Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Peradilan Agama, Soal Hakim Agung

Buya Hamka, ketua MUI kurang sependapat dengan pengangkatan hakim agung bidang agama yang tidak memahami dan menghayati agama Islam, terutama UU perkawinan.(hk)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUANNYA dengan Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Oemar Seno Adji SH, 5 Mei lalu menurut Menteri Agama H. Alamsyah telah "berjalan baik dan mencapai kesepakatan". Perbedaan faham sekitar "jalan pengadilan" -- yang antara lain mempersoalkan pelaksanaan hak Mahkamah Agung sebagai satu-satunya badan pengadilan tertinggi negara -- diharapkan selesai dengan pertemuan tersebut. Bahwa MA adalah pengadilan pemberi kata akhir bagi perkara kasasi dan pengawas tertinggi atas semua lingkungan Peradilan Umum, Militer dan Agama, tak ada soal lagi. Kecuali satu hal berbagai undang-undang yang harus mengaturnya, seperti Acara Peradilan Agama, Kasasi, Hukum Waris Nasional, Peraturan Pelaksanaan (tertentu) dari UU Perkawinan bahkan mengenai susunan dan kekuasaan Badan Peradilan Agama, menurut Menteri Agama memang masih harus lama ditunggu tanggal terbitnya. Tak apa. "Semua itu dapat diselesaikan kemudian," kata Alamsyah. Berfikir sama dengan Ketua Mahkamah Agung, bahwa pencari keadilan tak layak dirugikan lantaran belum ada undang-undang pengatur jalan pengadilan, untuk sementara boleh diselesaikan dengan "peraturan yang ada saja dulu." Hanya, lanjut Menteri Agama, Hakim Agung bidang Agama yang mengurus perkara kasasi diperlukan lebih mendesak. Pertemuan awal bulan lalu di gedung MA di Jalan Lapangan Banteng Utara itu, menurut Menteri Agama, baru kesepakatan untuk memilih Hakim Agung bidang Agama dari para Hakim Agung yang sudah ada. Itu pilihan kedua. Kemungkinan pertama, yaitu mengangkat Hakim Agung baru dengan segala macam kerepotannya dikesampingkan -- sebab hak mengajukan calon harus datang dari Menteri Kehakiman atau Menteri Agama pun mungkin akan jadi perkara yang tak kurang berabenya. Haklm Agung mana yang pantas mengurus perkara dari Peradilan Agama, kata Menteri Agama, "saya percayakan saja kepada Ketua Mahkamah Agung." Tapi sebelum bertemu dengan Menteri Agama bulan ini, ternyata sejak 10 April MA sudah lebih dulu menetapkan dan menugaskan 6 Hakim Agung "untuk menyidangkan dan menyelesaikan" perkara-perkara kasasi dari Peradilan Agama. Ini tercantum dalam SK Ketua Mahkamah Agung tentang "Penyelesaian Pemeriksaan Dalam Kasasi Perkara-Perkara Yang Berasal Dari Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Agama" (No. 3/KMA/1979). Pertimbangannya, perkara kasasi yang kian menumpuk baik melalui Peradilan Agama sendiri maupun yang diterima langsung dari pemohon, perlu segera dibereskan. Geleng Kepala Tak ada publikasi tentang SK Ketua MA tersebut. Namun isinya antara lain menyebut Nyonya Widoyati Wiratmo Soekito SH, Z. Asikin Kusumah Atmadja SH, B.R.M. Hanindyopoetro Sosropranoto SH, Purwoto S. Gandasubrata SH, Kaboel Arifin SH dan Busthanul Arifin SH, sebagai para Hakim Agung yang akan menangani semua kasasi dari Mahkamah Syariah Tinggi atau propinsi itu. Hamka, Ketua Majelis Ulama Indonesia, geleng kepala. Baginya sengketa yang menyangkut hukum Islam (seperti talaq, rujuk dan berbagai jenis lainnya), hanya boleh diputus oleh hakim "yang memahami dan menhaati agama Islam." Syarat tersebut, menurut Hamka belum terlihat pada salah seorang Hakim Agung yang ada. Hal ini tergambar pada putusan yang pernah diambil tentang perceraian Nyonya Cut Satariah yang pernah ditangani Mahkamah Syariah Tinggi di Aceh. (TEMPO, 5 Mei). Yaitu, tampak ada "pemaksaan hukum lain bagi orang yang tunduk kepada hukum Islam oleh hakim yang tidak mengerti hukum Islam," ujar Hamka. Bukankah keputusan MA bersandar pada UU Perkawinan nasional? Hamka mengakui, "Undang-undang itu dibuat bukan untuk menghancurkan hukum Islam." Tapi keputusan MA oleh Majelis Hakim Agung -- Prof. Oemar Seno Adji (Ketua), Nyonya Widojati dan Asikin (Anggota) -- disebut Hamka sebagai contoh ketidakcocokan penerapan UU nasional seharusnya tidak mengabaikan hukum agama. Seorang pejabat dari lingkungan Departemen Agama juga berpendapat demikian. Putusan Mahkamah Agung tentang Nyonya Satariah tadi dianggapnya hanya "menimbulkan dilemma hukum." Dalam soal perceraian, katanya, bagaimana pun bagi hukum Islam tetap adanya: talaq jatuh dari pihak suami. UU Perkawinan, yang disetujui juga bermanfaat bagi upaya mempersulit perceraian, memang mengharuskan pengucapan ikrar di suatu sidang pengadilan. Narnun, menurut pejabat tadi, keputusan MA yang ada terasa menarik hak talaq dari seorang suami ke bawah kekuasaan pengadilan. Praktek demikian, lanjutnya, memang khas konstruksi hukum Barat. "Padahal falsafah hukum Barat berbeda dcngan Hukum Islam -- yang masih hidup dalam masyarakat dan diakui kelayakan berlakunya di sini." Sepanjang "jabatan Hakim Agung bidang agama itu harus diisi oleh seorang ahli hukum Islam" pendapat Albert Hasibuan SH, pimpinan organisasi ahli hukum (Ikahi), sesuai dengan Hamka: Namun jika Hamka menilai Hakim-Hakim Agung tak cukup meyakinkan pengetahuannya dalam bidang agama dan hukum Islam, Albert tidak menurunkan komentarnya. Tapi dalam jangka lama, betapapun panjangnya jalan yang harus diambil, agaknya pengangkatan seorang ahli dari luar untuk duduk di MA tetap harus ditempuh. Satu hal memang agak dilupakan oleh banyak pihak UU Perkawinan merupakan hasil yang dibikin dalam suasana harus cepat-cepat -- karena pertentangan waktu itu. Akibatnya masalah kasasi belum diatur oleh pemerintah dan DPR, sementara perkara mulai harus diputus. Dan nampaknya MA karena itu terkena getah. Dari MA tak ada penjelasan. Hakim Agung Kaboel Arifin SH yang belajar hukum Islam di bangku kuliah, enggan mengetengahkan pandangannya tentang pelaksanaan hukum agama di badan pengadilan tertinggi negara yang akan ditanganinya kelak. "Pokoknya saya hanya menjalankan tugas saja," katanya. Hakim Agung yang lain juga diam. "Tanya Pak Ketua saja -- itu persoalan sensitif." Ketua MA sendiri, Seno Adji, cepat menjawab: "Maaf, saya tidalakan memberi komentar sekarang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus