Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia atau AESI Fabby Tumiwa mengatakan biaya investasi untuk pemasangan solar panel pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS semakin murah dari tahun ke tahun. Menurut catatannya, biaya investasi tersebut telah turun sampai 90 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sekitar 10 tahun lalu harga PLTS untuk 1 kilowatt peak atau kWp masih mencapai lebih dari US$ 15 ribu per kilowat,” ujar Fabby saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 1 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun kini, biaya pemasangan solar panel rata-rata hanya sekitar US$ 400-500 di tingkat dunia. Sedangkan di Indonesia, biaya investasi pemasangan PLTS berkisar Rp 13-18 juta.
Fabby memperkirakan permintaan pembangunan PLTS, khususnya PLTS atap, akan meledak seiring dengan langkah berbagai negara melakukan upaya untuk menekan emisi karbon atau dekarbonisasi. Ia memproyeksikan kapasitas PLTS akan meningkat dari semula 160 gigawatt per tahun menjadi 650 gigawatt per tahun.
Menyitir data Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby melanjutkan ada potensi yang besar dari sisi pengguna untuk pembangunan PLTS tingkat rumah tangga di seluruh Indonesia. Total PLTS rumah tangga atau PLTS atap yang dipasang di rumah-rumah masyarakat bisa mencapai 9-11 persen dari total 75 juta rumah tangga kelas menengah ke atas.
“Kalau kita hitung 10 persen, berarti rata-rata ada 7,5 juta yang berpotensi pasang PLTS atap. Kemudian dari 7,5 juta ini ada kira-kira 2 persen yang secara finansial mampu dengan total konsumsi listrik di atas 2.200 kWh,” ujar Fabby.
Meski diprediksi terus tumbuh, Fabby mengakui terdapat sejumlah tantangan yang dirasakan pelaku industri tenaga surya untuk berkembang. Salah satunya, mayoritas bahan baku komponen PLTS sampai sekarang masih tergantung impor.
Ia mencontohkan komponen low iron glass untuk modul surya yang mesti didatangkan dari Cina atau India. Bahan tersebut, kata Fabby, belum diproduksi oleh perajin kaca di dalam negeri.
Bila komponen panel surya terus-terusan impor, Fabby khawatir persoalan-persoalan yang menyangkut isu keamanan energi akan muncul di masa mendatang. Selain bahan baku, tantangan lainnya adalah Indonesia belum memiliki layanan khusus untuk pengguna PLTS, seperti customer service.
“Maka kami dorong pemerintah untuk membangun energi PLTS dari hulu ke hilir,” ujar Fabby. Menurut Fabby, AESI mendorong tumbuhnya PLTS dengan gerakan seribu solar panel hingga 2030.