PRESIDEN Bank Dunia Robert McNamara meninggalkan Indonesia
dengan "sejumlah pertanyaan". Ini kesan seorang pejabat di
lingkungan Bank Indonesia.
Mungkin benar. Berbeda dengan kunjungannya yang kedua kali di
Indonesia, yakni pada 1974, kedatangan orang No. 1 Bank Dunia
itu kali ini tidak ditutup dengan pertemuan pers. Dan McNamara,
yang secara kilat meninjau sawah, kampung dan gang-gang sempit
seperti di daerah Cirebon dan Surabaya, mengelak singkat setiap
kali dikejar wawancara.
Padahal perlu juga diketahui oleh rakyat Indonesia bagaimana
pendapat dia tentang kemungkinan Indonesia membayar hutang yang
diberikannya.
Ini jadi penting karena pernyataan Gubernur Jawa Timur Soenandar
Priyosudarmo yang agak lain daripada yang lain. Ia menilai
kredit Bank Dunia untuk perbaikan kampung itu (Kampong
Improvement Project), akan memberatkan APBD saja, di samping
menghilangkan semangat gotong royong. Itu memang baru dirasakan
kemudian, setelah Gubernur Soenandar meneliti sendiri
keberhasilan proyek perbaikan kampung di Malang yang tanpa
kredit Bank Dunia.
Cicilan Makin Membesar
Mulanya, 12 Pebruari lalu, DPRD Kodya Surabaya sudah menyetujui
adanya pinjaman dari Bank Dunia sebanyak Rp 9,2 milyar untuk
perbaikan 28 kampung tiga tahun mendatang ini di Surabaya.
Sebelumnya, kredit Bank Dunia sudah pula disalurkan lewat
pemerintah pusat untuk KIP itu di Surabaya, masing-masing: tahun
1976 sebanyak Rp 250 juta, 1977 Rp 500 juta dan 1978 Rp 750
juta.
Pinjaman tersebut harus dikembalikan selama 20 tahun dengan
tingkat bunga 20% dan masa tenggang (grace period) 5 tahun.
Maka di tahun 1982, tiba saatnya Surabaya mencicil hutang Bank
Dunia yang dibuat pada 1976 sebanyak sekitar Rp 20 juta. Tapi
untuk 1983, setelah ditambah dengan cicilan hutang yang dibuat
pada 1977 sebanyak sekitar Rp40 juta, Surabaya harus membayar Rp
60 juta. Dan setelah dihitung-hitung, pada 1984 nanti Pemda
harus menyisihkan dari APBD-nya sebanyak Rp 120 juta untuk
mencicil hutang Bank Dunia.
Nah, setahun kemudian, di tahun 1985, tiba saatnya Pemda manapun
harus membayar hutang yang dibuat tahun ini. Untuk Surabaya
diperkirakan akan harus menyisihkan Rp 270 juta dari APBD-nya
pada 1985 kelak. Tapi patut dicatat, "semakin tahun jumlah
cicilan itu semakin besar, karena pinjaman tahun 1980 dan 1981
sudah harus pula dicicil pada 1986 dan 1987," kata seorang
pejabat Pemda di Surabaya. "Dan tahun 1987 itu bila tak ada
pinjaman baru lagi setelah 1981 Pemda harus mencicil sebanyak
sekitar Rp 570 juta, mengingat hutang yang dibuat selama 6 tahun
itu sudah harus lunas."
Tidak sampai di situ, maka pada tahun 1987 sampai tahun 2002
Pemda setiap tahun tetap harus menyisihkan sekitar Rp 570 juta
dari APBD-nya, dengan catatan kurs dollar yang sekarang tak
berubah terhadap rupiah.
Bayangan itulah yang rupanya menggoda Gubernur Ja-Tim Soenandar.
"Saya setuju saja dengan bantuan Bank Dunia, tapi untuk proyek
yang bisa menghasilkan hingga tak memberatkan cicilan," katanya
pada Dahlan Iskan dari TEMPO pekan lalu. Misalnya? "Ya, untuk
proyek air minum dan pengairan," katanya.
Gubernur sendiri belum bisa memastikan bagaimana bentuk
peninjauan kembali yang dia maksudkan itu. Tapi setelah
menghadap gubernur pertengahan Mei ini, Walikota Surabaya
Muhadji Widjaja menyatakan "peninjauan kembali untuk Surabaya
akan dimulai setelah proyek KIP tahap ketiga selesai." Artinya,
setelah 1981 nanti.
Malang memang bisa disebut pelopor dari usaha KIP yang tanpa
kredit bank atau lembaga internasional manapun. Sejak 1974
perbaikan kampung di sana dilakukan dengan biaya swadaya
masyarakat yang ditunjang Pemda. "Yang penting adalah bagaimana
menciptakan iklim untuk berlomba kepada setiap kelurahan sampai
RT dalam memperbaiki lingkunganna," kata Walikota Malang Kol R.
Soegijono bangga.
Iklim Berlomba
Tak semua orang beranggapan seperti Soenandar dan Soegijono. Di
Bandung Walikota Husen Wangsaatmadja kepada TEMPO mengakui
program KIP itu cukup mahal biayanya. "Tapi tanpa bantuan dari
lembaga internasional, akan berat," katanya. Biaya untuk
perbaikan kampung di Bandung yang merupakan proyek percobaan
itu, seluruhnya menelan Rp 38 milyar, dengan perincian: Rp 1,6
milyar dari APBD 1979/1980 Kodya Bandung, Rp 4 milyar dari APBD
tingkat I Jawa Barat dan pinjaman dari Bank Pembangunan Asia
(ADB) sebanyak Rp 13,7 milyar. Sisanya yang Rp 6,6 milyar datang
dari APBN pusat.
Di Ujungpandang, dengan anggaran KIP sebanyak Rp 4,5 milyar, 65%
daripadanya datang dari pinjaman Bank Dunia Sedang di Semarang,
Walikota Kol. Haji Hadiyanto yang ditemui wartawan TEMPO Putu
Setia di ruang kerjanya punya pendapat yang seirama dengan
Walikota Ujungpandang Abustam: "Hutang itu terpaksa karena
kampung yang diprogramkan harus segera menjadi baik." Hadiyanto
menunjuk pada berbagai usaha sebelumnya, seperti melalui Inpres,
Bantuan Desa dan APBD. "Tapi berapa sih yang bisa dikerjakan
dengan dana yang terbatas itu," katanya.
Para walikota itu boleh saja senang karena untuk tahun ini
kembali menikmati hutang Bank Dunia atau ADB. Tapi, agar tak
memberatkan beban para penerusnya kelak, apa salahnya mereka itu
belajar dari Malang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini