahkamah
Syariah Tinggi di Aceh. (TEMPO, 5 Mei). Yaitu, tampak ada
"pemaksaan hukum lain bagi orang yang tunduk kepada hukum Islam
oleh hakim yang tidak mengerti hukum Islam," ujar Hamka.
Bukankah keputusan MA bersandar pada UU Perkawinan nasional?
Hamka mengakui, "Undang-undang itu dibuat bukan untuk
menghancurkan hukum Islam." Tapi keputusan MA oleh Majelis Hakim
Agung -- Prof. Oemar Seno Adji (Ketua), Nyonya Widojati dan
Asikin (Anggota) -- disebut Hamka sebagai contoh ketidakcocokan
penerapan UU nasional seharusnya tidak mengabaikan hukum agama.
Seorang pejabat dari lingkungan Departemen Agama juga
berpendapat demikian. Putusan Mahkamah Agung tentang Nyonya
Satariah tadi dianggapnya hanya "menimbulkan dilemma hukum."
Dalam soal perceraian, katanya, bagaimana pun bagi hukum Islam
tetap adanya: talaq jatuh dari pihak suami. UU Perkawinan, yang
disetujui juga bermanfaat bagi upaya mempersulit perceraian,
memang mengharuskan pengucapan ikrar di suatu sidang pengadilan.
Narnun, menurut pejabat tadi, keputusan MA yang ada terasa
menarik hak talaq dari seorang suami ke bawah kekuasaan
pengadilan.
Praktek demikian, lanjutnya, memang khas konstruksi hukum Barat.
"Padahal falsafah hukum Barat berbeda dcngan Hukum Islam -- yang
masih hidup dalam masyarakat dan diakui kelayakan berlakunya di
sini."
Sepanjang "jabatan Hakim Agung bidang agama itu harus diisi oleh
seorang ahli hukum Islam" pendapat Albert Hasibuan SH, pimpinan
organisasi ahli hukum (Ikahi), sesuai dengan Hamka: Namun jika
Hamka menilai Hakim-Hakim Agung tak cukup meyakinkan
pengetahuannya dalam bidang agama dan hukum Islam, Albert tidak
menurunkan komentarnya. Tapi dalam jangka lama, betapapun
panjangnya jalan yang harus diambil, agaknya pengangkatan
seorang ahli dari luar untuk duduk di MA tetap harus ditempuh.
Satu hal memang agak dilupakan oleh banyak pihak UU Perkawinan
merupakan hasil yang dibikin dalam suasana harus cepat-cepat --
karena pertentangan waktu itu. Akibatnya masalah kasasi belum
diatur oleh pemerintah dan DPR, sementara perkara mulai harus
diputus. Dan nampaknya MA karena itu terkena getah.
Dari MA tak ada penjelasan. Hakim Agung Kaboel Arifin SH yang
belajar hukum Islam di bangku kuliah, enggan mengetengahkan
pandangannya tentang pelaksanaan hukum agama di badan pengadilan
tertinggi negara yang akan ditanganinya kelak. "Pokoknya saya
hanya menjalankan tugas saja," katanya. Hakim Agung yang lain
juga diam. "Tanya Pak Ketua saja -- itu persoalan sensitif."
Ketua MA sendiri, Seno Adji, cepat menjawab: "Maaf, saya
tidalakan memberi komentar sekarang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini