Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lada Tanpa Tata Niaga

Central Indonesian Trading Company (ctic), perantara eksportir lada Indonesia membubarkan diri. Penyebabnya, Deregulasi, pasokan lada berlebih dan persaingan yang ketat.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEREGULASI dapat mematikan? Itulah yang terjadi. "Takdir" ini menimpa Central Indonesian Trading Company (CITC), perantara eksportir lada Indonesia, yang berkedudukan di New York dan melayani pasar AS dan Kanada. "Gara-gara deregulasi, pemasukan CITC terus merosot," ujar Ketua CITC, Elam Pasaribu kepada Ivan Haris dari TEMPO. Setelah digerogoti rugi, belum lama ini, CITC membubarkan diri. Modal yang sudah terkumpul sekitar Rp 1 milyar akan segera ditarik dan dibagikan kepada 45 eksportir, yang menjadi pemegang sahamnya. Saham mereka diambil alih empat BUMN, yakni Kerta Niaga, Panca Niaga, Dharma Niaga, dan Cipta Niaga. Elam Pasaribu, bekas Dirut Kerta Niaga, menyerahkan kepengurusan CITC kepada Muhammad Isman. Ambruknya CITC, paling tidak, memukul para eksportir kecil, yang berkat sang agen, banyak terdongkrak usahanya. Sejak berdiri, 1972, trading house rintisan Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo itu membantu eksportir lada, yang tidak mempunyai pembeli di Amerika Utara. Imbalannya, CITC memasang tarif sampai 1,5 %. Tapi, masa jaya CITC mulai menyusut sekitar dua tahun silam. Para eksportir besar mendesak pemerintah membubarkan tata niaga lada, dengan alasan fee CITC terlalu tinggi. Usul itu didukung pemerintah. Dan para eksportir dipersilakan memilih, ekspor langsung atau masih melalui CITC dengan membayar fee. Sebagian besar eksportir lada, yang sudah membina jalur pemasaran sendiri, tentu, tak mau memakai jasa CITC. Memang, CITC berusaha agar dapat bertahan, misalnya, dengan membuka pasaran komoditi lainnya dan menurunkan fee hingga 0,5 %. Tapi, lonceng kematian sudah terlanjur berdentang. Pasaribu mengakui bahwa selain deregulasi, posisi CITC makin payah karena pasokan lada berlebihan. Konsumsi dunia normalnya 140.000 ton/tahun, tapi suplai 160.000 ton/tahun. Lalu, persaingan kian ketat. Tak ayal Brasil unggul karena biaya angkut dari negara itu ke negara konsumen, jauh lebih murah dibanding kita. Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain kecuali menciptakan pasar baru. Siapa yang mau?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus