Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bila ny. suharti pecah kongsi

Ny suharti membuka rumah makan ayam goreng ny suharti di semarang. ia pisah usaha dengan suaminya bambang sachlan pratohardjo. sachlan menguasai semua rumah makan, termasuk nama ny suharti.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KALAU cinta melekat, tai kucing rasa coklat." Ini bait lagu ciptaan almarhum penyanyi Gombloh, yang populer beberapa tahun lalu. Tapi, kalau cinta mulai luntur, bisnis ayam goreng Ny. Suharti ikut kendur. Lirik yang terakhir ini bukan dari Gombloh, tapi refleksi kerugian yang diderita Ny. Suharti, 52 tahun, sesudah pecah kongsi dengan suaminya Bambang Sachlan Praptohardjo. Setelah hampir 30 tahun membina bisnis dan rumah tangga, kerja sama yang sukses itu bubar. Ny.Suharti hampir tidak kebagian apa-apa. Soalnya, semua rumah makan secara resmi merupakan milik Sachlan. Mungkin saja Suharti ceroboh, atau ia percaya penuh pada Sachlan. Yang pasti, kini Ny. Suharti hanya dapat gigit jari. Entah bagaimana, Oktober lalu, ia membuka Rumah Makan Ayam Goreng Ny. Suharti di Semarang. Logo semula -- dua ekor ayam dengan huruf S di tengahnya dan tulisan Ny. Suharti -- kini, ditambah potret diri Ny. Suharti, dalam busana Jawa. Sebelum ini, dengan logo lama, ayam Ny. Suharti, yang digoreng garing itu, sudah melanglang ke Denpasar, Jakarta, Surabaya, dan Purworejo. Peminatnya banyak. Rumah makan di Jalan Pemuda, Jakarta, yang berkapasitas 150 tempat duduk dan juga yang di Jalan Tendean -- keduanya milik Sachlan -- hampir selalu dipagari deretan mobil pengunjung. Rumah makan di kota lain juga sama larisnya. Lalu, apa yang istimewa dari restoran yang di Semarang? Menu ayam goreng kampung, persis sama, baik rasa maupun harganya (Rp 7.000 per ekor), dengan hidangan di rumah makan Ny. Suharti yang lain. Bedanya, "Ini usaha saya sendiri, tanpa campur tangan Sachlan," ujar Suharti. Ia tidak mau menyebutkan nilai investasi, dan siapa penyandang dananya. Ny. Suharti juga bukam soal kerugian uang dan materi, yang dideritanya. Hanya, Ia tak merahasiakan penyebab pecahnya usaha, yakni hadirnya orang ketiga. Katanya, diam-diam Sachlan mempunyai isteri simpanan di Jakarta. Akibatnya, Sachlan, mengurus dua rumah makan di Jakarta, tak lagi pulang ke Suharti di Yogya. Maka, terjadi perang dingin. Anehnya, suami isteri yang mempunyai empat anak itu, belum resmi cerai. Sementara itu, perebutan harta keluarga terus berlangsung. Menurut Suharti, suaminya bertindak curang. Ia menguasai semua rumah makan, termasuk nama Ny. Suharti, yang menjadi logo usaha. Sachlan menurunkan semua potret Suharti dari dinding restoran. Tapi, nama Suharti, yang merupakan kunci sukses, dibiarkan tetap terpasang. Padahal, menurut sang Nyonya, nama itu sudah termasyhur sebelum ia menikah dengan Sachlan. Ketika rumah makan yang pertama dibuka, nama Ny. Suharti lah yang dipasang. Soalnya, nama itu sudah dikenal di Yogya dan Sala. "Tidak pernah terpikir oleh saya, akan begini jadinya," sesal Ny. Suharti. Pernyataan ini dibantah oleh Sachlan, yang ditemui di Jakarta. Menurut dia, ketika menikahi istrinya, Suharti hanyalah bakul (pedagang), yang menjajakan ayam goreng buatan kakaknya, Mbok Berek, yang memang tersohor di mana-mana. Sachlan, yang ketika itu pegawai Pemda Yogya, jatuh hati pada janda tiga anak itu, dan menikahinya. Berbekal gaji sebagai pegawai Pemda, Sachlan mengaku dapat membeli tanah di Jalan Adisucipto, Yogya, tempat rumah makan yang pertama, dibangun. "Uang pembelian dari saya, jadi tanah dan ijin usaha itu atas nama saya," katanya. Bahkan, resep ayam goreng dan sambal pun, diakui Sachlan, sebagai hasil ulekannya, yang sudah dimintakan paten sejak tiga tahun lalu. Jadi, mengapa memakai nama Suharti? "Yang namanya Ny. Suharti kan tidak hanya dia. Lagi pula itu sekadar nama," begitu Sachlan mengelak. Diah Purnomowati, Bambang Sujatmoko, dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus