TANGGAL 17 bukan saja hari keramat bagi bangsa Indonesia, tapi juga bagi kaum buruh. Pada 17 Januari lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) menjadi undang-undang (UU). Diharapkan, UU baru ini bisa menjawab hak-hak kaum buruh, seperti hak, kewajiban, dan kesejahteraan mereka, yang selama ini belum diatur secara jelas. Ini memang bukan UU pertama yang mengatur soal kesejahteraan buruh. Sebelumnya, mereka dilindungi dengan UU No. 2 Tahun 1951. Namun, UU yang dikeluarkan 40 tahun lalu itu, dirasakan tak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan buruh sekarang. Ketentuan lama, misalnya, hanya mewajibkan perusahaan memberikan ganti rugi atas kecelakaan, dan sama sekali tidak mengatur soal rawat jalan serta perlindungan terhadap buruh wanita yang hamil. Bukan hanya itu kelemahan UU lama. Perusahaan juga tidak diwajibkan mengasuransikan karyawannya, sehingga ganti rugi jadi sesuatu yang tidak pasti. Majikan, dengan alasan perusahaan rugi, bisa berkelit dari kewajibannya. Untuk mengatasi akalakalan pengusaha yang nakal, Pemerintah mendirikan Astek (Asuransi Tenaga Kerja) pada 1977. Dalam Astek jelas-jelas disebut bahwa perusahaan wajib mendaftarkan buruhnya, toh sampai saat ini anggota Astek tak lebih dari empat juta orang -- sekitar 13% jumlah buruh yang terikat dalam hubungan kerja. Dengan disetujuinya UU Jamsostek diharapkan, akalakalan pengusaha mengurangi hak-hak buruh bisa ditekan. Menurut UU yang baru, setiap perusahaan diwajibkan menyediakan Jamsostek. "Sekarang, tidak ada alasan bagi perusahaan untuk mungkir," ujar Payaman Simanjuntak, Dirjen Bina Hubungan Kesejahteraan dan Pengawasan Norma Kerja. Terhadap pengusaha yang nakal, UU ini juga mencantumkan sanksi, sekalipun dinilai masih terlalu ringan. Mereka yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam UU baru, misalnya, hanya diancam hukuman enam bulan penjara atau denda maksimal Rp 50 juta. Adakah para pengusaha bakal menaati UU baru ini? Jawabannya bisa beragam. Sebagian besar menjawab, "Tergantung keadaan perusahaan." Lepas dari soal ditaati atau tidak perbaikan nasib buruh oleh perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja, UU yang baru ini boleh dibilang satu kemajuan di bidang ketenagakerjaan. Soal kesehatan, misalnya, ketentuan baru menyebutkan buruh, termasuk istri dan anak mereka, berhak mendapat rawat jalan tingkat pertama, dan perusahaan juga diwajibkan memberi penggantian untuk kaca mata buruh bersangkutan -- hal-hal yang tercakup dalam UU Tahun 1951. Sebenarnya, ketentuan baru ini sudah dijalankan oleh perusahaan-perusahaan besar, jauh sebelum UU disetujui. Pegawai Astra yang mendapat kecelakaan, misalnya, menurut Vice President Director PT Astra Internasional, Edwin Soeryadjaya, selain mendapat santunan dari Astek, juga dari kantor. "Bahkan untuk jaminan hari tua, kami punya yayasan dana pensiun," kata Edwin. Sekalipun UU baru jauh lebih maju, masih ada saja buruh yang belum diatur di dalamnya, yaitu buruh lepas. Adakah jaminan sosial terhadap mereka juga sama dengan buruh tetap? "Apa perlu buruh lepas mendapat tunjangan hari tua?" Direktur PT Great River Industries, H. Safioen, yang 75% pegawainya adalah buruh lepas, balik bertanya. Lepas dari kekurangan-kekurangan itu, Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Imam Soedarwo, menilai UU baru cukup menjawab tuntutan anggotanya. "Kami memang sudah lama menunggunya," katanya. Bambang Aji dan Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini