Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Seni-seni di isi

Menteri p & k fuad hassan meresmikan isi di yogyakarta merupakan gabungan dari tiga lembaga pendidikan stsri, asti, dan ami. (pdk)

28 Juli 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKOLAH tinggi seni rupa dicampur dengan akademi seni tari, ditambah lagi dengan akademi musik, apa jadinya? Itulah Institut Seni Indonesia (ISI) yang Senin pekan ini diresmikan Menteri P & K di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI), Yogyakarta. ISI merupakan perguruan tinggi negeri setingkat universitas yang ke-44. Proses terbentuknya ISI ternyata cukup panjang. Dicetuskan idenya oleh Koesnadi Hardjosoemantri, waktu itu kepala Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen P & K, 1971, baru terwujud 13 tahun kemudian dengan Keputusan Presiden 30 Mei 1984. Merger tiga lembaga pendidikan ini STSRI, Akademi Seni Tari (ASTI), dan Akademi Musik (AMI) - memang punya maksud. "Yang pertama guna efisiensi dana," kata Menteri P & K Nugroho Notosusanto. "Selain itu, bergabungnya tiga cabang seni itu mencerminkan kebhinekatunggalikaan. Pada hakikatnya, seni itu satu." Tak berarti mahasiswa seni rupa harus belajar tari, atau mahasiswa seni musik harus pula bisa melukis. Tapi, seperti dikatakan But Muchtar, rektor ISI pertama, apresiasi mahasiswa bisa diperluas horisonnya "Apa salahnya mahasiswa seni rupa pun mendapatkan kuliah sejarah musik," kata But, 54 pelukis dan pematung lulusan Seni Rupa ITB 1959. Tapi bagaimana sebenarnya konsep ISI belum jelas benar. But masih minta waktu sebulan untuk orientasi. Bahkan para dekan ketiga fakultasnya - Fakultas Seni Rupa dan Desain (leburan dari STSRI), Fakultas Kesenian (penggabungan ASTI dan AMI), dan Fakultas Nongelar - belum ditentukan. Dan ISI sebenarnya agak menyimpang dari gagasan semula. Maksud Koesnadi Hardjosoemantri, waktu mencetuskan pengabungan pendidikan seni pada 1971, adalah lembaga pendidikan seni di seluruh Indonesia. "Harus ada institut seni yang setingkat universitas yang punya bobot cukup," kata Koesnadi, yang waktu itu menjadi kepala Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen P & K, kepada TEMPO. "Itu untuk menunjang perkembangan kesenian Indonesia." Tapi gagasan itu sulit terwujud secara teknis. Sebab, tujuh akademi seni negeri tersebar dari Padang hingga Denpasar. Hingga, ketika Koesnadi diangkat menjadi atase pendidikan dan kebudayaan di Negeri Belanda, 1974, Institut Kesenian Indonesia (IKI) demikian rencana nama semula - belum ada naga-naganya bakal terlaksana. Untunglah Dirjen Pendidikan Tinggi (1976-1984), Doddy Tisnaamidjaja, ternyata tertarik meneruskan "warisan IKI". Dibentuklah Proyek Pengembangan IKI, yang diketuai oleh Edie Kartasubarna dari Seni Rupa ITB. Tak mudah ternyata untuk mencari landasan guna menyatukan ASTI di Padang, Bandung, Yogya, dan Denpasar, dengan AMI di Yogya, Akademi Kerawitan di Solo, dan STSRI di Yogya. Diskusi konon berlarutlarut hingga tahun 1981. Pada tahun itu titik terang mulai muncul dengan turunnya peraturan pemerintah tentang penataan fakultas di institut dan universitas negeri. Institut Seni ditentukan punya dua fakultas yakni Fakultas Seni Rupa dan Desain serta Fakultas Kesenian. Konsep ini tak jelas dasarnya. Misalnya saja, apakah seni rupa bukan kesenlan, hingga perlu ada dua fakultas. Toh, IKI seperti yang direncanakan tak terwujud. Akhirnya pihak Proyek Pengembangan IKI memutuskan institut kesenian dibentuk mirip IKIP. Maka, diputuskanlah Yogyakarta sebagai contoh pertama, karena di kota ini sudah ada tiga lembaga pendidikan seni. Dan nama pun diganti menjadi ISI. "Itu cuma soal kehematan bahasa, tak ada apa-apanya," kata Menteri P & K. Dan direncanakan akan diadakan ISI di Denpasar, Bandung, juga Padang. Secara organisasi pendidikan kesenian itu mungkin menjadi baik. Tapi mutu lulusan belum tentu meningkat. Adapun But Muchtar, rektor ISI pertama memang sudah tak asing lagi dengan masalah manajemen perguruan tinggi. Tujuh tahun, 1977-1984, ia menjadi sekretaris rektor ITB. Dan Yogya pun bagi orang Banten kelahiran Bandung ini bukan kota baru: pada 1948-1951 ia belajar di SMA di Yogyakarta satu sekolah dengan Menteri Nugroho.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus