Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bila Pasak Lebih Besar dari Tiang

Utang yang jatuh tempo pada semester kedua tahun ini diperkirakan mencapai US$ 14,8 miliar. Tekanan terhadap rupiah pun masih belum mengendur.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB Indonesia agaknya masih menjadi bulan-bulanan utang luar negeri yang dibuat pemerintah ataupun swasta. Ibarat besar pasak daripada tiang, perkembangan jumlah utang valuta asing luar biasa cepat, tapi tak diikuti kemampuan membayar utang yang memadai. Akibatnya, banyak utang tidak dilunasi, dan hanya dipindah-pindahkan ke belakang. Jika terus begitu, dampaknya terhadap perekonomian Indonesia akan sangat besar. Yang langsung akan terimbas adalah kurs rupiah, yang kemudian akan menjalar ke sektor lain, terutama anggaran, sektor riil, dan perbankan.

Menurut Deputi Gubernur BI, Achjar Iljas, utang yang akan jatuh tempo pada semester kedua tahun ini mencapai US$ 14,8 miliar. Itu terdiri dari utang pemerintah US$ 4 miliar dan utang swasta US$ 10,7 miliar. Sementara itu, pada semester lalu, utang valuta asing yang jatuh tempo mencapai US$ 16,7 miliar dan yang dibayar sampai Mei 2001 mencapai US$ 11,5 miliar. Tahun depan, utang yang mesti dibayar memang berkurang lumayan besar, yakni hanya US$ 23 miliar (Rp 220 triliun). Tapi jumlah itu tetap saja menyesakkan karena masih jauh lebih besar dibandingkan dengan penerimaan pajak dan cukai pada tahun ini, yang hanya sebesar Rp 186 triliun.

Alhasil, jangan harap rupiah bisa terbebas dari tekanan dolar AS. Bagaimana bisa, bila kebutuhan dolar selalu lebih besar ketimbang pasokannya. Pasokan dolar tak mencukupi lantaran pengucuran dana oleh Dana Moneter Internasional (IMF) tersendat-sendat. Sementara itu, investasi langsung asing (foreign direct investment) tak kunjung masuk. Celakanya, dolar yang ada di dalam negeri pun banyak yang keluar. Menurut hitungan ekonom Dradjad H. Wibowo dari Indef (Institute for Development of Economics & Finance), duit yang lari ke luar negeri mencapai US$ 5,5 miliar tahun lalu. Devisa hasil ekspor Indonesia juga masih banyak yang diparkir di luar negeri.

Menurut pengamat pasar uang Farial Anwar, seharusnya, dengan surplus perdagangan internasional yang cukup besar, rupiah bisa menguat. Tapi pada kenyataannya rupiah terus tertekan sepanjang tahun 2000-2001. Tahun lalu, misalnya, ada surplus perdagangan sampai US$ 28 miliar. Toh, surplus itu tak banyak menolong. "Berarti ada banyak dana yang diparkir di luar negeri," kata Farial. Dugaan ini dibenarkan Achjar. "Namun, kalau kita bisa memulihkan kepercayaan mereka, saya yakin devisa ekspor akan banyak disimpan di sini," kata Achjar.

Sementara pasokan dolar seret, sebaliknya dengan permintaan terhadap dolar. Selain untuk membayar utang, dolar juga diperlukan untuk mengimpor barang. Selama semester I tahun ini, impor ternyata naik cukup besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni hampir 30 persen. Jika kecenderungan ini berlanjut, tekanan dari sisi impor ini akan makin terasa karena laju ekspor pada tahun ini sedikit melambat. Dengan kondisi seperti itu, target kurs pemerintah sebesar Rp 9.600 per dolar AS agaknya bakal sulit tercapai. Menurut Achjar, untuk bisa mencapai kurs itu, pada semester II nilai tukar rupiah mesti berada pada kisaran Rp 8.500.

Menurut pengamat pasar uang yang juga Direktur Muda Bank Buana Indonesia, Pardi Kendy, tak cuma soal tekanan utang dan impor yang bisa membuat rupiah sulit menguat. Ada soal lain yang selalu diabaikan, yakni pasar. Pemerintah tak bisa mengabaikannya karena pasar sangat jeli melihat setiap perubahan yang ada. "Misalnya, Kamis pekan lalu wajah Presiden Megawati agak cemberut. Pasar membaca realitas itu, ini ada apa," kata Pardi. Kamis pekan lalu, Presiden Mega memang bertemu dengan para ketua partai politik, sementara pasar menunggu-nunggu kabinet yang belum juga terbentuk. Yang jelas, pada penutupan perdagangan Kamis sore, rupiah melemah cukup besar dari Rp 9.425 per dolar AS menjadi Rp 9.573.

Karena itu, kata Farial, pemerintahan Megawati harus mempertimbangkan betul urusan kabinet. "Jika pasar tak bisa menerimanya, pemerintahan Mega akan sulit menguatkan rupiah," kata Farial.

M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani Rencana Pelunasan Utang Luar Negeri Tahun 2001 (US$ miliar)

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Total

Pemerintah

1,682 1,635 1,870 2,148 7,335

Swasta

6,742 6,687 7,016 3,738 24,183
- Bank

256

428

1,242

3,11

2,237

- Non-bank

6,486

6,259

5,774

3,427

21,946

Total

8,424 8,322 8,886 5,886 31,518

Sumber: BI
* Dalam US$ Miliar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus