Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dadeh, 61 tahun, petani sekampungnya, juga pusing. Gabahnya cuma dihargai Rp 750 per kilogram, sehingga penghasilannya terpangkas menjadi Rp 3 juta. Padahal, tahun ini, hasil panen sawah seluas 1,5 hektare itu mencapai 8 ton gabah. Tahun lalu, hasil panennya hanya 6 ton, tapi ia bisa meraup duit Rp 9 juta. "Saya teu ngarti (tidak mengerti) kenapa bisa anjlok begitu," ujarnya masygul.
Tapi Dadeh masih lebih beruntung daripada Sukro Santoso, petani Sidomulyo, Kebumen, yang sebelum panen tiba, awal Maret lalu, sawahnya sudah digasak wereng. Padinya yang bisa diselamatkan cuma 6 kuintal, dengan harga gabah Rp 900 per kilogram. Ayah dua anak ini tak bisa membayangkan berapa banyak hasil yang bisa dipetik. "Musibah, musibah," katanya sedih.
Menurut perhitungan petani, harga wajar untuk beras Rp 1.700 hingga Rp 1.800 per kilogram. Dengan harga itu, meski penghasilannya pas-pasan, petani bisa terus menyambung hidup seraya kembali menanam padi. Namun, kini beras cuma laku Rp 900 per kilogramberarti pendapatan petani terpangkas 100 persen.
Belum lagi persaingan ketat seperti yang terlihat di Pasar Kebumen. Di sana, selain beras petani, ada beras impor yang harganya lebih murah, beras eks jatah pegawai negeri, dan beras eks JPS, yakni yang diperoleh dari program jaring pengaman sosial. Sukro bukan tidak menyadari, dalam belitan krisis ekonomi kini, konsumen tidak terlalu mementingkan kualitas. Yang penting, harga terjangkau.
Itulah juga yang dihadapi petani dari Ciranjang, Caringin, dan Cibeureumketiga desa itu menghasilkan gabah jenis IR-36 dan IR-64. Mereka hanya mampu menjual Rp 70 ribu hingga Rp 75 ribu per kuintal. Lain halnya petani yang menanam beras pandanwangi. Mereka imun fluktuasi harga karena beras enak itu tetap tinggi harganya, sekitar Rp 150 ribu per kuintal. Tak aneh, saat petani lain megap-megap, petani pandanwangi di Warungkondang, Cianjur, justru tampak sumringah.
Tapi situasi manis itu hanya ditemukan di kalangan petani pandanwangi. Secara umum, petani menangis pilu. Tahun lalu, ketika subsidi pupuk dicabut, mereka masih menanam padi, dengan harapan harga beras akan tetap menguntungkan petani. Ternyata tahun ini, ketika harga beras tak bisa ditekanberhubung subsidi pupuk dicabutjustru harga itu pula yang dipaksa terjun bebas, gara-gara bersaing dengan beras impor. Tidaklah mengada-ada kalau panen raya tahun ini lebih pas disebut sebagai panen lara.
Turunnya harga gabah memang tidak hanya disebabkan oleh beras impor. Ada faktor-faktor lain, misalnya panen yang waktunya berbarengan, di samping terbatasnya dana koperasi unit desa (KUD) untuk membeli gabah petani. KUD memang payah karena tak ada kucuran dana dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Asep Wario, petugas KUD Warna Bhakti, Telagasari, Karawang, mengakui hingga saat ini kredit lunak berbunga rendah belum juga dikucurkan BRI kepada KUD-KUD di tempatnya. Sementara itu, kas depot logistik (dolog) pun kosong, konon juga karena belum menerima kucuran dana. Tak aneh bila Ukan, seorang petani di Cianjur, berbicara polos, "Selama ini, KUD memang tak banyak membantu petani."
Akibatnya, tak ada pilihan selain menjual gabah ke tengkulak. Harganya? Saat normal, mereka menetapkan harga sekitar Rp 1.000 per kilogram, lebih murah dua ratus perak ketimbang harga gabah yang dibeli KUD. Bahkan, tak jarang mereka mengangkut gabah petani langsung dari sawah. Tapi, di balik perilaku yang begitu ramah itu, petani mencium bau nepotisme antara sesama tengkulak. Rupanya, banyak tengkulak karbitan, yang tak lain adalah pegawai dolog atau KUD atau setidaknya keluarganya.
Dalam kemelut ini, apakah pemerintah menonton saja dari jauh? Oh, tentu tidak. Sayangnya, mereka tidak tangkas karena tidak mengantisipasi ancaman beras impor itu sejak dini. Sekarang, Menteri Pertanian M. Prakosa berencana menaikkan bea masuk beras sampai 45-50 persen. Soalnya, kenaikan bea masuk beras sebesar 30 persen, Januari lalu, ternyata tak mampu menahan beras impor yang sebagian masuk nyelonong alias tak terpantau. Akibatnya, stok beras menggunung, harga pun jatuh terempas.
Kondisi yang parah itu semakin runyam karena Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang juga Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Jusuf Kalla, bersama Dana Moneter Internasional (IMF), menolak usul Prakosa. Jadi, belum ada berita gembira bagi petani, bahkan juga tidak ketika Dr. Rizal Ramli ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kepala Bulog yang baru, seiring dengan dilepaskannya badan penyangga beras itu dari naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Rizal tahu apa yang mesti dilakukannya, yakni mendesak pemerintah agar segera memborong gabah petani. Tapi apakah pemerintah juga bisa segera mengucurkan dana untuk itu?
Irfan Budiman, Endah W.S. (Karawang) , Upik Supriyatun (Cianjur), Bandelan Amirudin (Demak), Jalil Hakim (Kebumen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo