RUMAH petak itu nyaris hanya mampu menawarkan pengap kepada setiap pengunjung. Sebuah lemari kayu setinggi 1,5 meter, perabot dapur, beberapa helai pakaian tergantung di dinding tripleks atau teronggok di beberapa pojok ruangan. Plus tujuh orang penghuninya setiap hari berjejalan memperebutkan petak seluas 9 x 3 meter itu.
Tak ada semerbak harumnya potpuri atau semilir sejuknya pendingin ruangan. Lantai yang polos tanpa secuil alas menjalarkan hawa dingin yang terasa menyergap tulang kaki. Satu-satunya tanda kemewahan, kalau boleh disebut begitu, dalam rumah petak ini ada sebuah pesawat televisi 14 inci yang tergeletak di sebuah sudut.
Begitulah potret kemewahan hidup Endang Sumardi. Di istana pribadi yang terselip di bilangan Kampung Gebang, Jakarta Barat itu, lelaki berusia 47 tahun ini menjalani hidup beserta istri dan lima anaknya. Hampir separuh usianya, pria lulusan Sekolah Dasar Cideng, Jakarta Pusat, itu menjalani hidup sebagai buruh di pabrik kaleng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat tinggalnya.
Setiap pagi Endang mengawali harinya dengan berjalan kaki selama setengah jam menuju pabrik. Sesekali saja, jika ada sedikit uang lebih, lelaki berambut ikal ini memberanikan diri naik angkutan kota dengan membayar Rp 300 sekali jalan. Apakah putra pasangan Ian dan Ujuk ini penggemar setia olahraga jalan sehat? Senyum Endang mengembang di balik kumisnya yang tebal ketika mengutarakan alasannya. "Saya harus berbagi uang receh dengan anak-anak," ujarnya dengan nada datar.
Alasan Endang ini tidak mengada-ada. Empat anaknya tengah duduk di bangku sekolah menengah. Sementara si bungsu masih berusia tiga tahun. Untuk kebutuhan pendidikan dan transportasi mereka setiap bulan, Endang mesti merogoh koceknya Rp 235 ribu. Pengeluaran sebesar ini belum termasuk pos belanja dapur, yang membutuhkan Rp 400 ribu, air bersih Rp 13 ribu, dan sewa rumah petak Rp 95 ribu per bulan. Total jenderal anggaran bulanan Endang sekeluarga mencapai Rp 750 ribu.
Anggaran rutin sebesar itu jauh di atas upah resmi Endang, yang cuma Rp 382 ribu per bulannya. Toh, pria peranakan Sunda ini tidak patah semangat. Jurus banting tulang pun ia lakukan dengan cara mengambil jatah lembur di pabrik. Hasilnya lumayan juga. Upah pokok plus honor tambahan Endang dari lembur pernah mencapai Rp 800 ribu. Sayangnya, tidak setiap pekan pabrik milik pengusaha asal Taiwan tersebut memberikan jam kerja ekstra.
Di luar jam lembur, jalan pintas pun pernah dilakukannya. Misalnya dengan pinjam uang temannya, yang mesti ia kembalikan plus bunga 15 persen, atau mengajukan pinjaman ke atasannya di pabrik. Jika cara ini pun tidak bisa mengatasi defisit anggaran, tak jarang Endang menerapkan jurus tambahan: kencangkan ikat pinggang alias mengurangi uang jajan dan makan.
Pada akhir pekan ini, jika tidak ada aral melintang, Endang mestinya bisa tersenyum lebar. Menteri Tenaga Kerja, Bomer Pasaribu, telah menetapkan 1 April 2000 sebagai tanggal berlakunya ketentuan upah minimum regional (UMR) baru bagi para pekerja. Berdasarkan ketentuan baru ini, pemerintah menetapkan kenaikan 15-55 persen upah bagi pekerja di 26 provinsi se-Indonesia.
Nyatanya, mendengar kabar gembira ini, ekspresi wajah Endang tetap datar saja. "Biasa, Pak. Tidak ada yang istimewa dengan UMR," tuturnya. Wajar jika pria berkulit bersih ini bersikap cuek menanggapi berita dari Departemen Tenaga Kerja tersebut. Soalnya, di luar pos anggaran rutin bulanan di atas, Endang masih harus "berjudi" dengan nasib kalau ada anggota keluarganya yang jatuh sakit. Sebab, hal ini berarti ia harus mempersiapkan anggaran ekstra dari kas rumah tangganya.
Keterbatasan dana ini tak jarang mendorong Endang berbuat nekat. Ketika salah seorang putrinya, Endang Komalasari, terserang tipus, terpaksa putrinya harus ngamar di rumah petaknya saja, bukan di ranjang rumah sakit. "Habis, berapa lagi biaya opname yang mesti kami tanggung," tutur Endang dengan pasrah.
Kebutuhan akan kesehatan ini, sebagaimana diakui Bomer, sebenarnya sudah tercakup dalam perhitungan kebutuhan hidup minimum (KHM) yang digunakan pemerintah untuk menetapkan UMR sekarang. Selain kesehatan, KHM ini mencakup kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan rekreasi (lihat boks: Sekadar 'Gula-Gula' bagi Pekerja?).
Bandingkan dengan produk UMR lama, yang lebih menitikberatkan pada kebutuhan fisik minimum (KFM) yang cuma menghitung kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kendati telah melakukan perubahan, Bomer mengingatkan bahwa perhitungan UMR kali ini bukan produk akhir yang sempurna. Mantan Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ini mengaku masih memerlukan waktu untuk membenahi sistem pengupahan di Indonesia.
Agaknya, Endang dan juga rekan-rekannya senasib harus bersabar lebih lama lagi. Moga-moga saja mereka tidak harus menunggu perbaikan nasibnya seperti menanti munculnya Godot, tokoh rekaan sastrawan Samuel Beckett, yang tak kunjung tiba.
Widjajanto, Iwan Setiawan, Wenseslaus Manggut, dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini