Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Neloe dan Penghapusbukuan itu

Bank Mandiri menghapus kredit macet sebesar Rp 22 triliun. Mengapa penjelasan E.C.W. Neloe tentang ini berbeda dengan keterangan dirut terdahulu, Robby Djohan?

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Heboh seputar rencana akuisisi Bank Internasional Indonesia belum lagi reda, Bank Mandiri sudah menghadiahkan kejutan baru. Pasalnya, bank yang dipimpin E.C.W. Neloe ini diberitakan baru menghapusbukukan (write-off) kredit macet sebesar Rp 22 triliun. Nah, bagaimana kita tidak terperangah.

Yang namanya kredit macet memang sangat mengganjal, ibarat kerikil dalam sepatu sang komandan. Bila dibiarkan, bisa merusak seluruh penampilan, tapi kalau dikeluarkan, tentu menghebohkan. Dengan penghapusbukuan itu, Bank Mandiri seolah-olah bertindak lunak kepada debitornya yang nakal. Di sisi lain Bank Mandiri bisa dinilai tak transparan, gara-gara tak menjelaskan siapa pemilik kredit macet itu. Apakah para konglomerat bandel atau pengusaha kecil menengah yang usahanya memang bangkrut?

Penghapusbukuan juga akan mempengaruhi neraca bank, tak jadi soal apakah duit untuk write-off itu diambil dari keuntungan ataupun dicomot dari modal usaha. Kekhawatiran makin meruyak karena hasil audit kantor akuntan Hans, Tuanakotta & Mustofa menunjukkan dana obligasi rekapitalisasi di empat bank pemerintah, yang jumlahnya semula Rp 283 triliun, kini menyusut tinggal Rp 133 triliun. Nah, ke mana yang Rp 150 triliun lagi? Apakah digunakan untuk penghapusbukuan kredit-kredit yang dulu disalurkan oleh empat bank BUMN yang kini merger di bawah nama Mandiri?

Layak dipertanyakan pula, mengapa bank-bank itu dulu tak menyerahkan kredit macet tersebut ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pahadal, kalau dilakukan, mereka bisa mendapat tambahan dana rekap lebih besar. Nah, kalau sekarang modal bank tergerus akibat penghapusbukuan kredit macet, bukan mustahil diperlukan injeksi rekap tahap kedua, yang tentu makin mempersulit keuangan negara.

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe menegaskan, write-off itu sudah dihitung dalam rugi laba empat bank—Bank Bapindo, Bank Dagang Negara (BDN), Bank Exim, dan Bank Bumi Daya (BBD)—sebelum mereka merger. Dan di Bank Mandiri, kendati sekarang sudah dihapus, kredit macet itu tetap dicatat di luar buku (off balance sheet), sekadar untuk catatan historis dan dasar penagihan kepada debitornya. Jadi, penghapusbukuan tersebut tak akan mempengaruhi neraca Bank Mandiri. Bahkan, hasil penagihan yang dicatat dalam lajur pendapatan lain-lain itu akan menaikkan laba dan memperbaiki modal serta rasio kecukupan modal (CAR) Bank Mandiri.

Sampai akhir Juli 2001, menurut Neloe, dana write-off yang dapat ditagih telah mencapai Rp 1,2 triliun. Hingga akhir tahun nanti, penagihan atas kredit macet yang umumnya berasal dari usaha kecil menengah itu diharapkan bisa mencapai Rp 2,6 triliun. Hasilnya bisa menjadi hiburan bagi Bank Mandiri di tengah ancaman negative spread, akibat kenaikan bunga sertifikat Bank Indonesia belakangan ini.

Untuk keseluruhan nilai kredit macet itu sendiri, Neloe optimistis tingkat pengembaliannya (recovery rate) bisa mencapai 50 persen. Adapun kredit bermasalah dalam neraca Bank Mandiri sendiri tetap Rp 45 triliun. Dan dari jumlah itu 85 persen sudah masuk kategori I dan II. "Jadi, kredit macet kita sekarang tinggal 15 persen," kata Kepala Bagian Humas Bank Mandiri, Soeswidijono.

Apa lacur, keterangan Neloe maupun Soeswidijono bertabrakan dengan penjelasan yang dulu diberikan Direktur Utama Bank Mandiri, Robby Djohan. Pada akhir 1999 lalu, Robby pernah mengatakan bahwa ia akan menghapusbukukan kredit macet Bank Mandiri sejumlah Rp 20 triliun secara bertahap sampai akhir 2001. Keputusan itu, menurut dia, harus diambil untuk menyehatkan pembukuan Bank Mandiri. Namun, pelaksanaannya mesti disesuaikan dengan provisi dan kemampuan bank untuk meraih laba. Sebab, Robby berpendirian, "Sebaiknya write-off dilakukan dari keuntungan dan bukan dari modal."

Dari pernyataan Robby tersebut, jelaslah bahwa penghapusbukuan kredit macet merupakan program Bank Mandiri dan bukan kebijakan yang sudah diambil oleh bank-bank pendiri Bank Mandiri di masa lalu. Dan dilihat dari tujuannya, kebijakan itu otomatis akan mempengaruhi neraca Bank Mandiri. Kebijakan itu bisa membuat labanya berkurang atau modalnya tergerogoti. Penjelasan berbeda dari pihak direksi sekarang justru memicu dugaan, jangan-jangan ada yang disembunyikan.

Sebagai bank yang akan menjual sahamnya di pasar modal, nah, semestinya Bank Mandiri mengklarifikasi ihwal write-off itu secara terbuka. Ini sungguh perlu, lebih-lebih jika Bank Mandiri ingin agar sahamnya kelak laris di-borong para investor.

Nugroho Dewanto, Hartono


Kinerja Bank Mandiri
Januari-Mei 2001

Dana Rp 175 triliun
Profitabilitas Rp 1,1 triliun
Kredit Rp 48 triliun
Modal Rp 9,25 triliun
Return on Equity 31 persen
Rasio Kecukupan Moda 28 persen
Kredit Macet 17 persen

Sumber: Bank Mandiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum